Dalam rencana pemindahan ibu kota, pemerintah diminta tidak hanya berfokus pada urusan pembangunan infrastruktur. Mitigasi konflik penting pula disusun.
Oleh
Fajar Ramadhan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemindahan ibu kota ke dua kabupaten di Kalimantan Timur diharapkan tidak hanya berfokus pada urusan pembangunan infrastruktur. Pemindahan hendaknya memperhatikan pula konflik yang mungkin terjadi. Apalagi, Kalimantan Timur merupakan daerah rawan konflik. Untuk itu, pemerintah diminta merancang sejak dini mitigasi konflik.
Kepala Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Herry Yogaswara mengatakan, Kalimantan Timur (Kaltim) dikenal sebagai daerah yang kerap mengalami konflik identitas dan sumber daya.
Oleh karena itu, mitigasi konflik perlu dipikirkan dalam persiapan pemindahan ibu kota ke Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara di Kaltim.
”Masalah etnisitas dalam konteks kesukuan sangat penting diperhitungkan. Sebab, akan terjadi migrasi penduduk besar-besaran ke wilayah tersebut,” katanya dalam seminar nasional bertajuk ”Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara dan Implikasinya terhadap Kehidupan Sosial Penduduk”, Kamis (28/11/2019), di Jakarta.
Menurut Herry, faktor-faktor kesenjangan antara masyarakat lokal dan kelompok pendatang perlu dipetakan sejak dini. Misalnya, terkait dengan kemiskinan, kecemburuan sosial, atau kecemburuan gaya hidup. Selain itu, konflik sosial juga banyak dipicu perebutan ruang.
Proses munculnya konflik bisa berlangsung dan meluas amat cepat dengan hanya dipicu peristiwa kriminal biasa. Contohnya bisa dilihat dari konflik yang pernah terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah, 2001. Awalnya, konflik tersebut berawal dari perkelahian dua preman. Hal itu kemudian difabrikasi sebagai isu etnisitas.
”Salah satu faktornya tidak pernah membayangkan bahwa yang terjadi jauh lebih besar daripada apa yang direncanakan,” kata Herry yang meneliti tentang konflik Sampit dalam disertasinya.
Menurut dia, sejumlah langkah mitigasi konflik yang bisa dilakukan, antara lain, menetapkan titik-titik pembangunan infrastruktur sehingga ada kepastian bagi masyarakat lokal pemilik lahan. Selain itu, tokoh-tokoh intelektual lokal juga perlu dilibatkan dalam kajian-kajian sosial budaya.
Hal lain yang juga penting perlunya kepastian hak-hak sumber daya alam dan status legal tanah masyarakat lokal. ”Banyak konflik-konflik perebutan sumber daya alam yang berubah menjadi konflik etnis dan agama. Hal ini yang perlu diantisipasi,” katanya.
Migrasi ASN
Masyarakat lokal pun berpotensi tersingkir karena pemindahan ibu kota akan dibarengi migrasi aparatur sipil negara (ASN) dan Polri/TNI beserta keluarganya serta pelaku ekonomi besar-besaran dari DKI Jakarta menuju Kaltim. Menurut Herry, hal ini juga perlu diantisipasi. Pemerintah harus memastikan masyarakat lokal tidak tersingkir.
Berdasarkan kajian Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Turro S Wongkaren, dengan melihat data kependudukan tahun 2017, ada dua skenario mengenai jumlah ASN dan TNI/Polri beserta keluarganya serta pelaku ekonomi. Skenario pertama diperkirakan 1,5 juta orang. Skenario kedua 870.000 orang.
Jumlah orang yang pindah pada skenario kedua menurut Turro telah mempertimbangkan rencana pemangkasan birokrasi. Oleh karena itu, jumlah ASN dan keluarganya di skenario kedua tidak sebanyak skenario pertama.
Mereka nantinya akan bercampur dengan penduduk di Kalimantan Timur yang jumlahnya tidak kurang dari 4,5 juta jiwa. Adapun untuk Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara masing-masing memiliki jumlah penduduk 1 juta jiwa.
”Hal ini akan berdampak besar terhadap jumlah, struktur usia, dan komposisi penduduk secara drastis di Kaltim,” katanya.
Masalah kesenjangan menjadi perhatian dalam proses migrasi karena struktur pendidikan ASN dan penduduk lokal amat berbeda. Menurut Turro, sebagian besar ASN yang pindah berlatar belakang lulusan SMA hingga pendidikan tinggi. Adapun untuk Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, latar belakang pendidikan penduduknya didominasi lulusan SD hingga SMA.
”Dari segi pendapatan, ASN pusat masuk dalam kategori masyarakat menengah, sedangkan masyarakat yang tinggal di dua kabupaten calon ibu kota baru relatif masih di bawahnya,” ujarnya.
Deputi Bidang Koordinasi Pemberdayaan Masyarakat, Desa, dan Kawasan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Sonny Harry B Harmadi mengatakan, dalam persiapan pemindahan ibu kota, pemerintah tengah menyiapkan tiga hal.
Ketiganya adalah menyiapkan masyarakat lokal, menggunakan sumber daya lokal, dan melakukan pembangunan secara berkelanjutan.
Sonny mengatakan, pemanfaatan dana desa di desa-desa yang menjadi lokasi ibu kota baru juga telah diarahkan untuk program penguatan pemberdayaan masyarakat. Hal ini dilakukan agar masyarakat lokal tidak hanya jadi penonton atau dapat berpartisipasi dalam pembangunan ibu kota baru.
”Di sekeliling wilayah ibu kota baru juga akan disiapkan sentra industri pangan dan sentra industri manufaktur untuk menghidupkan akses ibu kota ke wilayah sekelilingnya,” katanya.