Jazz Ambyar di Ngayogjazz
Apa yang disebut sebagai Edu Concert itu menjadi ”emotional concert”. Yang dimakamkan itu hanya ”baju”- nya, tetapi jiwanya ada di sini. Jadi, ini merupakan ”the real tribute to Djaduk”.
Sehari sebelum pergi untuk selamanya, Djaduk Ferianto lewat telepon sempat mewanti-wanti saya untuk datang di Edu Concert di ajang Ngayogjazz. Di sana, tutur Djaduk, Idang Rasjidi bersama Djaduk akan bernyanyi dan bicara tentang musik di tengah kehidupan masyarakat.
Namun, Djaduk meninggal pada 13 November 2019 atau tiga hari sebelum Ngayogjazz digelar. Akan tetapi, sosoknya tetap hadir di panggung.
Setidaknya di sana disiapkan satu set perangkat perkusi yang sedianya akan dimainkan Djaduk. Dengan sangat emosional Idang tampil dan seolah-olah Djaduk berada di sampingnya bermain perkusi.
Dia memainkan lagu pilihan Djaduk, seperti ”Jenang Gula”, yang aslinya berupa langgam jawa. Juga lagu ”Gambang Semarang” yang melodinya ada unsur warna Mandarin.
Lagu-lagu semacam itu selama ini tidak menjadi ranah atau wilayah repertoar Idang. Djaduk memang seperti menantang energi kreatif Idang sebagai musisi Jazz. Idang pun menyambut dengan penuh rasa bersahabat.
”Jazz itu menyambut dan terbuka pada siapa saja, pada musik apa saja,” kata Idang.
Di tangan Idang yang bermain bersama gitaris kawakan Oele Patisellano, ”Jenang Gula” dan ”Gambang Semarang” itu berubah rasa menjadi ”jenang jazz” dan ”gambang jazz.”
Jenang adalah makanan serupa bubur kental. Ada bagian-bagian tertentu dalam aransemen lagu yang seakan menjadi ruang yang dimainkan Djaduk. ”Ayo, Duk, mainkan,” kata Idang.
Dan terdengarlah perkusi dari suara Idang menirukan bunyi perkusi. ”Itu perkusi saya taruh di panggung. Artinya, kalau orang meninggal, bukan berarti kita putus silaturahmi,” kata Idang.
”Yang dimakamkan itu hanya ’baju’- nya, tetapi jiwanya ada di sini. Jadi, ini merupakan the real tribute to Djaduk,” kata Idang melanjutkan.
Apa yang disebut sebagai Edu Concert itu menjadi ”emotional concert”. Bukan hanya bagi Idang, melainkan juga hadirin. Termasuk Petra, istri almarhum Djaduk, yang berada di sekitar panggung.
Petra kemudian diajak naik ke pentas untuk bernyanyi bersama Idang. Lagunya adalah ”Mau Dibawa ke Mana” dari band Armada yang tampak sekali dikuasai benar oleh penonton yang melakukan sing along alias koor massal.
Djaduk memilih lagu kondang itu dengan penekanan pada bagian lirik yang berbunyi ”Mau dibawa ke mana hubungan kita”. Dalam interpretasi Idang, bagian lirik tersebut menjadi pesan Djaduk tentang menata hubungan antarmanusia di negeri ini. Amarah, kekerasan, kata Idang, digunakan sebagai cara.
”Situasi di sekitar kita ini kenapa ada orang-orang yang keras-keras. Seperti tidak ada satu media pun yang bisa masuk ke relung hati orang. Kenapa string tak pernah dimainkan,” kata Idang.
Ia menggunakan idiom string untuk menyebut dawai halus perasaan manusia. ”Orang-orang kalau bicara begitu tajem. Semua mau menang, tetapi enggak mau mendengar,” kata Idang yang percaya bahwa pesan itu bisa disampaikan lewat lagu, termasuk lewat perhelatan seperti Ngayogjazz ini.
Didi Kempot
Semangat yang sama juga disampaikan Butet Kartaredjasa di atas panggung saat itu. Ketika itu, Didi Kempot tampil bersama Kua Etnika, kelompok musik yang dibentuk Djaduk.
Ia bertutur tentang cara kekerasan yang diyakini sementara orang sebagai jalan mulia. Bagi Butet musik adalah salah satu jalan, bahasa yang bisa menyentuh perasaan manusia.
”Kalau mendengar kegembiraan di atas panggung bersama Didi Kempot ini, Djaduk pasti seneng banget. Kita mengantarkan Djaduk dengan kegembiraan. Berangkat ke surga bisa dengan kegembiraan,” kata Butet.
Bisa dikatakan itulah puncak perhelatan Ngayogjazz di mana pesan damai lewat musik disampaikan. Di sana ribuan rakyat tumplek blek menyambut Didi Kempot, superstar berjuluk ”Godfather of the Broken Heart”.
Apakah mereka nelangsa dalam kepatahhatian? Penonton tumpah ruah dalam suka cita dalam lagu ”Bojo Anyar” atau Istri Baru, kisah seseorang yang dikhianati pacar dan memamerkan pasangan barunya.
Mereka menyanyi, menari, meneriakkan senggakan atau sisipan lagu. Senggakan itu berubah menjadi semacam yell kegembiraan. Yell yang disebut sebagai ”Cendol Dawet” itu menjadi subbagian lagu ”Pamer Bojo” .
Ironis memang jika ditilik dari segi isi lagu dan ekspresi publik. Lagu tentang sakit hati, tetapi disambut dengan suka hati. Bukan sumpah serapah dan rasa benci.
Begitu juga lagu ”Sewu Kuto” (ciptaan Ari Wibowo) dan ”Stasiun Balapan” yang semuanya bicara soal ditinggal pacar, audien tetap gembira. Mereka memilih jalan suka cita, cara bahagia.
Para penggemar Didi Kempot itu menamakan diri sebagai Sobat Ambyar. Dalam lagu ”Ambyar”, Didi menyebut ”Wes kebacut ambyar, remuk sing ati/ Opo ngene sing jenenge korban janji” (Sudah telanjur ambyar/ kacau, remuk di dalam hati/ Apa seperti ini yang namanya korban janji).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ambyar dijelaskan sebagai bercerai-berai, berpisah-pisah, tidak berkonsentrasi lagi. Di arena Ngayogjazz, kaum ambyar itu tidak ambyar. Mereka tertib, damai, dan gembira.
Dalam pandangan Djaduk, lagu-lagi Didi Kempot mewakili semangat kaum tertindas dalam bentuk apa\'pun.
”Entah itu orang yang patah hati. Entah orang kapusan (tertipu). Semangat itu yang saya ambil,” kata Djaduk dalam percakapan via telepon sehari sebelum meninggal.
Begitulah, lagu mengungkapkan suara kaum tertindas, korban penipuan, pengkhianatan, tetapi mereka tetap gembira. Mungkin benar kata Idang, musik bisa menyentuh perasaan manusia.
Setidaknya menyentuh rasa bahagia. Di tengah kerumunan ribuan manusia yang rapat berdiri itu, tidak ada keributan. Semua bergembira dalam satu keluarga besar di pentas musik. Apa pun jenis musiknya, karena musik tidak ber-KTP yang mengidentifikasi manusia dan berbagai jenis.
Salam damai dari Kwagon
Sore yang ramah di Padukuhan Kwagon. Matahari merah menembus rimbun dedaunan. Ada bukit kecil di antara sawah-sawah hijau. Padukuhan Kwagon yang berada di Desa Sidorejo, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, berjarak sekitar 12 kilometer ke arah utara Malioboro.
Di salah satu sudut padukuhan, bendera Merah Putih berkibar di tiang yang cukup tinggi. Di bawahnya tertera tulisan ”Satu Nusa Satu Jazz-nya”. Itulah tema besar Ngayogjazz 2019 yang digelar di Kwagon.
Digelar sejak 2007, Ngayogjazz memang menjadikan desa sebagai panggung. Bukan sekadar arena, desa menjadi pemain utama Ngayogjazz. Setidaknya atmosfer dengan semilir angin dan kehidupan desa memberi sentuhan khas sebuah perhelatan musik.
Bayangkan, di tengah rerimbunan pohon, dalam suasana remang-remang malam, mengalun lagu ”Ndherek Dewi Maria”. Lagu kesukaan Djaduk itu dibawakan Frau, penyanyi dan pianis perempuan yang bernama Leilani Hermiasih.
Tersentuh oleh suara bening Frau, Helena, seorang pengunjung meninggalkan meja makan. Padahal, ia sudah memesan bakmi jowo Tembi, tak jauh dari panggung Empyak, tempat Frau bernyanyi.
Ia bergabung dengan kerumunan puluhan orang yang menyimak Frau yang tampak bernyanyi dengan penuh penghayatan. Denting piano satu-satu mengantar lagu itu ke keheningan malam.
Itulah Ngayogjazz. Suasana desa ikut berperan dalam menciptakan suasana. Di sana tampil, antara lain, Mus Mujiono, Indro Hardjodikoro, Tompi, dan Nona Ria. Tampil pula kelompok dari luar negeri, seperti Eym Trio dari Perancis, Baraka (Jepang), dan Arp Frique (Belanda).
Gitaris Dewa Budjana merasakan pengunjung sangat apresiatif pada penampilannya. Mereka mau datang ke Ngayogjazz tidak hanya menikmati musik, tetapi juga merasakan suasana desa.
Idang Rasjidi terkesan dengan keramahan warga padukuhan yang dengan tulus menyilakannya mampir ke rumah untuk sekadar ngopi. Suasana guyub, kekeluargaan, memang sangat terasa di Ngayogjazz.
Sejumlah seniman lukis yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam pergaulan sosial di Yogyakarta ikut meng-grudug atau berbondong-bondong mendatangi Ngayogjazz. Mereka melukis sosok diri Butet. Juga membuat lukisan, sketsa, dan karikatur Djaduk.
Dikatakan Butet, meski Djaduk telah berpulang, bukan berarti penyelenggaraan Ngayogjazz berakhir. ”Semua mengikhlaskan Djaduk pergi. Djaduk telah memberi rabuk yang luar biasa. Tidak ada alasan Ngayogjazz akan berhenti,” kata Butet.
Rabuk persaudaraan dan kegembiraan dalam musik, bagi siapa saja yang baik maksudnya….