Kristalina Georgieva: Siap tidak siap, dunia memasuki abad adaptasi. Kita harus cerdas. Adaptasi itu bukan berarti untuk mengalahkan, tetapi lebih pada upaya bertahan melawan apa yang sedang terjadi.
Oleh
hendriyo widi
·5 menit baca
Dana Moneter Internasional (IMF) kembali menyerukan keterkaitan ekonomi dengan perubahan iklim. Dalam jurnal Finansial dan Pembangunan Edisi Desember 2019 berjudul ”The Economics of Climate”, IMF membahas tentang dampak ekonomi dan finansial atas pilihan kebijakan terhadap perubahan iklim.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan, siap tidak siap, dunia memasuki abad adaptasi. ”Kita harus cerdas. Adaptasi itu bukan berarti untuk mengalahkan, tetapi lebih pada upaya bertahan melawan apa yang sedang terjadi,” ujarnya seperti dikutip Kompas dari situs IMF, Kamis (28/11/2019).
Siap tidak siap, dunia memasuki abad adaptasi. Kita harus cerdas. Adaptasi itu bukan berarti untuk mengalahkan, tetapi lebih pada upaya bertahan melawan apa yang sedang terjadi.
Investasi yang tepat, kata Georgieva, akan memberikan deviden tiga kali lipat dengan menghindari kerugian di masa depan, memacu tujuan ekonomi melalui inovasi, dan memberikan manfaat sosial dan lingkungan kepada setiap orang. Hal itu khususnya bagi mereka yang terdampak dan yang paling berisiko.
Pada 4 September 2019, IMF mengingatkan agar pemerintah dan pebisnis tidak hanya follow the money atau mengikuti ke mana arah uang bergerak. Mereka juga perlu memperhatikan pembangunan ekonomi berbasis lingkungan untuk mengurangi dampak perubahan iklim.
Juli 2019 adalah bulan terpanas yang pernah tercatat di bumi. Rata-rata suhu global pada bulan itu 16,5 derajat celsius atau 0,95 derajat celsius lebih tinggi dibandingkan rata-rata temperatur abad ke-20 yang tercatat 15,8 derajat celsius. Pemanasan global menjadi pemicunya. Pemanasan global itu terjadi karena emisi karbon yang semakin meningkat.
Awal Desember 2018, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyebutkan, tahun 2018 merupakan tahun terpanas sepanjang sejarah. Pada tahun itu, suhu bumi meningkat signifikan dalam 22 tahun terakhir.
Dunia telah menghasilkan 37,1 miliar metrik ton emisi karbon dioksida per tahun, naik dari 36,2 miliar metrik ton pada 2017. China menghasilkan 27 persen emisi karbon dari emisi global, diikuti Amerika Serikat 15 persen, Uni Eropa 10 persen, dan India 7 persen.
Bagaimana dengan Indonesia? Bencana di Indonesia tidak hanya gempa, banjir, tsunami, dan longsor, tetapi juga bencana asap. Dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar.
Pada 2015, kebakaran itu telah menghancurkan 2,7 juta hektar (lebih dari 800.000 hektar merupakan lahan gambut). Kehancuran lingkungan ini mengakibatkan kerugian lebih dari 16 miliar dollar AS (Rp 225 triliun).
Pada Januari-pertengahan September 2019, lahan dan hutan yang terbakar seluas 328.724 hektar. Kerugian lingkungan diperkirakan Rp 130 triliun. Itu semua baru kerugian lingkungan, belum lagi menyangkut kesehatan dan penundaan atau pembatalan sejumlah penerbangan.
Per 15 November 2019, Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) Uni Eropa memperkirakan, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah melepas sebanyak 709 juta ton karbondioksida ke udara. Jumlah itu 22 persen lebih tinggi dibanding emisi karbondioksida dari kebakaran hutan Amazon yang sebanyak 579 juta ton karbondioksida.
Gerogieva menekankan pentingnya dunia bergerak dari ”brown economies” ke ”green economies”. Pajak emisi karbon dinilai menjadi alat yang kuat dan efisien untuk memerangi emisi karbon. ”Namun, penetapan dan penerapan pajak itu harus hati-hati dan ramah terhadap pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Dunia perlu bergerak dari ”brown economies” ke ”green economies”.
Analisis IMF terbaru menunjukkan, negara-negara penghasil emisi besar perlu memperkenalkan pajak karbon yang naik dengan cepat menjadi 75 dollar AS per ton pada 2030. Hal itu konsisten dengan upaya membatasi pemanasan global menjadi 1,5-2 derajat celsius sesuai Perjanjian Paris dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2015.
Pajak emisi karbon adalah pajak yang dikenakan terhadap pemakaian bahan bakar berdasarkan kadar karbon. Bahan bakar yang mengandung karbon, seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara, itu dapat menghasilkan karbondioksida. Karbondioksida merupakan gas rumah kaca yang dapat memerangkap panas bumi sehingga menyebabkan pemanasan global.
Pajak emisi karbon ini dapat memberikan keuntungan sosial dan ekonomi, serta mengurangi emisi gas rumah kaca. Pajak ini menjadi jawaban atas kegagalan pasar karena pelaku pasar tidak membayar biaya sosial dari emisi rumah kaca yang mereka sebabkan.
Pemerintah Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen hingga 2030. Pemerintah saat ini juga tengah merampungkan regulasi pajak emisi karbon. Sektor-sektor utama penyumbang emisi karbon di Indonesia adalah kehutanan dan lahan gambut, energi, transportasi, industri, dan pengolahan limbah.
Beberapa bahasan yang muncul adalah mengenakan pajak emisi gas buang pada kendaraan bermotor dan industri. Khusus kendaraan bermotor, pajak emisi gas buang akan dikenakan bebarengan dengan pajak kendaraan bermotor. Selain itu, pemerintah juga akan memberikan insentif atau keistimewaan pajak kepada industri-industri yang menerapkan prinsip-prinsip ekonomi hijau.
Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, dalam tulisannya, Menggagas Pajak Emisi Kendaraan Bermotor, menyebutkan, Indonesia dapat belajar dari Australia dalam penerapan pajak emisi gas buang. Pajak itu akan dikenakan pada polusi yang dihasilkan korporasi. Sekitar 350 perusahaan produsen polusi utama harus membayar sebesar 23 dollar Australia untuk setiap ton karbon yang mereka hasilkan pada 2020.
Tidak ada lembaga atau individu yang dapat berdiri di sela-sela upaya memerangi perubahan iklim.
Untuk menggambarkan tanggung jawab semua pemangku kepentingan di setiap negara terhadap perubahan iklim, Georgieva menyatakan, ”Tidak ada lembaga atau individu yang dapat berdiri sendiri di sela-sela upaya memerangi perubahan iklim.”
Setiap negara, termasuk Indonesia, tidak dapat berjalan sembari tidur di tengah-tengah krisis. Krisis yang tidak hanya mengancam ekonomi, tetapi juga lingkungan. Lingkungan yang rusak akibat limbah, pembukaan dan pembakaran hutan dan lahan, serta polusi oleh gas buang. Dibutuhkan upaya dan biaya besar untuk memulihkan diri dari dampak bencana tersebut.