Radikalisme mendompleng banyak unsur, mulai dengan dalih agama hingga supremasi etnis atau kelompok. Namun, dengan deradikalisasi dari hulu ke hilir, terutama dalam pendidikan, hal itu dapat diatasi.
Oleh
Nina Susilo / Rini Kustiasih
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS—Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyatakan, radikalisme terjadi dengan mendompleng banyak unsur dalam kehidupan. Ada yang menggunakan dalih agama, ada juga yang menggunakan dalih supremasi etnis atau kelompok tertentu. Namun, diakui, radikalisme yang menggunakan justifikasi agama yang paling sering digunakan. Dengan deradikalisasi yang dilakukan dari hulu ke hilir, terutama dalam pendidikan dan masyarakat, hal itu akan dapat mengatasi masalah radikalisasi.
”Di dalam masyarakat, kita tidak boleh menutup mata, sering kali ajaran dan simbol- simbol dimanfaatkan untuk melakukan transfer cara berpikir yang menoleransi kekerasan untuk mencapai tujuannya,” kata Wapres Ma’ruf Amin dalam kuliah umum di Kampus Universitas Islam Malang (Unisma), Kota Malang, Jawa Timur, Rabu (27/11/2019).
Acara itu dihadiri ribuan mahasiswa. Hadir pula Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa; Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki; serta tiga Staf Khusus Wapres, yaitu Satya Arinanto, Masykuri Abdillah, dan Masduki Baidlowi.
Sikap mendorong kebencian, baik kepada negara, pemerintah, maupun golongan lain, kata Wapres, bukan sifat ajaran agama mana pun. Islam, misalnya, mengajarkan cinta. Namun, karena radikalisme berkaitan dengan cara berpikir, bersikap, dan berpikir yang ditransfer dari satu pihak ke pihak lain serta menoleransi kekerasan untuk mencapai tujuan, hal ini patut diperangi.
Transfer cara berpikir ini, lanjut Wapres Amin, karena didukung beberapa faktor, mulai dari pesan yang disampaikan dan dikemas sedemikian rupa sehingga mudah diterima. Faktor lainnya, disampaikan oleh orang yang dikenal dan ditujukan kepada individu yang rentan dan tak matang secara kejiwaan, dan menggunakan sarana pengirim pesan yang efektif, seperti media sosial. Konteks lingkungan sosial, kondisi seseorang yang merasa termarjinalkan, diperlakukan tidak adil, dan miskin juga menjadi faktor yang mudah digunakan mencapai sasaran penyebaran radikalisasi.
Sering kali ajaran dan simbol- simbol dimanfaatkan untuk melakukan transfer cara berpikir yang menoleransi kekerasan untuk mencapai tujuannya.
Untuk itu, lanjut Wapres, deradikalisasi harus dari hulu sampai hilir. Hal itu mulai dari pendidikan paling dini, seperti pendidikan anak usia dini (PAUD), sampai pendidikan tinggi yang perlu memasukkan lebih banyak narasi tentang kerukunan, toleransi, sikap cinta kepada sesama, nasionalisme, patriotisme, dan bela negara.
Pengembangan ekonomi
Masyarakat juga harus dibuat imun dari pengaruh-pengaruh ini. Untuk mengatasi masalah lingkungan sosial masyarakat, misalnya, upaya pengembangan ekonomi umat, bisa menjadi ujung tombak menangkal radikalisme.
Terkait Gerakan Unisma Antiradikalisme yang dicanangkan bersamaan dengan Dies Natalis Ke-39 Kampus Nahdlatul Ulama ini, Wapres Amin menyambut baik. Gerakan Unisma ini dinilai akan sangat bermanfaat memerangi radikalisme dengan cara meningkatkan imunitas masyarakat terhadap pengaruh radikalisme. Upaya menangkalnya sangat penting karena radikalisme akar masalah utama dari terorisme.
Sebelumnya, Rektor Unisma Maskuri memimpin para mahasiswa mendeklarasikan Unisma sebagai pelopor gerakan antiradikalisme. ”Kami sivitas akademika Unisma menyatakan siap berjuang menjadi pelopor gerakan Islam antiradikalisme untuk menciptakan perdamaian Indonesia dan dunia,” ujar Maskuri.
Melihat paham keagamaan yang kini hampir mencapai 400-an, ia mengusulkan agar laboratorium antiradikalisme lintas kementerian/lembaga. ”Unisma siap menjadi laboratorium itu,” ujarnya.
Niat positif SKB
Lebih jauh, Wapres Amin menyatakan, Gerakan Unisma, diharapkan bisa direplikasi di perguruan-perguruan tinggi lainnya. Bukan hanya menangkal transfer paham radikalisme, gerakan ini sekaligus menahan semakin banyaknya kaum milenial yang direkrut menjadi pelaku peledakan bom bunuh diri dan aksi terorisme lainnya.
Di sisi lain, bahan ajar di sekolah-sekolah yang terindikasi berisi radikalisme juga ditelusuri oleh Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan untuk diperbaiki. Jika ada aparatur sipil negara (ASN) terpapar radikalisme, sesuai Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 menteri dan lima kepala lembaga, pemeriksaannya bisa dilakukan. Hal itu sejalan dengan upaya deradikalisasi, yaitu mematahkan argumen yang tak benar.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, munculnya SKB dapat dianggap respons pemerintah yang mulai menyadari persoalan radikalisme dan intoleransi di kalangan ASN.
Upaya SKB itu memiliki niat positif. Pasalnya, pemerintah tak tinggal diam menghadapi merebaknya ekstremisme dan intoleransi, tak terkecuali di kalangan ASN.
Upaya SKB itu memiliki niat positif.
Namun, rumusan norma di SKB berpotensi menimbulkan dampak lain di luar yang dimaksud pemerintah mencegah radikalisme di kalangan ASN. Sejumlah larangan di SKB itu dinilai terlalu longgar pemaknaannya. Akibatnya, berpotensi mengancam kebebasan berpendapat, berekspresi, dan mengemukakan kritik, yang merupakan hak setiap warga.
Koordinator Sekretariat Kaukus Kebebasan Akademik Indonesia dan Komite Pengarah Southeast Asian Human Rights Studies Herlambang Perdana Wiratraman mengatakan, pemerintah sebaiknya kembali pada mekanisme hukum, yaitu menyelesaikan problem ekstremisme dan radikalisme lewat pengadilan, dan bukan lewat tim penilai.