Prioritas untuk meraih prestasi di tingkat tertinggi, seperti Olimpiade, perlu mendasari strategi pembinaan olahraga, terutama untuk mengatasi keterbatasan anggaran.
Oleh
Denty Piawai Nastitie/Herpin Dewanto Putro
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dengan keterbatasan anggaran Kementerian Pemuda dan Olahraga, pembagian dana pelatnas dengan sistem kluster berdasarkan prestasi cabang olahraga dinilai sudah tepat. Untuk memenuhi kebutuhan anggaran yang tidak dapat ditanggung pemerintah, peran swasta dan BUMN dibutuhkan.
Ketua Kontingen Indonesia untuk SEA Games 2019 sekaligus Wakil Sekretaris Jendral KOI Harry Warganegara mengatakan, pemerintah seharusnya bisa hadir dalam setiap lapisan pembinaan prestasi. ”Namun, kondisi ideal itu jauh dari realita karena keterbatasan anggaran pemerintah,” katanya, di Jakarta, Minggu (24/11/2019).
Kenyataannya, menurut Harry, pemerintah hanya hadir saat atlet elite sudah terbentuk melalui alokasi anggaran pelatnas. Atlet harus berjuang sendirian mengorbankan masa muda, energi, dan biaya, untuk masuk level elite karena pemerintah belum sepenuhnya hadir dalam proses pembibitan atlet, latihan di daerah, dan pembinaan usia dini.
Menurut Harry, jurang perbedaan antara kondisi ideal dan fakta di lapangan bisa diminimalkan jika sektor swasta dan BUMN bisa dilibatkan dalam pembinaan atlet. Caranya, misalnya, dengan program kemitraan antara BUMN dan cabang olahraga.
”Program kemitraan dan bina lingkungan merupakan bentuk pembiayaan BUMN yang dialokasikan, misalnya untuk alternatif pembiayaan UKM, kalau tidak salah ada sekitar 2 persen dana BUMN yang dialokasikan untuk UKM. Seandainya saja, sebanyak 0,5 hingga 1 persen bisa dialokasikan untuk cabang olahraga Olimpiade, maka itu akan sangat membantu,” ujar Harry.
Pembiayaan untuk olahraga memang belum diatur oleh undang-undang. ”Tetapi, bukan tidak mungkin ini diwujudkan dengan adanya aturan dari pemerintah. Toh, mengubahnya tidak terlalu banyak,” ujarnya.
Bantuan dari BUMN dapat diarahkan ke cabang olahraga Olimpiade yang selama ini minim bantuan dari sponsor, berbeda dengan sejumlah cabang yang bisa berlatih sepanjang tahun seperti bulu tangkis dan sepak bola. Alokasi anggaran dari BUMN juga bisa diarahkan untuk meningkatkan standar kejuaraan tingkat nasional dengan cita rasa internasional, seperti dengan meningkatkan hadiah pertandingan. ”Dengan cara itu, kualitas atlet yang dihasilkan dari kejuaraan juga meningkat,” kata Harry.
Harry menjelaskan, pihaknya sudah berbicara dengan Menteri BUMN Erick Thohir untuk mewujudkan cita-cita ini. ”Sekarang Pak Erick Thohir sedang fokus membenahi BUMN. Kita harapkan setelah itu ada bukti kepedulian Pak Erick di bidang olahraga,” katanya.
Salah arah
Pengamat olahraga Fritz Simanjuntak menilai, distribusi anggaran pembinaan olahraga melalui sistem kluster saat ini cukup baik, tetapi masih salah arah. Sistem itu membagi prioritas cabang olahraga berdasarkan target jangka pendek dan tidak menyentuh rencana pembinaan yang lebih jauh. Padahal, sistem itu harus bisa menjawab rencana besar pembinaan olahraga yang berorientasi ke level tertinggi, seperti Olimpiade.
”Sistem kluster ini bagus, tetapi bukan sebagai pembinaan prestasi untuk masa depan. Tidak ada pengaruhnya untuk jangka panjang,” kata Fritz. Tanpa perencanaan yang jelas, sistem kluster ini akan selalu berganti-ganti menyesuaikan ajang yang akan diikuti. Sistem kluster untuk SEA Games 2019, misalnya, merujuk pada hasil Asian Games 2018, berbeda dengan Asian Games 2018 yang berdasarkan hasil ajang sebelumnya.
Hal ini disebabkan tidak adanya cetak biru pembinaan olahraga yang menjadi landasan untuk membuat prioritas pembinaan. Oleh karena itu, Fritz berharap pemerintah segera menyusun cetak biru pembinaan tersebut bersama pengurus cabang olahraga.
Cetak biru itu akan menjadi patokan membuat sistem kluster yang lebih baik, seperti yang dilakukan negara dengan pengelolaan olahraga yang sudah maju. Dengan demikian, cabang yang berpotensi di Olimpiade akan selalu menjadi prioritas. ”Tanpa cetak biru, selama ini pola pembinaan atlet hanya sekadar gali lubang tutup lubang saja,” ujar Fritz.
Cabang induk yang dipertarungkan di Olimpiade, seperti senam, renang, dan atletik, juga akan memiliki pola pelatihan lebih terstruktur. Pola regenerasi juga berjalan di setiap jenjang kejuaraan di setiap level. Puncaknya, cabang-cabang induk tersebut akan menghasilkan atlet yang siap bertarung, baik di Olimpiade maupun kejuaraan dunia.
Dengan perencanaan yang jelas, pola pemusatan latihan nasional juga akan berjalan dengan baik. Sejauh ini pelatihan masih selalu terkendala anggaran meski cabang yang bersangkutan berada di kluster atas.