Sistem kluster dalam penyaluran anggaran bantuan pelatnas sudah cukup ideal. Namun, ada beberapa kekurangan yang perlu ditinjau ulang.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sistem kluster dalam penyaluran anggaran bantuan pelatnas sudah cukup ideal. Hal itu memungkinkan pemerintah memberikan perhatian lebih untuk cabang yang telah menunjukkan prestasi membanggakan dan sebaliknya. Namun, ada dampak merugikan saat waktu pelatnas cabang menjadi terbatas. Hal itu tentu tidak sesuai semangat pembinaan yang semestinya terus berkelanjutan.
Kaarena itu, pemerintah akan meninjau ulang sistem kluster yang ada saat ini. Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto dihubungi dari Jakarta, Minggu (24/11/2019), mengatakan, pihaknya menerapkan sistem kluster untuk memberikan reward and punishment kepada pengurus induk cabang olahraga. Induk cabang yang sukses menghasilkan prestasi membanggakan mendapatkan anggaran bantuan pelatnas lebih besar ketimbang yang tidak.
Kemenpora membagi cabang dalam empat kluster penyaluran anggaran bantuan pelatnas. Kluster pertama adalah cabang peraih medali Olimpiade, yakni bulu tangkis dan angkat besi. Kluster kedua diisi sembilan cabang olahraga dengan prestasi medali emas Asian Games, termasuk taekwondo, dayung, pencak silat, dan balap sepeda.
Sepuluh cabang olahraga dengan prestasi SEA Games masuk dalam kluster ketiga, termasuk tiga cabang induk Olimpiade yakni atletik, renang, dan senam, serta panahan. Sebanyak 33 cabang olahraga lainnya masuk dalam kelompok keempat.
”Pengelompokan itu untuk mengatur alokasi anggaran. Cabang yang masuk kluster pertama akan mendapatkan anggaran bantuan pelatnas lebih besar daripada cabang kluster kedua, ketiga, dan keempat. Cara ini cukup adil di tengah keterbatasan Kemenpora,” ujarnya.
Namun, hal ini berdampak terbatasnya pelatnas sejumlah cabang. Cabang pada kluster pertama bisa melakukan pelatnas setahun penuh, sdangkan kluster kedua, ketiga, dan keempat rata-rata baru melakukan pelatnas pada pertengahan tahun. Bahkan, sejumlah cabang menggelar pelatnas SEA Games 2019 hanya selama dua bulan.
Gatot mengakui, situasi itu sangat tidak ideal karena bisa menghambat proses pembinaan atlet nasional. Untuk itu, pihaknya berjanji akan meninjau ulang sistem kluster yang ada sekarang. ”Pertengahan Desember, Menpora akan melakukan rapat kerja khusus olahraga. Rapat koordinasi itu akan turut mengundang delapan menteri terkait, seperti BUMN, Mendagri, dan Mendikbud,” katanya.
Lewat rakor khusus itu, Kemenpora akan mencari solusi terbaik sistem penganggaran yang ideal. Sistem itu perlu menyesuaikan kondisi Kemenpora yang anggarannya terbatas tetapi tidak mengganggu jadwal pelatnas. ”Sangat tidak ideal jika pelatnas hanya dilakukan enam bulan, bahkan dua-tiga bulan. Tetapi, saat ini, anggaran kami memang hanya cukup untuk itu. Kami perlu mencari jalan keluarnya, antara lain dalam rakor khusus itu,” tuturnya.
Sinergitas
Gatot mengungkapkan, bukan tidak mungkin muncul usulan sinergi antara pusat dan daerah. Termasuk berbagi anggaran pelatnas, misalnya anggaran untuk gaji atlet berasal dari daerah dan untuk akomodasi, transportasi, tempat latihan, hingga mengikuti kejuaraan di luar negeri dari Kemenpora. ”Cara ini bisa menyiasati keterbatasan anggaran di Kemenpora. Dengan itu pula, kami tidak merasa sendirian,” ungkapnya.
Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional juga patut memberi penjelasan detail secara terbuka kepada semua pengurus cabang tentang keterbatasan pemerintah membiayai pelatnas, sehingga tidak memungkinkan sejumlah cabang melakukan pelatnas setahun penuh.
Di sisi lain, Gatot meminta pengurus cabang memahami anggaran pemerintah berbentuk bantuan, tetapi banyak cabang sepenuhnya bergantung apda bantuan tersebut. Sepatutnya, pengurus cabang perlu berusaha mandiri mencari anggaran tambahan untuk memperkuat anggaran pemerintah .
”Kami harap pengurus cabang memahami keterbatasan kami. Jangan hanya bergantung kepada kami tetapi coba juga mencari sumber penganggaran lain. Dengan begitu, kita bisa bersinergi satu sama lain,” ujarnya.
Masalah
Pembatasan jadwal pelatnas menimbulkan masalah di sejumlah cabang olahraga. Di cabang dayung, Kemenpora memberikan bantuan pelatnas sekitar Rp 12 miliar dengan kegiatan pada Juni-Desember 2019. Namun, karena pelatnas sudah berlangsung sejak awal tahun, anggaran itu digunakan untuk membayar kebutuhan atlet maupun pelatih selama Januari-Juli 2019.
Imbasnya, atlet dan pelatih displin rowing belum menerima gaji lima bulan terakhir. Belakangan oleh Kemenpora, PB Podsi justru dinilai menyalahi aturan dengan mengambil keputusan sepihak menggunakan anggaran bantuan pelatnas Juni-Desember 2019 menjadi untuk Januari-Juli.
Pelatih kepala rowing Muhammad Hadris mengatakan, PB PODSI tidak mungkin menunda pelatnas. Olahraga ini sangat mementingkan kekuatan fisik atlet dan latihan harus langsung dikontrol pelatih, sehingga harus dilakukan berkelanjutan dan tidak bisa didesentralisasi. Jika latihan terhenti, butuh usaha besar untuk membangun kembali dari dasar.
”Selama pelatnas berlangsung, atlet dan pelatih pasti butuh gaji dan daya dukung peralatan. Apalagi sebagian besar atlet dan pelatih sudah bekeluarga sehingga punya tanggungan yang harus dinafkahi. Di sisi lain, peralatan latihan maupun tanding yang ada sudah usang, yakni sisa Asian Games 2018 lalu,” katanya.
Masalah itu juga dialami oleh displin olahraga sofbol dan bisbol PB Perbasasi. Manajer pelatnas sofbol putri Iwan Jarot dihubungi beberapa waktu lalu menyampaikan, pihaknya tidak bisa memaksa diri melakukan pelatnas sejak awal tahun. Sebagai konsekuensinya, para atlet melakukan latihan sendiri di daerah masing-masing usai seleksi nasional pada Februari lalu.
Mereka hanya dipanggil ketika diperlukan membela timnas, seperti ketika mengikuti Piala Asia Sofbol Putri 2019 di Jakarta, April. Namun, karena kebutuhan ikut kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020 di Shanghai, China, September dan persiapan SEA Games 2019 Filipina, 17 atlet yang ada dipanggil untuk sentralisasi latihan di Jakarta sejak September.
Mirisnya, PB Perbasasi masuk cabang kluster keempat tetapi belum melakukan nota kesepahaman atau MOU dengan Kemenpora. Dengan anggaran diperkirakan sekitar Rp 3,5 miliar, PB Perbasasi hanya diberikan kesempatan pelatnas selama Oktober-Desember.
Akibatnya, Iwan bersama sejumlah donatur harus patungan menalangi secara mandiri semua kebutuhan pelatnas. Mereka menyediakan akomodasi, konsumsi, transportasi, membayar sewa lapangan di Kompleks GBK, hingga kebutuhan pergi ikut Kualifikasi Olimpiade 2020. ”Walau kluster keempat, para atlet ini adalah atlet nasional. Tidak sepatutnya mereka mendapatkan perlakuan seperti ini. Apalagi mereka juga berjuang untuk mengharumkan nama bangsa dan negara di pentas internasional,” tuturnya.
Wakil Ketua Umum PB Perbasasi Leo Agus mengutarakan, dirinya berharap pelatnas bisa berlangsung setahun penuh dan berkelanjutan. Jika anggaran dari Kemenpora terbatas, setidaknya pemerintah bisa mengupayakan tim mendapatkan tempat tinggal dan tempat latihan gratis tanpa harus melakukan nota kesepahaman.
Menurut dia, pengurus cabang sudah sangat terkuras tenaga dan pikirannya untuk membina atlet guna mencapai prestasi tinggi. Mereka juga dibebani dengan urusan administrasi membuat MOU bantuan anggaran pelatnas hingga laporan penggunaan anggaran itu. Mereka tidak sepenuhnya menolak cara itu tetapi paling tidak ada sebagian urusan administrasi yang tidak dibebani dengan pengurus cabang, seperti urusan tempat menginap dan tempat latihan.