Dalam rangka perlindungan investor, transparansi jadi kebutuhan utama di tengah maraknya skandal dalam industri pengelolaan investasi pasar modal. Pemahaman risiko investasi di pasar modal juga perlu ditingkatkan.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam rangka perlindungan investor, transparansi kini jadi kebutuhan utama di tengah maraknya skandal dalam industri pengelolaan investasi pasar modal. Pengetahuan serta pemahaman masyarakat terkait risiko investasi di pasar modal juga perlu ditingkatkan untuk menghindari risiko.
Head of Investment Research Wawan Hendrayana menilai transparansi perlu ditingkatkan untuk menghindari kembali terjadinya kekisruhan berupa gagal bayar dari produk pasar modal, seperti reksa dana.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu meningkatkan aspek transparansi dengan mengungkapkan besaran aset dasar (underlying asset) dari produk reksa dana.
”Berkaca dari AS (Amerika Serikat), pasar industri reksa dana mereka sangat terbuka, otoritas di sana membuka data underlying asset dari puluhan produk reksa dana,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Rabu (27/11/2019).
Apabila aset dasar reksa dana bisa diungkap lagi kepada khalayak umum melalui laman resmi OJK, investor dapat menganalisis lebih dalam mengenai strategi dari manajer investasi.
Sementara bagi manajer investasi atau pengelola reksa dana, hal ini bisa membuat fund manager lebih disiplin untuk memilih underlying asset dan juga akan sulit untuk bermain dengan saham-saham berfundamental tidak terlalu baik.
Sebelumnya, OJK telah menertibkan sejumlah portfolio reksa dana yang terindikasi melakukan pelanggaran.
Berkaca dari Amerika Serikat, pasar industri reksa dana mereka sangat terbuka, otoritas di sana membuka data underlying asset dari puluhan produk reksa dana.
OJK telah mengenakan sanksi berupa suspensi penjualan produk reksa dana keluaran PT Narada Aset Manajemen dan PT Minna Padi Aset Manajemen. Selain itu, OJK juga menjatuhi larangan penjualan reksa dana selama tiga bulan kepada PT Pratama Capital Assets Management.
Narada Aset Manajemen mendapatkan sanksi setelah mengalami gagal bayar dalam transaksi pembelian saham senilai Rp 177,78 miliar. Adapun Minna Padi Aset Manajemen dinilai menjual produk reksa dana berbasis saham dengan menjanjikan hasil investasi pasti (fixed rate).
Sementara itu, pembekuan reksa dana terbitan Pratama Capital Assets Management disebabkan adanya kepemilikan saham PT Kawasan Industri Jababeka Tbk yang melebihi batas maksimal 10 persen. Padahal, Peraturan OJK No 23/POJK.04/2016 melarang manajer investasi menerbitkan reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif berupa kepemilikan efek yang diterbitkan oleh satu pihak lebih dari 10 persen dari nilai aktiva bersih.
Selain melakukan transparansi, analis pasar modal sekaligus pendiri LBP Institute, Lucky Bayu Purnomo, menilai pihak otoritas dan regulator pasar modal perlu melakukan kerja sama lintas lembaga untuk meningkatkan literasi investasi portofolio masyarakat.
”Literasi perlu ditingkatkan sehingga masyarakat memiliki kedalaman untuk melihat apa saja kandungan risiko dari produk investasi reksa dana,” ujarnya.
Efek domino
Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee menjelaskan kisruh gagal bayar memberikan efek domino sehingga membuat beberapa sekuritas mengalami kesulitan likuiditas dana. Kondisi ini akan berdampak pada penurunan nilai dana modal kerja bersih disesuaikan.
Modal kerja bersih disesuaikan dengan merupakan modal minimal yang harus dimiliki perusahaan sekuritas sebagai penghitungan kekuatan modal, berdasarkan nilai aset dan modal perusahaan yang dikurangi komponen kewajibannya.
”Penurunan modal kerja bersih berpotensi membuat transaksi sebuah broker terkena suspensi sehingga bisa membuat kepanikan di pasar,” ujar Hans.
Kepanikan pasar terefleksi dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang kembali berada di zona merah pada penutupan perdagangan hari ini, meskipun cukup lama berada di zona hijau saat pembukaan perdagangan. IHSG ditutup melemah 3,15 poin atau 0,05 persen ke level 6.023,04.
Selain itu, mengacu pada data perdagangan mingguan Bursa Efek Indonesia (BEI) per 22 November 2019, nilai rata transaksi harian di pasar modal tercatat sebesar Rp 6,24 triliun per hari, menurun 3,69 persen dari pekan sebelumnya sebesar RP 6,48 persen.
Penurunan nilai transaksi harian juga berdampak pada menurunnya nilai kapitalisasi pasar sebesar 0,44 persen, dari Rp 7.048,57 triliun pada 20 November 2019 menjadi Rp 7.017,82 triliun per 22 November 2019.