Tambang emas ilegal di Solok Selatan dan Dharmasraya, Sumbar, terindikasi menggunakan solar bersubsidi dalam beroperasi. Hal itu menjadi ironi di tengah kelangkaan solar bersubsidi di wilayah ini sebulan terakhir.
Oleh
·5 menit baca
SOLOK SELATAN, KOMPAS — Tambang emas ilegal di Solok Selatan dan Dharmasraya, Sumatera Barat, terindikasi menggunakan solar bersubsidi dalam beroperasi. Hal itu menjadi ironi di tengah kelangkaan solar bersubsidi di Sumbar dalam sebulan terakhir yang memicu antrean panjang. Diperketatnya pengawasan dan penindakan dinilai dapat mengurangi aktivitas tambang emas ilegal.
Kompas, Tim Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan pemerhati lingkungan, Sabtu-Rabu (23-27/11/2019), menemukan penggunaan solar bersubsidi dalam aktivitas tambang emas ilegal di Solok Selatan dan Dharmasraya. Solar bersubsidi merupakan bahan bakar bagi ekskavator dan pompa air diesel yang digunakan dalam menambang.
Di Solok Selatan, penyalahgunaan itu ditemukan di tambang emas ilegal dalam Hutan Lindung Batanghari; Jorong Talantam dan Jorong Gasing, Sangir Batanghari; serta Sungai Pamong Besar dan Pamong Kecil, Sangir. Sementara di Dharmasraya, penyalahgunaan ditemukan di tambang emas di Sungai Baye dalam perkebunan karet Nagari Koto Baru.
Suprapto (40), operator ekskavator salah satu tambang di Hutan Lindung Batanghari, Sabtu (23/11/2019), mengatakan, solar dipasok oleh penimbun. Solar bersubsidi dijual sekitar Rp 250.000 per jeriken dengan isi 30 liter atau Rp 8.333 per liter. Harga solar itu lebih mahal daripada harga pasaran di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) Rp 5.150 per liter.
”Solar dikirim dengan perahu tempel dari Pelabuhan Sungai Penuh (Sangir Batanghari, Solok Selatan) atau dari Pulau Punjung (Dharmasraya),” kata Suprapto. Di Sumbar, Sungai Batanghari melewati Solok Selatan dan Dharmasraya, dua kabupaten yang bertetangga.
Solar dikirim dengan perahu tempel dari Pelabuhan Sungai Penuh (Sangir Batanghari, Solok Selatan) atau dari Pulau Punjung (Dharmasraya).
Pengakuan serupa diungkapkan oleh Abu Hanifah (52), pemilik tambang emas ilegal di Jorong Gasing. Abu mendapat pasokan solar bersubsidi dari Pelabuhan Sungai Penuh dan Pulau Punjung. ”Setiap hari ada yang mengantarkan solar (lokasi tambang),” kata Abu.
Sementara itu, Teguh (24), petambang di Sungai Pamong Gadang, Senin (25/11/2019), mengaku mendapatkan solar bersubsidi dari penimbun di Sangir. Solar dipasok melalui jalur darat menggunakan mobil pikap. ”Susah kalau langsung beli ke SPBU (stasiun pengisian bahan bakar untuk umum),” kata Teguh.
Pantauan Kompas, Sabtu-Minggu (23-24/11/2019), sejumlah perahu tempel hilir-mudik di Sungai Batanghari dari Pelabuhan Sungai Penuh menuju lokasi tambang emas ilegal. Setiap perahu tempel mengangkut puluhan jeriken solar bersubsidi. Di titik-titik tambang, tersusun puluhan jeriken berisi solar bersubsidi ataupun kosong.
Sementara itu, di Sungai Pamong Besar dan Pamong Kecil, Senin (25/11/2019), belasan hingga puluhan jeriken solar bersubsidi diangkut dengan mobil pikap. Adapun bagi petambang yang menggunakan mesin pompa air diesel di Sungai Baye, Rabu (27/11/2019), solar bersubsidi dipasok dengan sepeda motor.
Al (40), penyuplai solar salah satu petambang di Sungai Baye, mengatakan, saat ini ia menjual solar bersubsidi Rp 270.000 per jeriken. Harga normal solar bersubsidi sekitar Rp 160.000 per jeriken.
Menurut Al, solar dikumpulkan dari SPBU di sekitar Dharmasraya dengan menggunakan mobil jenis colt diesel. Tangki mobil telah dimodifikasi sehingga dapat menampung solar hingga dua kali lipat menjadi 200 liter.
”Tukang langsir dapat bagian Rp 10.000 per jeriken. Petugas SPBU Rp 20.000 (per jeriken). Kadang-kadang satpam Rp 20.000-Rp 30.000 (per jeriken). Sisanya untuk saya,” kata Al.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas dari para petambang, satu ekskavator menghabiskan sekitar 14 jeriken solar dalam sehari. Sementara mesin pompa air diesel dalam sehari menghabiskan 1 jeriken.
Walhi Sumatera Barat dalam sebulan terakhir setidaknya menemukan 75 ekskavator tambang emas ilegal beroperasi di empat kecamatan di Solok Selatan. Jika mengacu ke data itu, penyalahgunaan solar bersubsidi untuk tambang ilegal di Solok Selatan sekurang-kurangnya 31.500 liter senilai Rp 262,5 juta.
Perhitungan tersebut belum termasuk puluhan atau bahkan ratusan pompa air diesel yang beroperasi di lokasi tambang emas ilegal di Solok Selatan dan Dharmasraya.
Untuk modus kedua, jika terbukti oknum SPBU melanggar ketentuan, kami tak segan menindak dan mengenakan sanksi. Sementara untuk modus pertama diperlukan pengawasan dan jika perlu, penindakan oleh aparat. Ini yang terus kami tingkatkan sinerginya dengan Polda Sumbar.
Unit Manager Communication and CSR Pertamina Marketing Operation Region I M Roby Hervindo, Rabu (27/11/2019), mengakui, ada pihak yang tidak berhak ikut mengonsumsi solar bersubsidi. Kondisi ini yang memicu kelangkaan solar di Sumbar sebulan terakhir dan memicu antrean panjang di SPBU.
Dari Januari hingga Oktober 2019, kata Roby, alokasi solar subsidi dari pemerintah untuk Sumbar sebesar 331.126 kiloliter. Adapun Pertamina sudah menyalurkan 369.551 kiloliter atau melebihi kuota sebanyak 38.425 kiloliter (15 persen).
Pengawasan
Berdasarkan identifikasi Pertamina, ada dua modus yang digunakan oleh pelaku penyalahgunaan. Pertama, penimbun menggunakan kendaraan biasa ataupun modifikasi untuk melangsir solar bersubsidi. Diisi, kemudian dikuras untuk diisi kembali. Kedua, penimbun bekerja sama dengan oknum di SPBU untuk mendapatkan pasokan solar bersubsidi.
”Untuk modus kedua, jika terbukti oknum SPBU melanggar ketentuan, kami tak segan menindak dan mengenakan sanksi. Sementara untuk modus pertama, diperlukan pengawasan dan jika perlu, penindakan oleh aparat. Ini yang terus kami tingkatkan sinerginya dengan Polda Sumbar,” kata Roby.
Ketua Kelompok Pencinta Alam Winalsa, Abdul Aziz, mengatakan, penyalahgunaan oleh petambang emas ilegal menjadi ironi di tengah kelangkaan solar bersubsidi. Semestinya aparat penegak hukum bisa menindak para pengepul solar bersubsidi yang digunakan untuk aktivitas tambang ilegal itu.
Menurut Aziz, diperketatnya pengawasan dalam praktik penimbunan solar bersubsidi dan penindakan terhadap pelaku penimbun dapat mengendalikan jumlah tambang emas ilegal. Sebab, hampir semua ekskavator dan mesin pompa air diesel milik petambang memakai solar bersubsidi. Jika rantai penyalahgunaan solar bersubsidi terputus, peralatan para petambang tidak akan bisa beroperasi.
”Jangan biarkan negara menyubsidi kerusakan lingkungan yang akan merugikan negara itu sendiri,” kata Aziz.