Selamat Jalan, Kehidupan Jalanan…
Hak anak harus diberikan, seperti hak pendidikan, bermain, dan mendapat kasih sayang orangtua. Atas upaya itu mewujudkan hak anak itu, Surabaya akhirnya diganjar sebagai Kota Layak Anak kategori Utama.
”Anak jalanan kumbang metropolitan, selalu ramai dalam kesepian”. Petikan lagu berjudul ”Anak Jalanan” ciptaan Guruh Soekarnoputra yang dipopulerkan Chrisye sejak 1978 itu tampaknya sudah tidak relevan lagi jika melihat kondisi anak jalanan di Surabaya, Jawa Timur. Tak ada lagi anak-anak yang menghabiskan waktunya di jalan raya.
Plak-plak…. Sepakan dan pukulan Muhammad Hasyim (14) berkali-kali mengenai matras yang menjadi sasarannya. Malam itu dia berlatih silat untuk mengikuti kejuaraan silat kelas usia dini putra, Kota Pahlawan Championship 2019, yang akan digelar tiga hari lagi.
”Tahun lalu saya ikut hanya mendapat juara kedua, sekarang targetnya harus bisa juara satu,” kata Hasyim saat ditemui saat berlatih silat di Kampung Anak Negeri, Surabaya, Rabu (20/11/2019).
Sepintas Hasyim tidak berbeda dengan anak-anak lainnya. Namun, warna kulit wajahnya yang hitam tak bisa menutupi masa lalunya yang menandakan sering berada di bawah terik matahari. Selama sekitar tiga tahun, dia menjadi anak jalanan di daerah Bangkalan, Madura.
Sejak bersekolah di salah satu sekolah dasar negeri di Surabaya, Hasyim sering tidak pulang ke rumah. Penyebabnya tak lain karena kedua orangtuanya sering bertengkar sehingga dia tidak nyaman pulang ke rumah seusai bersekolah.
Sering kali dia tidur di pinggir jalan atau lampu lalu lintas di daerah Bangkalan. Di tempat itu pula, dia bekerja memenuhi kebutuhannya sendiri karena meminta uang saku dari orangtuanya adalah hal yang mustahil.
Sering kali dia tidur di pinggir jalan atau lampu lalu lintas di daerah Bangkalan. Di tempat itu pula, dia bekerja memenuhi kebutuhannya sendiri karena meminta uang saku dari orangtuanya adalah hal yang mustahil.
Namun, anak jalanan adalah cerita masa lalu bagi Hasyim. Sekitar tiga tahun lalu, dia tidak lagi mangkal di salah satu lampu lalu lintas di Bangkalan untuk membersihkan kaca mobil para pengguna jalan.
Kerasnya kehidupan jalanan menempa Hasyim menjadi pribadi yang cenderung emosional. Beberapa kali dia terlibat tawuran antarpelajar atau geng di kelompoknya. Kejar-kejaran dengan satuan polisi pamong praja pun menjadi hal biasa baginya.
Kehidupannya berubah setelah Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mendatangi rumah orangtuanya di Kenjeran, Surabaya.
”Akhirnya saya harus menyerah setelah Bu Risma datang ke rumah saya. Meskipun saat itu saya bisa menghindar karena tidak ada di rumah, tetapi setiap hari satpol PP selalu memantau rumah saya. Begitu saya pulang, langsung ditangkap dan dimarahi Bu Risma,” kata Hasyim.
Setelah ditangkap oleh Satpol PP, dia dibina di Kampung Anak Negeri yang dikelola Dinas Sosial Kota Surabaya. Di tempat itu, Hasyim disekolahkan kembali ke sekolah formal. Pada malam hari, dia mengikuti kegiatan silat, tinju, dan atletik. ”Saya belum tahu mau jadi apa, tetapi yang jelas harus lebih tinggi daripada satpol PP,” ujar siswa kelas VI tersebut.
Saya belum tahu mau jadi apa, tetapi yang jelas harus lebih tinggi daripada satpol PP. (Hasyim, 14 tahun, bekas anak jalanan)
Di Kampung Anak Negeri, ada 35 bekas anak jalanan dan anak rentan menjadi anak jalanan yang dibina. Sebagian besar berasal dari penjangkauan masyarakat yang melaporkan adanya anak-anak yang rentan menjadi anak jalanan karena masalah keluarga. Sebagian kecil adalah anak-anak yang ditangkap oleh satpol PP karena berada di jalanan, tawuran, dan ngelem.
Selama berada di Kampung Anak Negeri, anak-anak tersebut disekolahkan di sekolah-sekolah formal dan beberapa di antaranya mengikuti ujian kejar paket. Selain itu, mereka juga diwajibkan ikut kegiatan lain, seperti olahraga, musik, dan latihan kedisiplinan. Tak lupa, waktu dan tempat bermain juga disediakan untuk anak-anak yang rata-rata masih bersekolah SD dan SMP.
”Tidak ada waktu terbuang di sini. Semua melakukan kegiatan yang positif dan bermanfaat untuk masa depan,” kata Julian Zettira Hidayat (18), penghuni lainnya.
Setiap hari, Julian bangun sekitar pukul 05.00. Setelah mengikuti latihan baris-berbaris, dia mengikuti pelatihan barista yang diadakan dinas sosial. Pelatihan tersebut diberikan sebagai bekal keterampilan mencari pekerjaan setelah keluar dari Kampung Anak Negeri.
Setelah itu, anak kedua dari tiga bersaudara ini mengikuti pelatihan ujian kejar paket C untuk bisa mendapatkan ijazah SMA. Sekolahnya dahulu terhenti karena kedua orangtuanya berpisah sehingga Julian tidak sanggup untuk melanjutkannya.
Tidak ada waktu terbuang di sini. Semua melakukan kegiatan yang positif dan bermanfaat untuk masa depan. (Julian Zettira Hidayat)
”Dahulu, cita-cita saya untuk bekerja di kapal pesiar atau hotel sempat hilang karena putus sekolah. Sekarang harapan itu ada setelah saya difasilitasi mengikuti ujian kejar paket C dan pelatihan-pelatihan lain yang mendukung profesi impian saya,” kata Julian.
Tak hanya itu. Di Kampung Anak Negeri, Julian juga mengikuti pelatihan musik. Dia menjadi vokalis Kans Band bersama teman-temannya. Hampir setiap minggu tawaran untuk mengisi acara-acara selalu datang dari berbagai pihak, salah satunya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya. Sekali manggung, setidaknya Rp 1,5 juta diperoleh oleh kelompok tersebut. ”Minat dan bakat kami diarahkan ke jalur yang positif,” ujarnya.
Risma mengatakan, sejak 2010, hampir setiap hari petugas satpol PP menyisir anak jalanan di Surabaya. Mereka berpatroli di jalan raya, bahkan hingga ke rumah-rumah tempat tinggal anak jalanan dan anak yang rentan menjadi anak jalanan.
Kini, anak jalanan atau yang sekarang menjadi bekas anak jalanan dibina Kampung Anak Negeri. Bahkan, sejak 2012, Kota Surabaya benar-benar bersih dari serbuan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), seperti anak jalanan, pengemis, dan pengamen, di perempatan jalan, terutama di titik-titik lampu pengatur lalu lintas.
Di Surabaya juga sulit menemukan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) karena ODGJ yang hampir setiap malam ”didrop” di perbatasan Surabaya dibawa untuk dirawat di Liponsos Keputih.
Baca juga: Surabaya Cari Solusi Menghadang Anak Putus Sekolah
Kini, anak jalanan atau yang sekarang menjadi bekas anak jalanan dibina Kampung Anak Negeri. Bahkan, sejak 2012, Kota Surabaya benar-benar bersih dari serbuan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), seperti anak jalanan, pengemis, dan pengamen, di perempatan jalan, terutama di titik-titik lampu pengatur lalu lintas.
Atas upaya yang konsisten dalam menghilangkan anak jalanan, kini di kota berpenduduk 3,3 juta jiwa ini sangat sulit menemukan anak jalanan yang berkeliaran di lampu lalu lintas, kolong jembatan, taman, terminal, dan tempat-tempat lain yang biasa dijadikan lokasi berkumpul anak jalanan. Upaya itu turut terbantu dengan keberadaan 1.200 kamera pengawas yang tersebar di lampu pengatur lalu lintas.
Anak-anak jalanan yang terjaring razia pada mulanya akan dipertemukan kepada orangtua. Jika dinilai ada masalah yang bisa berakibat pada telantarnya anak, mereka diarahkan untuk ke Kampung Anak Negeri. Pemkot Surabaya juga melakukan penjangkauan kepada anak-anak yang rentan menjadi anak jalanan.
”Anak-anak yang ada di Kampung Anak Negeri hanya boleh keluar setelah mereka mendapatkan pekerjaan dengan upah di atas upah minimum kota. Kami berupaya menyalurkan mereka ke instansi dan perusahaan-perusahaan di Surabaya,” ujarnya.
Menurut Risma, munculnya anak jalanan disebabkan adanya masalah keluarga. Oleh sebab itu, pihaknya berupaya memberikan bantuan psikologis dan keuangan. Beberapa di antaranya melalui program pendidikan pranikah untuk menyiapkan mental pasangan pengantin. Sementara dari sisi ekonomi, pelatihan kewirausahaan dan penyaluran menjadi tenaga honorer dilakukan kepada kelompok masyarakat tersebut.
”Kalau ada masalah di keluarga yang menjadi korban adalah anak-anak. Kasihan mereka, padahal mereka tidak tahu apa-apa,” ujar Risma.
Kalau ada masalah di keluarga yang menjadi korban adalah anak-anak. Kasihan mereka, padahal mereka tidak tahu apa-apa.(Tri Rismaharini)
Kepada seluruh keluarga, Risma berpesan agar menjaga anaknya dengan baik. Hak-hak anak harus diberikan, seperti hak pendidikan, bermain, dan mendapat kasih sayang dari kedua orangtua. Atas upaya itu, Surabaya akhirnya diganjar sebagai Kota Layak Anak (KLA) kategori Utama dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Baca juga: Sekolah untuk yang Terabaikan