Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Belum Jadi Agenda Utama
Meski ada kemajuan dalam upaya pemberdayaan perempuan selama 25 tahun pelaksanaan Kerangka Aksi Beijing 1995, tingginya angka kekerasan terhadap perempuan masih menjadi tantangan utama, terutama di Asia dan Pasifik.
Oleh
Yovita Arika dari Bangkok, Thailand
·4 menit baca
BANGKOK, KOMPAS — Meski ada kemajuan dalam upaya pemberdayaan perempuan selama 25 tahun pelaksanaan Kerangka Aksi Beijing 1995, tingginya angka kekerasan terhadap perempuan masih menjadi tantangan utama, terutama di kawasan Asia dan Pasifik. Perlu ada konsensus regional untuk menjadikan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan ini sebagai agenda utama.
Berdasarkan data UN Women, entitas PBB untuk kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan, 1 dari 3 perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan fisik/seksual. Angka di Asia dan Pasifik lebih tinggi lagi, lebih dari 37 persen perempuan di Asia Selatan, 40 persen perempuan di Asia Tenggara, dan 68 persen perempuan di Pasifik pernah mengalami kekerasan fisik/seksual.
Di Indonesia, berdasarkan Survei pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2016 (BPS, 2018), 1 dari 3 perempuan Indonesia berusia 15-64 tahun atau sekitar 28 juta perempuan pernah mengalami kekerasan fisik/seksual.
“Di kawasan ini (Asia dan Pasifik) kita tidak mempunyai konvensi hukum secara khusus untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Keberadaan Konvensi Istanbul di Eropa dan Protokol Maputo di Afrika telah menunjukkan hasil yang baik. Jadi, perjanjian tingkat regional bermanfaat bagi semua wilayah untuk menjadikan penghapusan kekerasan terhadap perempuan sebagai agenda utama,” kata Dubravka Simonovic, Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan dalam temu media di Bangkok, Thailand, Selasa (26/11/2019), menjelang Konferensi Asia Pasific Regional Beijing+25 Review yang akan digelar di Bangkok pada 27-29 November 2019.
Di kawasan ini (Asia dan Pasifik) kita tidak mempunyai konvensi hukum secara khusus untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Konvensi Istambul yang berlaku sejak 2014 mewajibkan negara-negara di Eropa mengambil langkah-langkah guna mengatasi kekerasan terhadap perempuan, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, hingga kawin paksa. Sedangkan negara-negara Afrika melalui African Union, pada 2003 merumuskan sebuah instrumen hukum regional yang dikenal dengan Protokol Maputo. Hasilnya, salah satunya, kasus sunat terhadap perempuan (Female Genital Mutilation) di Afrika menurun 4-26 persen selama 2000-2013, meski belum berhasil di Somalia.
Sejak Protokol Maputo diberlakukan mulai 2003, kasus sunat terhadap perempuan (Female Genital Mutilation) di Afrika menurun 4-26 persen selama 2000-2013.
Mohamad Naciri, Direktur Regional UN Women Asia dan Pasifik, mengatakan, kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan cermin dari budaya ketidaksetaraan dan diskriminasi terhadap perempuan. Untuk itu, semua pihak harus mengubah pola pikir dan norma yang diskriminatif terhadap perempuan, antara lain melalui pendidikan dan juga melalui media yang berperan memberi kesadaran dan pemahaman akan kesetaraan jender.
“Kita tidak akan pergi ke mana-mana jika kita tidak memperhatikan masalah ini. Kita harus menghentikan stereotip perempuan. Media mempunyai peranan penting untuk memberi kesadaran dan pemahaman akan kesetaraan jender, antara lain dengan menghilangkan berita-berita yang memberi sterotip pada perempuan,” kata dia.
Bjorn Anderson, Direktur Regional Dana Penduduk PBB (UNFPA) untuk Asia dan pasifik mengatakan, ada paling tidal 102.00 komitmen di tingkat nasional maupun internasional untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan pemberdayaan perempuan. Pihaknya memantau pelaksanaan komitmen-komitmen tersebut, dan dia mengakui belum semua komitmen berjalan dengan baik.
Konferensi
Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing 1995 merupakan salah satu komitmen tingkat internasional yang menjadi landasan penting dalam upaya pemberdayaan perempuan dan anak perempuan di dunia. Deklarasi yang dihasilkan saat Konferensi Tingkat Dunia ke-4 di Beijing ini telah disepakati oleh 189 negara, termasuk Indonesia. Negara-negara tersebut berkomitmen melakukan aksi dan langkah strategis di 12 bidang untuk memajukan hak perempuan dan anak perempuan.
Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing 1995 menjadi landasan penting dalam upaya pemberdayaan perempuan dan anak perempuan di dunia.
Menjelang 25 tahun pelaksanaan Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing tersebut pada 2020, diadakan pertemuan regional tingkat Asia dan Pasifik di Bangkok untuk meninjau ulang pelaksanaan Kerangka Aksi Beijing. Sekitar 20 delegasi tingkat menteri dan menteri dari negara-negara di kawasan Asia dan Pasifik menghadiri Konferensi Asia Pasific Regional Beijing+25 Review tersebut pada 27-29 November 2019.
Secara umum, berdasarkan data UN Women, pemberdayaan perempuan di Asia dan Pasifik meningkat. Salah satu contoh di bidang pendidikan, angka partisipasi perempuan mendekati angka partisipasi laki-laki dalam mengakses pendidikan menengah dan tinggi. Bahkan, perempuan yang mengakses pendidikan mempunyai kemampuan lebih tinggi dalam matematika dan membaca dibandingkan laki-laki.
Di bidang ekonomi, semakin banyak perempuan yang bekerja daripada yang tinggal di rumah (menjadi ibu rumah tangga). Namun pencapaian ini tidak berarti bahwa perempuan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak daripada laki-laki. Selain itu, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan secara konstem menurun dalam dua dekade terakhir.
Tingkat pastisipasi angkatan kerja laki-laki dan perempuan menurun, tetapi penurunan lebih banyak pada perempuan. Bahkan, perempuan terkonsentrasi pada pekerjaan informal dan rentan, serta kurang memiliki akses perlindungan sosial secara formal. Pada sektor formal pun, untuk posisi yang sama, penghasian perempuan juga lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Angka kekerasan terhadap perempuan, sebagaimana disampaikan Montira Narkvichien, Spesialis Komunikasi Regional pada UN Women Asia dan Pasifik, juga masih tinggi. Kekerasan terhadap perempuan yang terus terjadi menjadi hambatan serius bagi pemberdayaan perempuan di Asia dan Pasifik.