Persaingan ekspor mebel antara Vietnam dan Indonesia tidak hanya menggerus industri besar, tetapi juga industri menengah serta kecil. Hal ini sudah terasa sejak dua tahun lalu saat konsumen beralih ke Vietnam.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
HO CHI MINH CITY, KOMPAS — Persaingan ekspor mebel antara Vietnam dan Indonesia tidak hanya menggerus industri besar, tetapi juga industri menengah serta kecil. Hal ini terasa sejak dua tahun lalu saat konsumen beralih ke Vietnam karena beragam penyebab.
Liem tong In, pengusaha mebel di Bali, merasakan hal itu. Penurunan penjualan mebelnya mencapai tiga kali lipat dibandingkan dengan dua tahun yang lalu. ”Biasanya saya mengekspor produk sekitar 2 kontainer dengan omzet Rp 1,2 miliar per bulan. Sekarang, hanya setengah kontainer atau senilai Rp 200-Rp 300 juta per bulan,” katanya saat hadir dalam Pameran Mebel Internasional Vietnam di Ho Chi Minh City, Vietnam, Rabu (27/11/2019).
Liem menyebutkan, penurunan ini disebabkan beralihnya pembeli dari Indonesia ke sejumlah negara, seperti Vietnam dan India. Meski kualitasnya lebih baik buatan Indonesia, harga produk Vietnam jauh lebih murah. Hal itu ia kembali buktikan saat berkeliling melihat karya sejumlah peserta pameran.
Penurunan penjualan, kata Liem, ikut memengaruhi beragam sektor lain. Liem harus mengurangi tenaga kerja, dari yang sebelumnya 20 pekerja menjadi tinggal 5 orang. ”Saya menggunakan pekerja berdasarkan penjualan. Kalau penjualan menurun, mereka terpaksa dirumahkan,” katanya.
Untuk mencegah kebangkrutan, Liem tengah mencari pasar baru yang belum diincar industri mebel Vietnam. Ia sudah mendata pasar baru, seperti Australia, Selandia Baru, dan Jepang, serta negara-negara di Eropa. Selain itu, dirinya juga terus berinovasi sehingga memberikan nilai tambah pada produk yang diciptakannya.
Sekretaris Jenderal Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengatakan, sejak 10 tahun terakhir jumlah pengusaha mebel di Indonesia terus menurun. ”Dari semula 5.000 eksportir mebel yang terdaftar, sekarang tinggal 3.000 eksportir,” ungkapnya.
Dari jumlah yang masih bertahan, sekitar 75 persennya adalah pelaku usaha kecil menengah. Omzet mereka hanya 25 persen dari total produksi mebel Indonesia, sebesar 1,7 miliar dollar AS di tahun 2018. ”Mereka yang paling rentan jadi korban persaingan global ini,” kata Sobur.
Dari semula 5.000 eksportir mebel yang terdaftar, sekarang tinggal 3.000 eksportir.
Kondisi itu berbeda dengan Vietnam yang lebih banyak merangkul pelaku industri besar. Hal itu membuat nilai ekspor mebel mereka sangat besar. Tahun ini, nilai sudah mencapai target, Rp 9,3 miliar dollar AS. Pada 2020, Vietnam menargetkan nilai ekspor mencapai 13 miliar dollar AS, meningkat dari target tahun ini.
”Ada sejumlah kemudahan yang diberikan Pemerintah Vietnam bagi pengusaha mebel sehingga membuat mereka dapat bersaing di pasar ekspor, termasuk memberi harga kompetitif,” katanya.
Ia mencontohkan, harga satu set meja sekitar Rp 3,8 juta yang ditawarkan dalam pameran itu. Di Indonesia, satu set meja itu biasanya dijual Rp 10 juta. Perbedaan harga yang timpang ini, tidak lepas dari ongkos produksi yang juga memang berbeda jauh.
”Ongkos produksi di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan dengan di Vietnam,” kata Sobur.
Dari sisi tenaga kerja, perbedaan upah pekerja antara Indonesia dan Vietnam sangat besar, mencapai 73 persen. Selain itu, harga tanah di Indonesia bisa dua kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan Vietnam. ”Dengan cara ini, tentu industri mebel di Indonesia sulit bersaing dengan Vietnam,” kata Sobur.
Hal ini dikhawatirkan akan membuat semakin banyak pabrik mebel besar merelokasi industri ke kawasan yang lebih murah, salah satunya Vietnam. Saat ini, sudah ada beberapa perusahaan mebel besar yang pindah ke Vietnam dan beberapa industri mebel kecil yang harus gulung tikar karena tidak mampu bersaing.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim akan mengevaluasi hasil kunjungan ini. Dia mengatakan, ada beberapa kebijakan yang bakal dilakukan, seperti insentif bagi perusahaan untuk mengundang para investor masuk ke Indonesia.
Selain itu, ungkap Rochim, pihaknya akan mengusulkan para pengusaha mebel tingkat kecil dan menengah untuk mulai menerapkan otomatisasi industri agar penggunaan tenaga kerja dapat ditekan, tetapi produksi masih tetap tinggi.
”Penggunaan mesin akan mulai diperkenalkan pada Maret 2020. Dengan cara ini, saya harap pengusaha mebel tingkat usaha kecil menengah dapat bersaing,” katanya.