Petugas BNN dan kepolisian menggerebek pabrik produksi pil PCC di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Dalam penyergapan tersebut, petugas menyita lebih kurang 2 juta pil yang masuk kategori narkotika golongan I ini.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
TASIKMALAYA, KOMPAS — Petugas Badan Narkotika Nasional dan kepolisian menggerebek pabrik produksi pil PCC di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa (26/11/2019). Dalam penyergapan tersebut, petugas menyita lebih kurang 2 juta pil yang masuk kategori narkotika golongan I ini.
Dalam jumpa pers di pabrik yang terletak di Kelurahan Gununggede, Kecamatan Kawalu, Rabu (27/11), Deputi Pemberantasan BNN Inspektur Jenderal Arman Depari menyatakan, pabrik PCC (paracetamol, caffeine, carisoprodol) ini disamarkan menjadi pabrik sumpit dan tusuk sate. Hal tersebut diduga untuk mengelabui warga.
Obat ini memberikan efek halusinasi hingga perubahan perilaku bagi penggunanya.
Petugas menangkap sembilan orang di tempat yang terpisah. Tiga orang (MJP, HE, dan SU) digelandang dari pabrik di Tasikmalaya, sedangkan empat orang lainnya (DPM, EC, YE, dan AM) ditangkap saat membawa paket di daerah Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Adapun dua orang lainnya, yakni SE dan NJ, ditangkap di sebuah gudang di kawasan Kroya, Cilacap, Jawa Tengah.
Arman menjelaskan, PCC masuk kategori narkotika golongan I sehingga produksi dan peredaran obat tersebut dilarang. Obat ini memberikan efek halusinasi hingga perubahan perilaku bagi penggunanya. Bahkan, dalam beberapa kasus, pengguna PCC mengalami kematian akibat efek obat maupun aksi yang membahayakan jiwa akibat halusinasi tersebut.
Kasus besar terkait penyalahgunaan PCC pernah membuat heboh publik pada September 2017 lalu di Kendari, Sulawesi Tenggara. Puluhan warga, sebagian besar remaja, menjadi korban penyalahgunaan obat tersebut dan dirawat di rumah sakit. Seorang di antaranya tewas.
Bahan obat yang mudah didapatkan membuat produksi obat-obatan ini bisa dilakukan dengan jumlah banyak. Di pabrik ini saja, tutur Arman, produksinya mencapai 120.000 butir per hari.
Dari tiga komposisi bahan, hanya carisoprodol yang sulit didapatkan karena sudah masuk dalam jenis psikotropika dan dilarang beredar di Indonesia. Peredaran PCC sendiri sudah dilarang di Indonesia sejak 2013.
Selain produk siap jual beserta bahan-bahannya, petugas juga menyita empat kendaraan yang diduga untuk operasional dan beberapa alat produksi, seperti mesin cetak obat, oven, dan alat pengepakan.
”Saat penggerebekan, kami menyita berbagai bahan siap produksi selain 2 juta pil dari saksi-saksi tersebut. Sebagian besar sudah siap didistribusikan. Semuanya sedang kami hitung,” ujar Amran.
Arman menuturkan, pihaknya masih menyelidiki jaringan penjualan obat-obatan berbahaya ini. Penyelidikan membutuhkan waktu karena jaringan tersebut memisahkan tempat produksi dengan pos-pos distribusi. Selain itu, bahan baku carisoprodol yang didapatkan dengan cara ilegal juga masih ditelusuri.
”Tidak menutup kemungkinan jaringan ini merambah ke luar negeri karena bahan tersebut sudah masuk dalam daftar jaringan narkotika internasional. Kami juga masih menelusuri apakah jaringan ini termasuk baru atau lama,” ujarnya.
Aktivitas produksi yang disamarkan sebagai pabrik sumpit dan tusuk sate itu berhasil membuat warga tidak curiga. Oding Rohendi (66), warga Desa Gununggede yang rumahnya berjarak kurang dari 500 meter dari pabrik, bahkan tidak menyadari aktivitas produksi obat-obatan tersebut.
Oding menjelaskan, pabrik sumpit tersebut beroperasi sejak awal 2019. Namun, pabrik tersebut hanya terbuka di bagian belakang dan gudang samping, sedangkan rumah yang menjadi tempat produksi sangat tertutup.
”Saya mengira tidak ada kegiatan apa-apa di dalamnya karena semua kegiatan di luar dan di gudang. Pegawainya sekitar 20 orang, tetapi tidak ada yang masuk ke dalam rumah tersebut karena memang selalu tertutup,” ujarnya.