Menkes Terawan: Ada Pemborosan yang Luar Biasa
Mutu kesehatan masyarakat menentukan keberhasilan pembangunan sumber daya manusia unggul. Untuk itu, pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin menekankan pembenahan menyeluruh sistem kesehatan.
Kualitas kesehatan masyarakat turut menentukan keberhasilan pembangunan sumber daya manusia yang unggul di masa depan. Untuk itu, pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin menekankan pembenahan menyeluruh sistem kesehatan di Indonesia.
Selain pembenahan pada sistem jaminan kesehatan nasional, Presiden juga menghendaki penurunan signifikan pada angka tengkes atau stunting yang ditandai tubuh pendek akibat kurang gizi kronis. Berikut ini petikan wawancara Harian Kompas dengan Menteri Kesehataan Terawan Agus Putranto untuk menanyakan strategi mewujudkan hal itu, di Kantor Kementerian Kesehatan di Jakarta, Selasa (26/11/2019).
Presiden menyatakan bahwa tidak ada visi dan misi menteri, yang ada adalah visi misi presiden. Apa pesan Presiden terkait bidang kesehatan yang harus dilaksanakan Menteri Kesehatan?
Visi misi Presiden sudah jelas diungkapkan terus adalah menyiapkan sumber daya manusia unggul Indonesia maju di 2045. Dengan arahan khusus yang ditekankan fokus pada mengatasi permasalahan BPJS Kesehatan, mengatasi masalah stunting, angka kematian ibu dan angka kematian bayi, dan juga mengenai harga obat yang tinggi serta penggunaan alat kesehatan produksi nasional. Karena itu, saya tidak punya visi dan misi, jadi visi misinya Presiden yang dituangkan di dalam arahan beliau itu harus dijalankan dan menjadi prioritas yang harus dikerjakan.
Apakah itu sudah tercakup dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional)?
Sudah. Sudah masuk di RPJMN dan sekalian dengan penganggarannya dalam lima tahun ke depan.
Baca juga Presiden : Perbaiki Manajemen BPJS Kesehatan
Bagaimana Anda melihat situasi kesehatan di Indonesia saat ini?
Saya melihat banyak peluang. Saya tidak pernah melihat banyak masalah, jadi saya melihat situasi kesehatan di Indonesia sebagai peluang yang bisa dikerjakan. Ini tantangan yang harus saya selesaikan, kalau melihatnya sebagai masalah nanti malah nglokro (tidak bersemangat). Saya justru melihat ada peluang banyak sehingga harus kerja cepat kerja keras dan kerja yang terfokus. Keadaan yang seperti sekarang ini membuat saya terpacu.
Yang dimaksud peluang itu seperti apa?
Ya, misalnya, ada permasalahan BPJS Kesehatan di mana membuat pelayanannya kok turun. Di mana-mana kok terjadi defisit yang besar. Artinya, ada peluang untuk menyelesaikannya dengan cepat. Kali ini jika saya selesaikan permasalahan dengan baik, otomatis pelayanan kesehatan akan meningkat. Kalau semua dikerjakan secara berkelanjutan, semuanya akan nyaman.
Selain itu, peluang lainnya adalah soal stunting. Banyak daerah yang belum tercakup dengan baik, nah, kesempatan saya bisa mengecek daerah itu untuk mengetahui sebenarnya apa kekurangannya. Apakah problematikanya itu ada di masalah ketersediaan bahan makanan, ketersediaan kemampuan ekonomi dan sebagainya, atau jangan-jangan edukasinya saja yang kurang.
Setiap daerah punya kearifan lokal sendiri-sendiri, nah, di situ menjadi peluang buat saya untuk menyelesaikannya. Dan, saya yakin jika semuanya dilandasi dengan doa, saya percaya bisa menyelesaikannya dengan baik.
Terkait tingginya beban ganda soal penyakit menular dan tidak menular di Indonesia, strategi apa yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut?
Penyakit menular itu ancaman. Ancaman itu, kan, bisa emerging (baru muncul) atau reemerging diseases (penyakit yang muncul kembali). Nah kalau untuk penyakit menular ini kita harus lihat konteksnya. Karena itu, kita harus mengacu pada Inpres (Instruksi Presiden) Nomor 4 Tahun 2019 mengenai Ketahanan Kesehatan Nasional dan itu diterjemahkan dalam bagaimana mendeteksi, melakukan penanganannya, maupun surveilans. Semua kementerian punya wewenangnya masing-masing.
Untuk penyakit menular, berbeda dengan penyakit tidak menular. Penyakit tidak menular itu terutama selain masalah karena gaya hidup, juga masalah menyangkut pengetahuan. Untuk penyakit tidak menular, yang paling utama adalah melakukan promotif dan preventif. Jadi, bagaimana menjelaskan dan mengedukasi masyarakat untuk melakukan pencegahan terjadinya penyakit tidak menular, misalnya, jangan makan gula yang berlebihan atau garam yang berlebihan. Semua kalau berlebihan itu tidak bagus.
Ini nanti sebatas imbauan atau lebih keras lagi berupa aturan pembatasan konsumsi gula, garam, dan lemak pada produk makanan seperti yang sudah dijalankan di negara lain?
Ya, produk-produk itu, kan, sudah diatur, ada aturannya sendiri baik yang tertuang dalam registrasi produknya atau saat melakukan produksinya. Yang paling utama itu, justru edukasinya. Karena itu, edukasi preventif dan promotif bisa dilakukan. Mulai dari puskesmas, FKTP (fasilitas kesehatan tingkat pertama) itu harus berperan dalam preventif dan promotif juga. Kalau tidak, FKTP ini sendiri yang akan terbebani biaya yang tinggi karena masyarakatnya sakit.
Karena itu, kunci preventif dan promotif ini sangat kental untuk menjaga kesehatan, terutama juga mencegah agar penyakit tidak menular tidak muncul di kemudian hari.
Kalau menyinggung soal akreditasi puskesmas yang pernah Anda sampaikan, ini seperti apa teknisnya dengan pertimbangan beban kuratif di puskesmas yang kini masih besar?
Jadi, kalau preventif dan promotif terus diangkat oleh puskesmas, otomatis kuratifnya mengecil, otomatis masyarakat lebih sehat. Sebaliknya, jika puskesmas tidak mau (melakukan upaya) promotif preventif, pelayanan kesehatan kuratif akan semakin besar. Terkait teknis (akreditasi) nanti yang dicapai apa saja, itu akan diterjemahkan oleh para dirjen (direktur jenderal). Saya lebih pada masalah policy (kebijakan), dan policy adalah harus preventif dan promotif.
Dengan preventif dan promotifnya yang menonjol, otomatis itu pelayanan kuratif di yankes (pusat pelayanan kesehatan) akan menurun. Pengeluarannya juga jadinya sedikit untuk obat-obatan sehingga dampaknya yankes dapat keuntungan yang lebih besar dengan melakukan budaya preventif dan promotif. Penghematan luar biasa juga bisa didapatkan jika memberatkan pada upaya preventif dan promotif.
Upaya preventif promotif ini termasuk pengendalian dampak konsumsi rokok?
Kalau itu jelas. Sudah otomatis. Mereka akan menjelaskan mana yang kira-kira akan menjadi ancaman buat kesehatan masyarakat. Nah itu, kan, terserah dari teknik cara para tenaga kesehatan di daerah. Nomor satu memang bagaimana memberikan edukasi tanpa menimbulkan ketersinggungan justru menimbulkan ketersadaran.
Bagaimana mengatasi tantangan cakupan imunisasi yang masih belum maksimal, termasuk dengan adanya gerakan antivaksin di masyarakat?
Perlu penyadaran dengan edukasi. Kalau ada gerakan, ya, kita juga buat gerakan untuk menyadarkan kembali pentingnya imunisasi dasar untuk kembali memberikan pemahaman yang baik tanpa harus konfrontasi. Kalau maunya produk halal, ya, produk halal yang kita berikan.
Ya, kalau memang terpaksa tidak ada halalnya tapi itu harus dibutuhkan, kita akan minta fatwa-fatwanya dalam keadaan darurat. Fatwa bahwa kini dalam keadaan tidak ada bahan lain yang untuk diberikan. Nomor satu itu dikomunikasikan dengan baik, kalau main kenceng-kencengan” ya tidak selesai-selesai. Peluangnya ada di komunikasi.
Bagaimana upaya yang akan dilakukan untuk terus menurunkan angka tengkes Indonesia?
Kita ingin mencapai angka stunting itu menjadi semakin menurun sampai di bawah 20 persen. Caranya ada dua, lewat intervensi langsung dan intervensi tidak langsung atau namanya intervensi spesifik dan intervensi sensitif. Intervensi langsung dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan yang tidak langsung oleh kementerian lain.
Yang oleh Kementerian Kesehatan itu hanya bisa membantu memengaruhi 30 persen saja, sedangkan 70 persen itu oleh kementerian dan lembaga lain, seperti untuk masalah sanitasi lingkungan yang ada di bawah Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat), menyangkut ekonomi masyarakat, lalu BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana) untuk mewujudkan keluarga sejahtera. Puskesmas juga punya peranan yang harus digerakkan.
Ini, kan, milik pemda, bukan milik Kementerian Kesehatan. Termasuk di dalamnya adalah posyandu dan PKK. Edukasinya itu bukan hanya dari Kementerian Kesehatan karena 70 persen justru bekerja sama dengan kementerian dan lembaga lain.
Masalah stunting ini semua bisa dilibatkan. Dan, di situlah sebuah karya yang luar biasa dari sebuah harmonisasi dari kementerian dan lembaga bekerja sama untuk menurunkan angka stunting.
Apa tantangan terbesar dalam mengatasi stunting di Indonesia?
Tantangan terbesar selalu di masalah edukasi. Wilayah kita ini besar sekali, ada wilayah-wilayah remote area dan rural area. Juga ada persoalan pola asuh terhadap anak-anak, mulai dari penyiapan untuk nanti kehamilan sampai anaknya lahir. Itu perlu edukasi yang baik dan juga perlu waktu.
Masalah stunting ini juga dihadapi di perkotaan. Banyak karena kedua orangtuanya harus bekerja keras untuk mencari nafkah untuk anak-anaknya. Jadi, kadang tidak terpelihara dengan baik akhirnya muncul stunting. Ini juga termasuk pada pengelolaan di tempat-tempat penitipan anak.
Karena itu, nomor satu adalah preventif dan promotif dengan mengedepankan keterlibatan Puskesmas yang membawahi area itu. Jangan terlalu sibuk dengan pelayanan kuratif, tetapi kondisi lingkungannya tidak baik. Jadi kita perlu memikirkan tantangan wilayah yang ada di Indonesia, mencakup remote area, rural area, dan urban area.
Bagaimana mendorong FKTP untuk juga fokus menjalankan fungsi promotif dan preventif?
FKTP harus mau turun ke bawah, turun ke masyarakat. Jadi harus mengubah pola pikir dari tenaga kesehatan bahwa melayani itu bukan di belakang meja ataupun di samping tempat tidur, tetapi datangilah rumah-rumah warga dan ketuk pintunya, lihat sanitasinya, kalau lihat apa yang ada di meja makannya. Dengan begitu, hubungan batin antara tenaga kesehatan dengan masyarakat itu menjadi dekat. Di situlah kita tidak membentuk pelayanan robot dengan masyarakat sebagai obyek. Tingkatkan edukasi ke masyarakat soal hidup sehat.
Bagaimana menekan angka kematian ibu yang menjadi salah satu syarat pencapaian dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs?
Saya tahu saat ini angka kematian ibu dan bayi itu masih tinggi sehingga harus saya turunkan. Saya tidak peduli datanya, yang saya peduli adalah ini masih tinggi dan saya harus berbuat apa supaya SDGs-nya nanti tercapai. Jika melihat pada data dan fakta dari laporan BPJS Kesehatan bahwa perbandingan persalinan normal dan seksio itu 45 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dari batasan WHO 20 persen.
Jadi, ternyata tindakan sectio (operasi sesar) yang meningkat tidak menurunkan kematian ibu dan kematian bayi. Artinya, bukan masalah tindakan medisnya, melainkan pada masalah kartu ibu hamil yang tidak dimanfaatkan optimal serta antenatal care (pemeriksaan kehamilan) yang tidak dimaksimalkan. Termasuk juga untuk mengatasi anemia ibu hamil yang saat ini masih sangat tinggi. Peran puskesmas untuk bisa menjangkau ibu hamil sejak dini menjadi penting.
Apa upaya yang akan dilakukan untuk menekan defisit yang dialami BPJS Kesehatan, selain peningkatan upaya preventif dan promotif, serta menaikkan iuran yang dinilai hanya menjadi solusi jangka pendek?
Menaikkan premi iuran peserta kan hanya menambah pundi-pundi pemasukan BPJS Kesehatan. Namun, kalau kebocoran yang ada lebih besar akan sama saja meski sudah diisi lebih besar. Kebocoran ini bisa dilihat dari pemanfaatan pelayanan yang berlebihan, seperti perbandingan persalinan seksio yang mencapai 45 persen. Artinya, ada hal yang dilakukan tidak sesuai diagnosis.
Baca juga Peluang Emas JKN
Selain itu, juga penanganan pada pasien kanker yang pada stadium awal sudah diobati dengan kemoterapi, padahal bisa sembuh dengan operasi. Nah itulah yang harus dibenahi.
Imbauan saya secara profesional harus melakukan pembenahan sendiri tidak usah sampai Menteri Kesehatan melakukan regulasi. Ini termasuk juga pada pelayanan jantung yang mencapai Rp 10,5 triliun di mana 70 persen dari hasil cath lab (deteksi kelainan jantung) ternyata normal. Itu berarti ada suatu pemborosan yang luar biasa.
Ini termasuk juga pada pelayanan jantung yang mencapai Rp 10,5 triliun di mana 70 persen dari hasil cath lab (deteksi kelainan jantung) ternyata normal. Itu berarti ada suatu pemborosan yang luar biasa. Jadi, kalau bisa mulai lebih sadar pada preventif dan promotif, termasuk pada dokter spesialis yang melakukan pendekatan edukasi. Pelayanan pun harus sesuai dengan diagnosis jangan melampaui batasan agar tidak over diagnose (diagnosis berlebihan), jadi bocornya bisa ditambal.
Pemasukan kita dalam program JKN ini, kan, terbatas sehingga pelayanannya tidak bisa unlimited medical service (layanan kesehatan tanpa batas). Para profesional ini diharapkan berkerja sesuai kaidahnya, istilahnya ono tapi ojo ngono. Jadi kembalilah ke jati diri sebagai dokter yang mau melayani ke bawah.
Terkait pengembangan wisata medis, apa pertimbangannya untuk mengedepankan ide tersebut, termasuk soal kerokan, jamu, dan ”Mak Erot”?
Itu karena dulu saya juga kerokan terus, saya juga dulu dicekoki jamu dan saya juga jadi tambah sehat sampai sekarang. Kerokan juga saya tidak jadi dermatitis dan tidak jadi autoimun.
Bagaimana dengan aturan protokol medis yang membutuhkan bukti medisnya?
Hal yang tidak perlu diatur ya jangan diatur. Yang risikonya rendah itu tidak perlu diatur. Kalau yang low risk (risiko rendah) saja diatur, semuanya berantakan dan semuanya jadi minta untuk diatur.
Bagaimana tanggapan Bapak terkait pandangan beberapa pihak yang meragukan pengalaman birokrasi dan juga relasi dengan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) yang pernah mencuat di masyarakat?
Nah inilah kalau secara konservatif berpikirnya. Jadi begini, kalau masalah pengalaman birokrasi jelas saya ini kan pejabat di militer. Pangkat saya itu letnan jenderal. Secara birokrasi, saya itu penentu untuk membuat peraturan administrator. Pangkat letnan jenderal itu adalah jabatan politik yang ditentukan presiden.
https://kompas.id/baca/utama/2019/10/25/kontroversi-menteri-kesehatan-dokter-terawan/
Pengalaman saya yang lain di organisasi juga cukup baik. Sampai detik ini saya adalah Chairman ICMN (International Committee of Military Medicine). Untuk organisasi nasional, saya juga menjadi Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia.
Soal dengan IDI itu hubungannya baik-baik saja karena kita juga sudah diikat sumpah dokter bahwa sesama dokter itu menjadi saudara kandung dan tidak ada yang boleh membatalkannya. Kalau namanya saudara kandung itu bagaimana, kan, kadang-kadang bertengkar juga, tetapi itu damai-damai saja jalannya. Sekarang saya justru jadi mengerti kemauannya (IDI), jadi saya tambah bisa memiliki peluang untuk membangun kesehatan nasional pada masyarakat .
Jadi, Anda optimistis bisa menjawab tantangan kesehatan setidaknya dalam lima tahun mendatang, termasuk untuk menjawab tantangan produk obat dan alat kesehatan yang masih banyak diimpor?
Jelas. Soal obat itu juga saya berupaya mempermudahnya dengan mempermudah izin edar obat dan alat kesehatan. Kemeterian Kesehatan tidak sekadar mengambil alih peran untuk memberikan izin edar, melainkan juga bekerja sama dengan Badan POM untuk mengevaluasi apa saja yang menghambat proses perizinan sehingga sekat-sekat yang selama ini ada bisa dihilangkan.