Mencipta Ruang untuk Anak Jalanan
“Kalau mau selamat, nggak usah ngimpi macem-macem”. Potongan kalimat itu merupakan salah satu dialog dalam film tentang anak jalanan Daun Di Atas Bantal (1998) karya Garin Nugroho.
Kalimat itu diucapkan oleh Asih (diperankan aktris Christine Hakim), seorang perempuan penjaga toko kecil yang menjadi “ibu asuh” tiga anak jalanan (Heru, Kancil, Sugeng) di sekitar Pasar Beringharjo, Yogyakarta.
Asih memperingatkan Heru untuk mengurungkan mimpinya ingin tidur bersamanya. Kancil baru saja tewas ketika bermain dengan bantal Asih, yang mereka bertiga perebutkan, di atas gerbong kereta yang sedang berjalan.
Heru, Kancil, dan Sugeng adalah anak jalanan yang berjuang untuk sekedar hidup di rimba dunia orang dewasa. Ketiganya setiap hari bergulat dengan kelaparan, kedinginan, kerinduan akan sosok ibu yang mengasihi mereka, kekerasan fisik, perampasan, serta kecanduan lem aibon yang mereka gunakan untuk lepas sejenak dari kepahitan hidup. Di film, hidup ketiganya berakhir tragis, tewas di jalanan tanpa ada yang mengurus jenazahnya.
Kancil baru saja tewas ketika bermain dengan bantal Asih, yang mereka bertiga perebutkan, di atas gerbong kereta yang sedang berjalan.
Kisah getir kehidupan anak jalanan telah menginspirasi banyak pembuat film di dunia untuk menampilkannya di layar lebar. Pixote (1981), Salaam Bombay! (1988), Ali Zaoua: Prince of The Street (2000), City of God (2002), Thanks Maa (2009), Capernaum (2018) adalah beberapa film tentang tema tersebut.
Hal ini memperlihatkan anak jalanan merupakan fenomena dunia, terutama kota-kota besar seperti Mumbai, Kolkata, Sao Paulo, Casablanca, Manila, Beirut, termasuk Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Makassar. Konstruksi film tentang anak jalanan tersebut bukan sekedar konstruksi rekayasa tetapi bersumber dari kenyataan pahit yang dialami anak-anak jalanan setiap hari.
Di Indonesia anak jalanan masih menjadi persoalan sosial yang kompleks. Kompleksitas tersebut berkaitan dengan berbagai masalah yang berkelindan. Kemiskinan keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, akses terhadap pendidikan, dan kriminalitas adalah masalah-masalah yang sering membuat fenomena anak jalanan terus hadir.
Rentan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan anak jalanan sebagai anak yang menggunakan sebagian besar waktunya di jalanan. Saat ini anak jalanan dilihat dalam tiga kategori yaitu anak-anak usia 5-17 tahun yang rentan menjadi anak jalanan, anak yang bekerja di jalanan, serta anak yang menghabiskan seluruh waktu dan hidupnya tinggal di jalanan.
Ketiga kategori ini selalu terkait dengan masalah kemiskinan yang kemudian menariknya menjadi anak jalanan. Kemiskinan mengakibatkan minimnya akses terhadap sumber ekonomi atau pekerjaan, akses terhadap pendidikan yang bisa digunakan untuk alat mobilitas kelas sosial, maupun akses terhadap ruang-ruang ekspresi anak.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan anak jalanan sebagai anak yang menggunakan sebagian besar waktunya di jalanan.
Dalam buku Analisis Kemiskinan Anak dan Deprivasi Hak Dasar Anak Indonesia terbitan BPS dan Unicef (2017) disebutkan bahwa pada Maret 2016 terdapat 28,01 juta (10,86 persen) penduduk miskin di Indonesia. Dari jumlah itu 40,22 persen adalah anak-anak. Mereka inilah yang rentan menjadi anak jalanan.
Tingginya tingkat kemiskinan anak dibanding kelompok usia lain karena pertama, tingginya tingkat ketergantungan anak pada lingkungan (keluarga dan jaringan sosial) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara itu, kelompok usia lainnya relatif secara fisik dan psikologi lebih punya kemandirian dan ketrampilan untuk masuk ke aktivitas ekonomi.
Kedua, kebanyakan anak miskin berada di rumah tangga miskin dengan jumlah rata-rata anak lebih banyak dibanding rumah tangga tidak miskin. Akibatnya porsi kesejahteraan bagi tiap anak jauh lebih sedikit. Anak lalu berpotensi mencari atau disuruh mencari ke jalanan.
Hasil Jajak Pendapat Kompas di 16 kota besar menyebutkan lebih dari separuh responden menyatakan lampu merah sebagai lokasi di mana mereka paling sering melihat anak jalanan. Lokasi lainnya adalah stasiun/terminal, pusat belanja/pasar, serta alun-alun kota. Tempat-tempat itu menjadi area di mana anak jalanan menggantungkan nafkah mereka sekaligus tempat yang rentan terjadinya kekerasan fisik maupun seksual terhadap mereka.
Kondisi anak yang lebih rentan membuat anak jalanan sasaran empuk eksploitasi dan kekerasan fisik maupun seksual yang dilakukan orang dewasa. Hasil jajak juga mengungkap, porsi terbesar responden (49,9 persen) melihat anak jalanan di lampu merah bekerja mengamen, baik sendiri (34,7 persen) dengan peralatan seadanya maupun ditemani orang dewasa (15,2 persen).
Selain mengamen, 27 persen responden mengaku melihat anak jalanan mengemis, baik sendiri (20 persen) atau ditemani orang dewasa (8,3 persen). Sedangkan 13,5 persen responden melihat anak jalanan berjualan, sendiri (10,6 persen) maupun ditemani orang dewasa (2,9 persen). Anak-anak tersebut biasanya memiliki “bos”, orang dewasa yang menagih setoran dari mereka.
Kepedulian
Tahun 2016 Kemensos RI mencanangkan program Gerakan Sosial Menuju Indonesia Bebas Anak Jalanan. Gerakan ini mendorong pemerintah daerah membuat regulasi di tingkat daerah untuk menangani anak jalanan, mengalokasikan anggaran guna menangani anak jalanan, mengoptimalkan peran masyarakat dan perusahaan (CSR) untuk anak jalanan, dan meningkatkan koordinasi antar-instansi untuk menyelesaikan persoalan anak jalanan.
Namun, hingga saat ini persoalan ini belum kunjung selesai. Metode menangkap anak jalanan dan menitipkannya sementara waktu di rumah singgah tampaknya belum bisa memutus rantai persoalan anak jalanan. Ketika waktu penitipan berakhir, anak-anak tersebut kembali lagi ke jalan berikut siklus kekerasan yang mengikutinya.
Hasil jajak mengungkapkan peran lembaga swadaya masyarakat dinilai publik lebih besar kepeduliannya (36,8 persen) dalam menangani anak jalanan
Hasil jajak mengungkapkan peran lembaga swadaya masyarakat dinilai publik lebih besar kepeduliannya (36,8 persen) dalam menangani anak jalanan dibandingkan pemerintah (21,6 persen) maupun organisasi keagamaan (15,6 persen). Sejumlah LSM memang secara nyata telah memberi kontribusi dalam mengubah nasib tragis anak jalanan menjadi lebih berdaya.
Sanggar Anak Akar di Jakarta misalnya, yang secara konsisten menyediakan ruang-ruang ekspresi dan pemberdayaan bagi anak jalanan maupun anak miskin kota sejak 1989, telah melahirkan anak jalanan yang bertransformasi menjadi pemuda-pemudi kompeten di bidang pendidikan, komunikasi, seni dan pendamping masyarakat.
Baca Juga: Memahami Anak Jalanan
Selama di sanggar mereka dilatih berorganisasi, menyelesaikan masalah bersama, menciptakan ruang belajar bersama tentang ketrampilan maupun persoalan hidup. Dari ruang hidup bersama tersebut tercipta sikap gotong-royong, tanpa kekerasan, dan kreativitas.
Saat ini, anak-anak tersebut secara bergantian ikut mengelola sanggar dan melatih anak-anak miskin yang datang kemudian.
Mencipta ruang-ruang ekspresi akan memastikan hak-hak anak tidak dirampas dan menjadi tempat berlatih, bukan saja untuk bermimpi tetapi juga mewujudkan mimpi-mimpi mereka. (Susanti Agustina/B.I. Purwantari/Litbang Kompas)