Jumlah kasus HIV yang ditemukan dan dilaporkan baru mencapai 60,7 persen dari jumlah kasus HIV yang diperkirakan mencapai 600.000 orang di Indonesia.
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah kasus HIV yang ditemukan dan dilaporkan baru mencapai 60,7 persen dari jumlah kasus HIV yang diperkirakan mencapai 600.000 orang di Indonesia.
Untuk itu, tes HIV (human immunodeficiency virus) pada masyarakat perlu diperluas, terutama pada populasi kunci, seperti wanita pekerja seks, lelaki seks dengan lelaki, dan pengguna napza suntik.
Ketua Panel Ahli HIV/AIDS Penyakit Infeksi Menular Seksual Sjamsurizal mengatakan, deteksi dini pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) melalui tes HIV perlu diperluas agar cepat mendapatkan obat antiretroviral (ARV).
Dengan obat tersebut, virus HIV yang terdapat di dalam tubuh seseorang lebih bisa dikendalikan sehingga kualitas dan harapan hidupnya menjadi lebih baik.
”Jika cepat terdeteksi dan cepat mendapatkan obat, bisa membantu meningkatkan kualitas hidup dari ODHA. Dengan ARV, virus bisa dikendalikan sehingga tidak sampai menurunkan kekebalan tubuh seseorang. Selain itu, risiko penularannya menjadi lebih kecil,” ujar Sjamsurizal di Jakarta, Rabu (27/11/2019).
Kementerian Kesehatan mencatat, jumlah kasus HIV yang dilaporkan sampai dengan Juni 2019 sebanyak 349.882 orang atau 60,7 persen dari estimasi ODHA tahun 2016 sebesar 640.443 orang.
Dari data itu, jumlah ODHA yang mendapatkan pengobatan ARV sampai Juni 2019 sebanyak 115.750 orang. Sementara ODHA yang putus obat mencapai 23 persen atau 55.508 orang.
Menurut Sjamsurizal, rendahnya ODHA yang terdeteksi di Indonesia karena kurangnya kesadaran dan pemahaman untuk melakukan tes HIV. Seharusnya, ketika ada seseorang yang terdeksi HIV, pasangannya juga perlu dilakukan tes.
Selain itu, tenaga kesehatan pun sebaiknya lebih ramah pada pasien yang ingin melakukan tes.
”Sering kali sikap nakes (tenaga kesehatan) masih memberikan stigma pada seseorang yang ingin melakukan pemeriksaan HIV. Akibatnya, pasien merasa tidak nyaman dan enggan melakukan tes. Hal lain adalah mendorong tersedianya sarana pemeriksaan di pusat pelayanan kesehatan terdekat,” katanya.
Direktur Jenderal Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono menuturkan, penemuan kasus HIV masih perlu ditingkatkan. Karena itu, skrining melalui tes HIV perlu dilakukan terutama pada populasi kunci, seperti wanita pekerja seks, lelaki seks dengan lelaki, dan pengguna napza suntik.
Selain itu, pemeriksaan juga wajib dilakukan pada populasi umum, seperti ibu hamil, pasien yang terdiagnosis tuberkulosis, dan narapidana. Untuk pemeriksaan HIV pada ibu hamil, target pemeriksaan diberikan pada sekitar 5 juta jiwa.
Namun, dari Januari sampai Juni 2019, baru sekitar 1 juta ibu hamil yang sudah dilakukan tes. Dari pemeriksaan itu, ditemukan ada 3.000 orang yang terinfeksi HIV.
Direktur Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular Langsung Wiendra Waworuntu menambahkan, deteksi dini pada ibu hamil menjadi penting karena berpotensi menular pada janin.
”Ibu hamil dengan HIV berpotensi menularkan kepada anaknya sampai 45 persen. Sementara kalau ibu hamil ini meminum obat ARV secara rutin, penularannya bisa ditekan sampai 0 persen,” tuturnya.