Di tengah hiruk pikuk pemberitaan isu HAM di Xinjiang oleh media Barat, beberapa waktu lalu, ”Kompas” berkumpul dengan komunitas Nahdlatul Ulama di Kota Wuhan, China. Pertemuan berlangsung di sebuah restoran halal.
Oleh
Iwan Santosa dari Wuhan, China
·6 menit baca
Di tengah hiruk-pikuk pemberitaan isu HAM di Xinjiang oleh media Barat, sepanjang pekan lalu, Kompas meluangkan waktu selama empat hari bersama dengan komunitas Nahdlatul Ulama di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Pertemuan berlangsung di sebuah yi xi lan cai guan (restoran Muslim) di dekat tempat seminar. Restoran qing zhen (halal dalam bahasa Mandarin) adalah bagian dari budaya kuliner China sehingga mudah ditemui di berbagai kota di China.
Setiap malam, Kompas berkumpul bersama Arif Taufiq, Sekretaris Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (NU) China, Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Ahmad Syaiffudin Zuhri (Wakil Rais Syuriah PCNU China), dan beberapa sahabat Nahdliyin. Kami berkumpul di sela-sela seminar ”China-Indonesia People To People Exchange Development Forum (2019)” yang diselenggarakan Central China Normal University (CCNU).
Menu khas yang rou quan (sate kambing yang dibumbui dengan merica dan cabai kering), cikal bakal sate taichan yang berkembang di Jepang lalu sekarang sedang hit di Indonesia, merupakan makanan wajib di restoran Muslim di China yang pas dengan lidah orang Indonesia.
Pemilik warung adalah keluarga Muslim Hui. Suku Hui adalah satu dari beberapa suku bangsa Muslim di China yang diakui dan dilindungi konstitusi China, seperti halnya Suku Uyghur di Provinsi Otonomi Khusus Xinjiang. Adapun Suku Hui memiliki daerah Provinsi Otonomi Khusus, yakni Ningxia Hui. Berbagai suku Muslim lainnya hidup tersebar di seluruh China dan bekerja di berbagai bidang, salah satunya adalah bisnis restoran halal.
”Mayoritas pengunjungnya malah bukan Muslim. Mas, kan, sudah sering ke beberapa kota dan makan di restoran Muslim. Ya, seperti ini pengunjungnya, beragam, termasuk turis asing dan siswa asing yang non-Muslim juga,” kata Zuhri yang sedang menempuh program doktoral di China.
Sepanjang Kompas berkumpul bersama warga Nahdliyin, silih berganti pengunjung warga asing berwajah Eropa, Timur Tengah, dan orang Han (mayoritas etnis penduduk China) datang memesan berbagai menu khas, seperti mi sapi dengan kuah pedas, nasi goreng kambing, dan telur goreng campur sayur. Ada juga yang memesan tumis paprika-kentang-daging sapi, ayam pedas dalam piring besar, hot pot atau mangkuk berisi daging, sayur-mayur berikut kuah kaldu serta cabai kering, dan beragam menu halal yang berabad-abad menjadi bagian tradisi kuliner China.
Restoran halal tempat kami berkumpul tersebut buka sejak petang sampai menjelang subuh sehingga pas dijadikan tempat berkumpul, bersantap, dan begadang semalaman bertukar cerita. Arif Taufiq bercerita, sahabatnya, Lao Ban, pemilik restoran halal di tempat lain, kerap mengundangnya makan bersama seusai shalat Jumat ataupun pada peringatan hari besar Islam.
Sejarah Islam dan China
Sejarah dan budaya Islam memang mengakar di China karena penyebaran Islam sudah berlangsung sejak zaman para sahabat Nabi Muhammad SAW, yakni sekitar abad ke-7 Masehi, sejalan dengan era keemasan Dinasti Tang. Zaman keemasan Dinasti Tang tersebut menyebabkan sebutan china town atau pecinan dalam bahasa Mandarin sebagai Tang Ren Jie (Kampung Orang Dinasti Tang).
Soal keutuhan wilayah dan sejarah China ini memang secara khusus pernah difilmkan oleh United States War Department atau Kementerian Peperangan Amerika Serikat pada 1944 dalam film berjudul The Battle of China. Amerika Serikat mengungkapkan, sejarah China atau masyarakat etnis Han sudah berusia 4.000 tahun sebagai masyarakat yang giat belajar dan cinta damai serta tidak memiliki rekam jejak penaklukan militer.
Film buatan militer Amerika Serikat tersebut menggambarkan wilayah China yang mencakup Manchuria (Dong Bei), Xinjiang, dan Tibet (Xi Zhang). Diungkap pula, sistem etika Konfusius yang hadir lima abad sebelum kelahiran Yesus Kristus pun memiliki banyak kesamaan dengan etika Kristiani dalam hal etika perilaku mengasihi sesama manusia.
Warga Nahdliyin secara umum menerangkan tentang aktivitas ibadah saat berkuliah di China selama ini dapat dilakukan dengan bebas. Berbagai kegiatan lingkar pengajian pun dilangsungkan dengan aman dan bisa berinteraksi dengan sesama Muslim, baik warga China maupun pelajar asing. Akan tetapi, beragam kegiatan harus dilakukan dengan tertib dan ada koordinasi dengan otoritas kampus.
Saat ini pun, meski berlangsung perang dagang antara Amerika Serikat dan China, berbagai produk ternama Amerika Serikat, seperti perangkat mode dan barang bermerek, seperti Coach dan Victoria Secret, tetap laris di China. Demikian pula sedan Cadillac, Ford Mustang, hilir mudik di jalanan China.
Hal sebaliknya, beragam produk harian yang dibeli rakyat Amerika Serikat di berbagai supermarket juga diproduksi di China. Sebagian pabrik dan investasi di China juga berasal dari Amerika Serikat dan Jepang.
Yang menarik, ketika Kompas berada di China, muncul berita dari berbagai media Barat di Eropa dan Amerika Serikat tentang ”bocornya” dokumen kamp tahanan warga di Xinjiang. Keprihatinan soal HAM itu tidak terjadi semisal dalam catatan Kishore Mahbubani dalam buku The New Asian Hemisphere, ketika Duta Besar Inggris Craig Murray mengkritik rezim pemerintahan Uzbekistan di bawah Presiden Islam Karimov, Uzbekistan terletak tidak jauh dari Provinsi Xinjiang, yang disebut menyiksa lawan politiknya.
Kishore Mahbubani menyebut, ketika itu, Amerika Serikat mendapat izin menggunakan pangkalan militer di Uzbekistan dalam Perang Melawan Teror di Afghanistan sehingga situasi HAM di Uzbekistan tidak dijadikan masalah.
Salah seorang aktivis NU yang fasih berbahasa Mandarin dan berada di Jakarta menceritakan, ”bocoran” dokumen yang diberitakan media-media Barat lalu dikutip berbagai media di dunia termasuk di Indonesia tidak menceritakan fakta tentang berbagai fasilitas yang disediakan di tempat itu, seperti fasilitas makan yang higienis dan memenuhi standar keagamaan, bangunan gedung tahan gempa, fasilitas kesehatan, dan pemeriksaan kesehatan berkala.
”Memang ini urusan dalam negeri mereka, China, seperti kita dalam mengurus dan mengupayakan perdamaian Papua, tidak ingin ada campur tangan asing. Namun, seharusnya pihak China juga aktif memberikan informasi agar tidak terjadi salah paham. Fasilitas untuk pendidikan wawasan kebangsaan itu di dunia Barat dipersepsikan seperti gulag di Uni Soviet zaman Perang Dingin, padahal berbeda sekali,” kata sumber yang berada di Jakarta itu.
Rangkaian teror penikaman dan gagasan separatisme oleh sekelompok orang di Xinjiang adalah akar dari langkah kebijakan yang diambil pemerintah pusat di Beijing. Persoalan terorisme yang dilakukan berbagai kelompok di dunia adalah masalah bersama di Eropa, Asia, dan Amerika. Bahkan, beberapa teroris Uyghur pun sempat masuk ke Sulawesi Tengah.
Amerika Serikat dan Eropa Barat sudah membantu China lewat kampanye hak asasi manusia terkait penanganan masalah separatisme dan teror di Xinjiang agar dilakukan dengan cermat dan menghormati HAM. Di sisi lain, Republik Indonesia sesuai dengan UUD 1945 yang mengamanatkan upaya perdamaian dunia bisa membantu lewat mediasi dan membuka ruang dialog resmi dan tidak resmi dalam semangat mencapai perdamaian.
Berbagai pengalaman Indonesia dalam melakukan mediasi resmi dan tidak resmi melalui berbagai lembaga, seperti Kementerian Luar Negeri, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ormas NU, Muhammadiyah, KWI, PGI, dan Jaringan Papua Damai (JPD), terkait upaya damai di Filipina selatan, Thailand selatan, Myanmar, dan lain-lain, merupakan sumbangsih yang dapat diberikan ke dunia, termasuk ke China dalam membangun perdamaian di Xinjiang.
Lembaga, seperti Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT), LIPI, dan lain-lain dapat bertukar pengalaman dengan instansi terkait di China, mulai dari Gong An Bu (Departemen Keamanan Publik) hingga China Academic of Social Science (CASS), lembaga setara LIPI di China yang sangat berpengaruh dalam memberikan masukan kepada pemerintah pusat di Beijing.
Pengalaman membantu mediasi, membentuk kurikulum pendidikan Islam yang moderat, dan membangun ekonomi akar rumput adalah sumbangsih nyata yang bisa diberikan Indonesia.
Mantan Dubes RI untuk China dan juga mantan Inspektorat Jenderal Kemlu RI, Soegeng Rahardjo mengingatkan, Indonesia adalah faktor penting di ASEAN dan ASEAN juga adalah blok regional penting di dunia yang dapat memainkan peran penting dalam membantu proses perdamaian dan stabilitas Asia Timur.