Pemberantasan buku bajakan telah memasuki babak baru. Sebagian penjual yang selama ini menjadi perantara beredarnya buku bajakan berkomitmen untuk tidak lagi menjualnya.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Pemberantasan buku bajakan telah memasuki babak baru. Sebagian penjual yang selama ini menjadi perantara beredarnya buku bajakan berkomitmen untuk tidak lagi menjualnya. Jejaring dengan penerbit buku diperkuat agar para penjual menjajakan buku-buku asli yang diluncurkan dari penerbitnya.
Hal tersebut dimulai dari Shopping Centre, Kota Yogyakarta, Rabu (27/11/2019). Shopping Center merupakan pasar buku tradisional ternama yang menjual beragam jenis buku. Mulai dari buku baru hingga bekas, dari asli sampai bajakan.
”Mereka (penjual buku) benar-benar niat untuk tidak menjual buku bajakan. Jadi, mulai mengurangi itu,” kata Juru Bicara Konsorsium Penerbit Jogja Hinu OS.
Mereka benar-benar niat untuk tidak menjual buku bajakan. Jadi, mulai mengurangi itu.
Hinu menyatakan, hingga Oktober 2018, sebesar 90 persen buku yang dijual di pasar tersebut merupakan buku bajakan. Kondisi itu membuatnya bersama teman-temannya penggiat buku prihatin. Kerugian yang dialami penerbit buku dengan adanya pembajakan tersebut bisa mencapai Rp 13 miliar. Buku-buku bajakan yang paling banyak beredar itu merupakan buku-buku populer, seperti novel.
Lalu, pada ajang festival buku Mocosik 2019, Agustus lalu, 13 penerbit buku dari Yogyakarta, yang bersatu dalam Konsorsium Penerbit Jogja, menyatakan perang terhadap buku bajakan. Bentuk perlawanan itu ditunjukkan dengan pelaporan ke Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta (Polda DIY) mengenai pembajakan buku tersebut.
”Pihak Shopping Centre, sebelum ada tindakan dari Polda DIY, sudah meminta maaf sehingga kami berkomunikasi dengan Polda DIY bagaimana hukumnya dan bagaimana proses buku bajakan ini selesai, dan ini yang terjadi (penyerahan buku bajakan),” kata Hinu.
Para penjual buku itu pun menyerahkan buku bajakan kepada Konsorsium Penerbit Jogja (KPJ). Terdapat ribuan buku yang diserahkan. Buku-buku itu nantinya menjadi bahan pemeriksaan lanjutan guna mengungkap pelaku pembajakan buku yang lebih besar.
Untung (51), perwakilan penjual buku, menyampaikan permohonan maafnya kepada para penerbit buku. Peredaran buku bajakan itu terjadi karena adanya pihak lain yang memasok. Para penjual juga tidak mempunyai akses terhadap penerbit. Ini menjadi persoalan jika buku yang dimiliki suatu penerbit sedang diminati pasar.
Untung mengatakan jumlah penjual buku bajakan hanya 10 persen dari sekitar 120 penjual buku di pasar tersebut. Masih banyak penjual yang berkomitmen menjual buku-buku asli.
”Semoga ke depan terjadi sinergi antara penerbit dan penjual. Semoga kita bisa menjadi mitra baik agar saling bekerja sama membangun usaha dan tidak ada yang dirugikan,” ujar Untung.
Barzen (30), penjual lainnya, meminta agar akses penerbit dipermudah, khususnya penerbit yang memiliki buku-buku populer dan diminati banyak konsumen. Ia meyakini, jika komunikasi antara penerbit dan penjual buku terjalin baik, praktik pembajakan buku bisa luntur dengan sendirinya.
Barzen menyatakan, buku bajakan biasa lebih murah 10-30 persen dari asli. Karena itu, buku bajakan punya peminat.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Yogyakarta Ariyanto mengatakan, para penjual buku itu sebenarnya menjadi pihak yang paling dirugikan dalam kasus pembajakan buku. Mereka tetap bisa terimbas proses hukum walau sebenarnya hanya menjadi perantara. Tidak sedikit yang tidak mengetahui bahwa apa yang dilakukan bisa berimbas pada jalur hukum.
”Penyerahan buku ini menjadi salah satu bentuk moral bahwa kawan-kawan penjual buku mau menyelesaikan persoalan ini. Ini bukti ada iktikad baik,” kata Ariyanto.