Peningkatan cadangan energi fosil dan penggunaan energi terbarukan mesti dijalankan paralel. Selain untuk memenuhi kebutuhan energi yang terus baik, perubahan kondisi juga menuntut ketahanan energi dalam jangka panjang.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan cadangan energi fosil dan penggunaan energi terbarukan mesti dijalankan secara paralel. Selain untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat, perubahan kondisi yang terjadi, baik secara global maupun nasional, juga menuntut ketahanan energi dalam jangka panjang.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, dalam Pertamina Energy Forum (PEF) 2019, di Jakarta, Selasa (26/11/2019), mengatakan, energi fosil masih mendominasi sumber energi primer Indonesia. Demi memenuhi kebutuhan, pemerintah bersama PT Pertamina (Persero) berusaha memacu produksi serta cadangan minyak dan gas bumi.
Demi memperkuat kapasitas keuangan dan teknis, pemerintah mengizinkan Pertamina menggandeng mitra. Selain itu, tingkat produksi migas juga mesti dipertahankan melalui eksplorasi untuk menemukan cadangan minyak. Percepatan pembangunan 6 kilang diharapkan dapat meningkatkan kapasitas pengolahan dari 1 juta barrel per hari menjadi sekitar 2 juta barrel per hari.
Seiring dengan itu, pemerintah mendukung transisi energi dari energi fosil ke energi hijau atau terbarukan. Fokus pemerintah adalah menjaga pertumbuhan ekonomi serta menghilangkan kemiskinan melalui energi bersih dan terjangkau.
Potensi energi terbarukan di Indonesia diperkirakan mencapai 442 gigawatt (GW). Sementara kapasitas energi terbarukan yang terpasang saat ini baru 2 persen. ”Tantangan untuk transisi energi adalah keterbatasan pendanaan, kekurangan dukungan infrastruktur, dan biaya investasi yang tinggi,” ujar Arifin.
Potensi energi terbarukan diperkirakan mencapai 442 gigawatt (GW), sementara kapasitas yang terpasang baru 2 persen.
Pengembangan energi terbarukan, antara lain, ditempuh dengan memanfaatkan minyak sawit mentah (CPO) sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Sejalan dengan itu, kebijakan mandatori biodiesel B30 atau pencampuran 30 persen biodiesel dalam setiap liter solar merupakan upaya menggunakan energi terbarukan sekaligus memperbaiki ekonomi karena mengurangi defisit.
Cari sumber baru
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan, eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran sejak revolusi industri mengakibatkan sumber daya alam semakin terbatas sekaligus berdampak pada iklim. Sementara populasi dunia tumbuh sangat cepat, yakni 7,7 miliar jiwa saat ini akan menjadi sekitar 9,7 miliar jiwa pada 2050.
Di Indonesia, kata Nicke, pihaknya harus memastikan dari ketersediaan energi, aksesibilitas, keterjangkauan, terkait isu lingkungan, dan keberlanjutan. Secara praktis, Pertamina mesti membangun kilang, membangun konektivitas, melakukan efisiensi melalui teknologi, sampai mencari sumber-sumber energi baru.
Sejak 21 November 2019, Pertamina mulai menyediakan B30 di dua terminal bahan bakar minyak dan akan diperluas ke titik distribusi lain hingga Desember 2019. Selain itu, Pertamina juga bekerja sama dengan PT Bukit Asam (Persero) Tbk melakukan gasifikasi batubara agar dapat menyubstitusi elpiji.
”Hari ini gas bisa sebagai bahan baku bisa juga sebagai bahan bakar. Kilang-kilang kami, yang masih pakai BBM (bahan bakar minyak), akan kami konversi ke gas karena lebih efisien, seperti di Kilang Cilacap dan Balongan,” kata Nicke.
Dewan Penasihat Pertamina Energy Institute Widhyawan Prawiraatmadja mengatakan, transisi energi mesti dilakukan sedari sekarang untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang dapat terjadi di depan. Persiapan diperlukan untuk menghadapi kondisi, semisal ketika permintaan terhadap energi fosil mencapai puncak pada 2030 atau ketika kendaraan listrik semakin banyak digunakan.
Transisi energi mesti dilakukan sedari sekarang untuk menghadapi berbagai kemungkinan di depan.
”Jika ke depan elektrifikasi di transportasi terus bertambah, maka di mana posisi Pertamina? Apakah jadi produsen baterai? Kondisi-kondisi seperti ini harus dipikirkan sedari sekarang,” kata Widhyawan.
Executive Director IHS Markit, Nick Sharma, berpandangan, pembangunan kilang minyak seperti yang dilakukan Pertamina memerlukan investasi yang sangat besar. Sementara Pertamina juga diminta untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi yang memerlukan waktu panjang. Pertamina tetap harus menjaga bisnis intinya, yakni di migas, kemudian secara bertahap mengembangkan energi baru terbarukan.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan, pemerintah akan memberikan dukungan bagi investor, baik berbentuk regulasi, perizinan, maupun insentif fiskal. ”Hal-hal yang menghambat kami coba hilangkan, seperti regulasi yang panjang kami perpendek, bahkan hilangkan, lalu kami buat secara daring,” ujarnya.