Tinggal di Dekat Jalan Besar, Anak Rentan Mengalami Gangguan Perkembangan Paru-Paru
Tinggal di tepi jalan besar, hingga sekitar 50 meter dari jalan raya, membuat anak-anak lebih rentan terpapar polusi udara. Paru-paru mereka tak berkembang optimal.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·3 menit baca
Tinggal di tepi jalan besar, hingga sekitar 50 meter dari jalan raya, membuat anak-anak lebih rentan terpapar polusi udara. Paru-paru mereka tak berkembang optimal dan lebih berisiko menderita penyakit jantung, stroke, gagal jantung, dan bronkitis di masa depan.
Hasil itu diperoleh dari studi di 13 kota di Inggris dan Polandia yang dipimpin oleh peneliti dari King Collenge London, Inggris. Anak yang terpapar polusi udara dari pinggir jalan pertumbuhan paru-parunya akan terhambat hingga 14 persen. Risiko mereka mengalami kanker paru-paru naik 10 persen.
Studi itu tidak hanya didasarkan pada jumlah pasien yang masuk ataupun meninggal di rumah sakit semata, tetapi juga didasarkan pada gejala-gejala yang diamati pada sejumlah responden, seperti infeksi dada. Jumlah mereka yang tinggal sekitar 50 meter dari jalan raya dan menunjukkan gejala gangguan paru itu kemudian dibandingkan dengan populasi umum.
Terhambatnya pertumbuhan paru-paru pada anak-anak hingga 14 persen itu terjadi di Oxford, Inggris. Sementara di kota-kota lain di Inggris, pengaruhnya lebih rendah, seperti London 13 persen atau Nottingham yang hanya 3 persen.
Polusi udara
Para peneliti, seperti dikutip BBC, Senin (25/11/2019), menulis, jika tingkat polusi udara bisa dikurangi seperlimanya saja, akan ada ribuan anak yang bisa dihindarkan dari gejala penyakit bronkitis.
”Polusi udara membuat warga kota, khususnya anak-anak, mengalami sakit sejak lahir hingga mati. Namun, kita sering kali mengabaikannya,” kata Rob Hughes dari Dana Udara Bersih (Clean Air Fund/CAF), lembaga filantropi yang berfokus pada pengurangan dampak polusi udara di Inggris.
Polusi udara adalah persoalan global. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut 91 persen populasi dunia atau 6,8 miliar penduduk tinggal di daerah yang kualitas udaranya tidak memenuhi standar kesehatan WHO.
Akibatnya, 4,2 juta penduduk dunia mengalami kematian dini pada 2016 gara-gara menghirup udara yang kualitasnya buruk. Kematian itu diakibatkan oleh paparan partikel berukuran amat kecil, berdiamater kurang dari 2,5 mikron atau sering disebut PM2,5. WHO juga menyebut udara bersih seharusnya memiliki kandungan nitrogen dioksida kurang dari 40 mikrogram per meter kubik.
Selain polutan dari udara luar, asap dalam ruangan dari memasak dan penghangat ruangan juga memberikan risiko kesehatan serius bagi 3 miliar orang, baik akibat pembakaran kayu bakar, biomassa, maupun penggunaan minyak tanah atau batubara.
Sebanyak 91 persen dari kematian prematur itu terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Tingginya polusi udara itu memiliki hubungan yang erat dengan kemiskinan yang dihadapi warga dunia. Dari jumlah kematian prematur tersebut, kematian terbesar ada di Asia Tenggara dan Pasifik Barat.
Buruknya mutu udara yang dihirup itu meningkatkan risiko kesehatan masyarakat. Memperbaiki mutu udara bisa menekan jumlah penderita dan mengurangi beban ekonomi akibat penyakit jantung, stroke, kanker paru-paru, serta penyakit pernapasan kronis dan akut lainnya, seperti asma.
Kualitas udara yang buruk juga jadi tantangan warga sejumlah kota di Indonesia. Pada beberapa kesempatan, seperti saat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di sejumlah kota di Sumatera dan Kalimantan atau saat puncak musim kemarau di Jakarta beberapa waktu lalu, udara benar-benar buruk untuk dihirup.
Studi yang dilakukan 15 lembaga swadaya masyarakat bidang kesehatan dan lingkungan di Inggris itu makin memperkuat bukti bahaya di balik polusi udara yang selama ini sering kali diabaikan. Padahal, makin hari kian banyak bukti dampak polusi udara terhadap kesehatan paru-paru.
”Polusi udara menghambat pertumbuhan paru-paru anak-anak. Padahal, di umur mereka, paru-parunya sedang berkembang hingga lebih rentan terhadap buruknya kualitas udara,” kata Kepala Eksekutif Yayasan Paru-paru Inggris (BLF) Penny Woods.