Umur belia bukan halangan mencintai naskah kuno. Di Banyuwangi, Jawa Timur, tumbuh komunitas berburu dan mendalami manuskrip-manuskrip lawas. Mereka menggali nilai-nilai zaman dahulu untuk hidupnya di masa kini.
Oleh
Angger Putranto
·6 menit baca
Belasan anak muda duduk melingkar. Para pemudi mengenakan kebaya hitam, pemudanya juga mengenakan setelan hitam, lengkap dengan udeng atau ikat kepala khas Osing, suku asli Banyuwangi.Mata mereka fokus membaca rangkaian aksara Arab pegon, aksara Arab tetapi memakai bahasa Jawa dengan modifikasi. Cukilan naskah yang mereka baca ialah bagian dari naskah Lontar Yusuf. Secara bergiliran para remaja membacakan larik-larik puisi Nabi Yusuf yang tertulis dalam 12 pupuh, 593 bait, dan 4.366 larik. Dahulu, puisi-puisi yang menceritakan kehidupan Nabi Yusuf tersebut ditulis di atas daun lontar.
Para remaja ini tergabung dalam komunitas Mocoan Lontar Yusuf Millenial. Mocoan artinya membaca. Mereka kini tak harus membaca lembaran lontar. Naskah Lontar Yusuf tersebut sudah dialihbahasakan dan disalin ke buku-buku yang diterbitkan terbatas.
Di sela-sela pembacaan, tokoh adat Osing Adi Purwadi (57) atau yang biasa dipanggil Kang Pur memperbaiki cengkok atau logat yang salah. Dengan penuh sabar, Kang Pur menuntun para remaja membaca atau lebih tepatnya melantunkan kata demi kata.
”Ora gedigu lare…. Hang dowo cengkok’e ning bagian tengah. (Tidak seperti itu Nak, yang cengkoknya panjang di bagian tengah,” ujar Kang Pur. Ia lantas mencontohkan menyanyikan bait-bait Lontar Yusuf.
Salah satu pemuda yang ikut dalam Mocoan Lontar Yusuf Millenial ialah Akbar Wiyana (27). Dua tahun terakhir ia aktif dalam komunitas ini. ”Hanya karena penasaran dan merasa tertantang saja mulanya. Tetapi lama-kelamaan seru juga. Kami membaca naskah yang bukan dari bahasa ibu sehingga ada tantangan tersendiri,” ujarnya.
Mocoan Lontar Yusuf Millenial lahir dari gagasan Sekretaris Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Pengurus Daerah Osing Banyuwangi Wiwin Indiarti (40). Komunitas tersebut terbentuk setelah Wiwin memperbarui naskah teks Lontar Yusuf. Naskah yang semula ditulis di atas lontar dalam huruf pegon kuno itu oleh Wiwin dialihaksarakan ke huruf alfabet. Harapannya naskah tersebut lebih mudah diterima dan dimengerti kaum muda.
Selama ini, tradisi Mocoan Lontar Yusuf masih lestari di Desa Kemiren saat acara adat atau selamatan desa. Namun, anggotanya didominasi oleh generasi lanjut usia dengan jumlah yang terus menyusut
”Rata-rata anggota mocoan lontar sudah di atas 55 tahun. Mocoan Lontar Yusuf Millenial ini diharapkan jadi wadah bagi anak muda yang ingin belajar mocoan lontar Yusuf. Komunitas ini sekaligus menjadi sarana untuk kaderisasi,” kata Wiwin yang juga mengajar di Universitas PGRI Banyuwangi.
Peserta Mocoan Lontar Yusuf Millenial mula-mula akan diajari empat jenis bentuk tembang. Setiap tembang memiliki cengkok dan kekhasan nada. Keempat tembang tersebut ialah Kasmaran, Durmo, Sinom, dan Pangkur.
”Tembang-tembang kasmaran bercerita soal asmara, sedangkan tembang Durmo berisi kisah dan petuah agar manusia mengikuti jalan kebenaran yang menuju ke surga. Adapun Sinom menceritakan kesedihan saat Yusuf masuk penjara. Sementara tembang pangkur berisi tentang etika bagi orang yang ingin berdoa kepada Tuhan Yang Mahapendengar,” ungkap Kang Pur.
Pemaknaan
Lantas apa yang bisa didapat para penikmat Mocoan Lontar Yusuf Millenial? Kang Pur menjelaskan, banyak makna yang terkandung dalam kitab nabi Yusuf. Kisah hidup Yusuf mengajarkan, keberhasilan tidak muncul begitu saja. Perjalanan masa kecil Yusuf hingga menjadi seorang raja merupakan perjalanan panjang yang penuh cobaan. Melalui kisah Yusuf, para pembaca diajak untuk makin berani menghadapi tantangan.
”Sopo hang wani ngadepi tantangan, wes dienteni keberhasilan karo kesuksesan. Siro hing dadi wong hang seneng golek tantangan, tapi nek ono tantangan, iro kudu wani ojo mlayu,” pesan Kang Pur.
Terjemahan bebasnya, ”Siapa yang berani menghadapi tantangan sudah ditunggu oleh keberhasilan dan kesuksesan. Kamu jangan jadi orang yang suka mencari tantangan, tetapi kalau ada tantangan harus berani jangan lari”.
Selain Komunitas Mocoan Lontar Yusuf, ada pula komunitas lain yang juga menggumuli naskah kuno. Komunitas Pegon Banyuwangi, misalnya, merupakan komunitas yang lebih luas mendalami manuskrip-manuskrip yang ditulis dalam aksara pegon.
Islam Nusantara
Jika Mocoan Lontar Yusuf Millenial mendalami kitab Nabi Yusuf yang ditulis dalam aksara pegon, Komunitas Pegon banyak mengkaji naskah yang beragam. Namun, sebagian besar naskah yang dikaji saat ini ialah naskah sejarah dan khazanah Islam Nusantara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pegon berarti aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa atau tulisan Arab yang tidak diberi tanda-tanda (diakritik). Aksara pegon kerap disebut tulisan Arab gundul.
”Pegon itu berarti menyimpang. Aksara pegon berarti aksara yang menyimpang dari pakem. Aksara pegon tidak sesuai dengan pakem huruf hijaiyah karena penulisannya berdasarkan bahasa Jawa atau Melayu,” kata Ayung Notonegoro, pendiri Komunitas Pegon.
Pegon Jawa tersebut huruf vokalnya menggunakan huruf bukan harakat. Berbeda dengan pegon Melayu, yang huruf vokalnya menggunakan harakat. Melalui Komunitas Pegon, Ayung dan rekan-rekannya menelusuri dan mempelajari sejarah dan khazanah Islam, khususnya tentang pesantren dan ulama di Banyuwangi. Hasil kajian itu lantas dipublikasikan.
Sebelum mulai mengkaji naskah-naskah, komunitas yang beranggotakan tujuh orang tersebut terlebih dahulu berburu naskah-naskah kuno. Mereka rela berkeliling dari satu pesantren ke pesantren lain atau bahkan dari satu perpustakaan dari masjid ke masjid.
”Saat ini sudah ada 30 buku yang menjadi koleksi kami. Kebanyakan naskah pesantren berupa manuskrip Al Quran, fikih (tata cara ibadah) dan tauhid (sifat-sifat Tuhan dan rasul), kitab primbon (kumpulan doa, panduan praktis kehidupan) dan syair,” ujarnya.
Sebagian naskah diketahui penulisnya, tetapi sebagian lainnya tidak teridentifikasi. Ayung mendeteksi penulis dari kolofon atau catatan penulis yang masih menempel pada naskah. Memang ada sebagian naskah tidak lengkap atau kalaupun lengkap, kolofonnya tidak memberikan informasi yang lengkap.
Salah satu naskah yang ditemukan Ayung ialah secarik kertas yang terselip di dalam sebuah kitab. Kitab dan secarik kertas itu tersimpan di perpustakaan milik Kiai Saleh di Masjid Lateng, Banyuwangi. Kiai Saleh ialah salah satu tokoh Islam di Banyuwangi yang hidup di tahun 1860-an hingga 1952. Kiai Saleh turut serta mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama dan aktif dalam dunia pergerakan perjuangan kemerdekaan.
Secarik kertas tersebut berisi dalil-dalil Al Quran dan hadis yang disusun untuk merumuskan makna jihad. Ayung meyakini, kertas tersebut menggambarkan konsep jihad menurut sang Kiai. Dalam secarik kertas tersebut Kiai Saleh berpesan agar berjihad tidak salah niat. Niat utama jihad ialah untuk menegakkan keberlangsungan hidup beragama.
”Kalau diterapkan di kehidupan saat ini, tulisan Kiai Saleh tersebut menjadi acuan, bahwa jihad bukan tindakan yang tanpa dasar. Jihad itu bersungguh-sungguh dengan niat tertentu. Mencari ilmu ataupun kerja juga dapat disebut jihad bila dilakukan dengan bersungguh-sungguh,” tutur Ayung.
Melalui kajian-kajian manuskrip pegon, Ayung menemukan sangat banyak jejak sejarah Islam Nusantara dan kiprahnya di Banyuwangi. Hal ini yang ingin ditelusuri Komunitas Pegon untuk dipelajari, dituturkan, dan tularkan pada anak-anak muda Banyuwangi. Atas dedikasinya, Komunitas Pegon diganjar Nugra Jasadarma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional. Penghargaan tersebut ditujukan kepada pegiat literasi dalam kategori pelestari naskah kuno.
Keberadaan Komunitas Pegon dan Komunitas Mocoan Lontar Yusuf Millenieal memberi warna dalam kehidupan generasi muda di Banyuwangi. Di tengah kemajuan Banyuwangi, nilai-nilai yang tersimpan dalam naskah-naskah kuno tetap lestari berkat kecintaan kaum muda pada naskah-naskah kuno.