Tiga Slot Orbit Diperpanjang, Indonesia Dapat Tambahan Kapasitas
Indonesia mendapat tambahan kapasitas layanan telekomunikasi satelit lebih dari 100 Gbps setelah Uni Telekomunikasi Internasional memperpanjang masa regulatori penggunaan tiga slot orbit satelit.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia akan mendapat tambahan kapasitas layanan telekomunikasi berbasis satelit lebih dari 100 Gbps setelah Indonesia diperbolehkan Uni Telekomunikasi Internasional memperpanjang masa regulatori penggunaan tiga slot orbit. Penambahan ini diharapkan bisa memperkuat pendistribusian internet secara lebih merata.
Tiga slot orbit yang dimaksud diisi satelit PSN-146E, GARUDA-2, dan PALAPA-C1-B. Filing satelit PSN-146E menempati slot orbit 146 bujur timur, kemudian GARUDA-2 yang menduduki slot orbit 123 bujur timur, dan PALAPA-C1-B di 113 bujur timur.
Keputusan Uni Telekomunikasi Internasional (ITU) tersebut disampaikan dalam sidang Konferensi Radio Komunikasi Dunia atau World Radiocommunications Conference 2019 (WRC-19) di Harm El-Sheikh, Mesir, pada 21-22 November 2019.
Filing satelit PALAPA-C1-B di slot orbit 113 bujur timur akan digunakan untuk menempatkan satelit Nusantara Dua yang akan diluncurkan pada 2020. Filing satelit PSN-146E di slot orbit 146 bujur timur akan digunakan untuk menempatkan satelit SATRIA milik Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kemenkominfo yang akan diluncurkan pada 2023.
Adapun filing satelit GARUDA-2 di slot orbit 123 bujur timur akan dipakai untuk menempatkan satelit baru milik Dini Nusa Kusama. Menurut rencana, satelit ini diperuntukkan sebagai layanan telepon satelit dan akan diluncurkan pada 2024.
Ketua Umum Asosiasi Satelit Seluruh Indonesia (ASSI) Hendra Gunawan, Senin (25/11/2019), di Jakarta, mengatakan, satelit Nusantara Dua pengganti satelit PALAPA-C1-B mempunyai kapasitas 20 transponder C-Band dan High-Throughput Satellite (HTS) 10 Gbps. Satelit SATRIA pengganti satelit PSN-146E memiliki total kapasitas 150 Gbps.
Berdasarkan data ASSI, pada tahun 2018, penggunaan kapasitas satelit di Indonesia berjumlah 189 transponder atau jika dikonversi jadi sekitar 20 Gbps. Dari kapasitas itu, 99 persen bersumber dari satelit konvensional yang 77 persen di antaranya disuplai oleh satelit nasional.
Tahun 2019, penggunaan kapasitas diperkirakan tumbuh menjadi sekitar 40 Gbps yang didominasi oleh kebutuhan pemerataan infrastruktur dan layanan telekomunikasi ke seluruh wilayah Indonesia melalui program pemerintah. Misalnya, program layanan akses internet dan layanan backhaul pemancar. Keduanya dikembangkan oleh BAKTI.
Hingga sekarang, operator telekomunikasi seluler jadi salah satu kontributor terbesar bisnis satelit.
”Rencana menempatkan dan mengoperasikan satelit Indonesia untuk mendukung penyediaan layanan komunikasi pita lebar bagi masyarakat akan terwujud dengan dibolehkannya Indonesia memperpanjang tiga slot orbit itu,” ujar Hendra.
Menurut dia, hingga sekarang, operator telekomunikasi seluler menjadi salah satu kontributor terbesar dalam bisnis satelit. Dengan demikian, ketika nantinya layanan seluler berteknologi akses 5G siap dikomersialisasikan, pelaku industri satelit tetap akan berkolaborasi dengan operator telekomunikasi seluler. Misalnya, operator satelit menyediakan link transmisi sesuai kebutuhan operator telekomunikasi seluler.
Direktur Penataan Sumber Daya Ditjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kemenkominfo Denny Setiawan menjelaskan, dalam proposal terkait terestrial pita lebar, delegasi Indonesia memasukkan usulan spektrum frekuensi 3.300 sampai 3.600 Megahertz (MHz) ke dalam catatan kaki dokumen regulasi radio tentang identifikasi layanan komunikasi bergerak (IMT) saat sidang WRC 2019.
Spektrum frekuensi tersebut dibagi menjadi tiga bagian yang masing-masing mempunyai lebar pita 100 MHz. Keinginan Indonesia agar pemakaian spektrum frekuensi tersebut menjadi lebih fleksibel pada tahun-tahun mendatang.
Sampai sekarang spektrum frekuensi dengan rentang 3.300-3.600 MHz masih diduduki oleh sejumlah operator satelit telekomunikasi. Ketika pemakaiannya diarahkan menjadi fleksibel, hal ini memungkinkan operator satelit dan operator telekomunikasi seluler bekerja sama memakai spektrum frekuensi tersebut atau frequency sharing.
Spektrum frekuensi lain yang ikut diajukan mempunyai rentang dari 4.800 hingga 4.990 MHz. Keinginan Indonesia adalah spektrum frekuensi dengan rentang tersebut menyebarkan layanan komunikasi ringan bersistem komunikasi bergerak.
Sidang WRC 2019 memutuskan menyetujui usulan Indonesia, khususnya terkait penggunaan spektrum frekuensi dengan rentang 3.300-3.600 MHz. Denny menekankan, pemerintah akan berhati-hati membolehkan frequency sharing di antara operator satelit dan operator telekomunikasi seluler. Pembahasan kajian studi frequency sharing masih terus berlangsung.
”Dengan kondisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan, layanan komunikasi memakai satelit akan selalu dibutuhkan,” ujarnya.
Sebelumnya, melalui laman resminya, Koalisi Satelit Global (GSC )meminta semua pemangku kebijakan untuk memastikan keputusan regulasi terkait spektrum frekuensi selalu mengedepankan pendekatan praktis. Pendekatan seperti ini bagus untuk mengatasi tantangan penyelesaian pemerataan akses komunikasi dan keharusan mengadopsi teknologi 5G. Kemenkominfo pernah menganjurkan agar frekuensi 28 GHz dipakai mendistribusikan layanan seluler berteknologi akses 5G.
Chief Policy Officer Asia Video Industry Association John Medeiros mengatakan, ratusan juta orang, terutama di negara-negara berkembang, mengandalkan satelit untuk mengakses layanan vital, seperti perbankan, televisi, dan bantuan bencana. Di Asia, misalnya, beberapa negara mempunyai kondisi geografis berbentuk kepulauan dan dikelilingi oleh cincin api. Sinyal satelit bisa memudahkan pendistribusian layanan.
”Wilayah seperti itu membutuhkan dukungan berkelanjutan pemakaian spektrum frekuensi pita C dan lainnya, seperti 28 GHz. Operator satelit dan telekomunikasi seluler bisa bersama-sama membawa konektivitas baru ke wilayah terisolasi,” ujarnya.