Riset Setara Institute bertajuk ”Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia” menunjukkan tindak intoleransi meningkat di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam lima tahun terakhir.
Oleh
Nino Citra Anugrahanto
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Tindak intoleransi meningkat di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam lima tahun terakhir. Pemerintah daerah perlu tegas menindak pelaku agar tidak berulang di waktu mendatang.
Demikian saran dari riset bertajuk ”Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia” yang dilaksanakan Setara Institute. Data dikumpulkan sejak 1 Januari 2007 hingga 31 Desember 2018.
Riset dilakukan dengan metode kualitatif dan kuantitatif. Pengumpulan data dilakukan lewat diskusi kelompok terfokus antarpeneliti, wawancara mendalam dengan otoritas negara, tokoh, minoritas, korban, serta analisis berita dari media.
Berdasarkan riset, selama 12 tahun terakhir, terdapat 2.400 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tiga peringkat teratas adalah Jawa Barat dengan 269 peristiwa, DKI Jakarta berjumlah 291 peristiwa, dan Jawa Timur berjumlah 270 peristiwa.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) belum masuk daftar. DIY baru masuk ke daftar intoleransi tertinggi dalam lima tahun terakhir. DIY menduduki peringkat ke-6 dengan 37 peristiwa intoleransi. Tiga tertinggi masih Jawa Barat (162), DKI Jakarta (113), dan Jawa Timur (98).
”Dalam lima tahun terakhir, ada peningkatan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan,” kata Direktur Riset Setara Institute Halili saat dihubungi, Senin (25/11/2019).
Bentuk tindak intoleransi bermacam-macam. Ada penolakan terhadap warga beragama lain, pembubaran upacara kebudayaan, hingga penolakan pembangunan rumah ibadah dari agama lain.
Menurut Halili, salah satu peristiwa yang mencolok adalah perusakan persiapan sedekah laut di Pantai Baru, Kabupaten Bantul, DIY, Oktober 2018. Tradisi yang digelar sejak lama untuk memohon keselamatan bagi para nelayan kala melaut itu dinilai tak sesuai ajaran agama.
Tindak tegas
Halili mengatakan, hendaknya negara hadir. Penegakan hukum terhadap pelaku intoleransi diyakini mampu menimbulkan efek jera.
Terpisah, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, pihaknya berupaya menurunkan tindak intoleransi. Caranya, menambah literasi beragama untuk mencegah sentimen keagamaan. Penanganan terhadap kasus intoleransi secara serius dipercaya mampu menekan tindak tersebut.
Sultan mencontohkan, kasus penolakan terhadap warga pendatang, Slamet Jumiarto (42), saat hendak mengontrak akibat berbeda keyakinan dengan warga Dusun Karet, Desa Pleret, Kabupaten Bantul, DIY, April 2019. Penolakan didasarkan aturan dusun tentang persyaratan pendatang baru. Aturan itu dicabut seusai dirembuk bersama warga.
Sultan lantas menerbitkan Instruksi Gubernur DIY Nomor 1/INSTR/2019 tentang Pencegahan Konflik Sosial. Isinya antara lain agar aparat mengambil langkah cepat, tepat, tegas, dan proporsional berdasarkan peraturan perundangan untuk menghormati nilai hak-hak asasi manusia untuk menghentikan segala bentuk tindak kekerasan akibat intoleransi dan atau potensi konflik sosial.
Halili menilai banyaknya suku bangsa dan agama yang datang ke DIY untuk tinggal tidak serta-merta menjamin terjadinya pola interaksi yang harmonis. Adanya praktik intoleransi jadi bukti bahwa sikap toleran perlu terus dipupuk.