Hati-hati Bermedsos di Singapura, UU Antiberita Bohong Sudah Makan Korban
Politisi oposisi Singapura, ”korban” pertama penerapan UU Antiberita Bohong, memperingatkan semua pihak agar berhati-hati saat berkomentar soal politik dalam negeri dan isu-isu sosial domestik Singapura.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
SINGAPURA, SELASA — Hati-hati bermedia sosial di Singapura. Negeri tetangga ini telah memberlakukan undang-undang larangan penyebaran berita bohong, yang pelakunya dipenjara hingga 10 tahun dan bisa didenda hingga 1 juta dollar Singapura (sekitar Rp 10,2 miliar). Aturan bernama Undang-Undang (UU) Perlindungan dari Kebohongan dan Manipulasi Daring itu telah diterapkan.
Anggota kelompok oposisi Partai Singapura Maju, Brad Bowyer, menjadi orang pertama di Singapura yang terkena pemberlakuan undang-undang tersebut. Pada Senin (25/11/2019), ia diharuskan mengoreksi unggahan di laman Facebook-nya setelah otoritas Singapura menemukan ketidakakuratan dalam unggahan tersebut.
Dalam unggahan Facebook pada 13 November itu, Bowyer mempertanyakan independensi perusahaan investasi terkait pemerintah, Temasek, dan dana investasi negara GIC. Situs pemerintah untuk pemeriksa fakta daring menemukan unggahan tersebut dan menegaskan bahwa pemerintah tidak mengendalikan keputusan komersial dana investasi.
”Pemerintah tidak memengaruhi, apalagi mengarahkan, keputusan investasi individu yang dibuat oleh Temasek dan GIC,” demikian pernyataan situs pemeriksa itu.
Pernyataan tersebut dipublikasi dengan tangkapan layar tulisan Bowyer disertai tulisan ”false” berwarna merah. Pernyataan itu untuk meluruskan dan memberi tahu bahwa tulisan Bowyer berisi kebohongan dan dinilai ”merusak reputasi” investasi di Singapura.
Bowyer, warga Singapura naturalisasi dari Inggris, pun mengeluarkan ”koreksi” terhadap tulisan aslinya dengan mengarahkan pembaca pada tautan laman pemerintah yang menuliskan ”fakta sesungguhnya”. Ia mengatakan, dirinya tidak keberatan mengikuti permintaan pemerintah itu dan ia tidak akan merasa terintimidasi oleh peringatan otoritas.
”Warga negara yang bertanggung jawab dan vokal adalah bagian penting dari negara kita yang demokratis, sebagaimana pemerintah yang bertanggung jawab dan mendengarkan,” ujar Bowyer.
Hati-hati berkomentar
”Secara umum, saya mengingatkan mereka yang berkomentar tentang politik dalam negeri kami dan isu-isu sosial domestik untuk berhati-hati dan penuh perhatian, khususnya jika Anda berbicara dari ranah pengaruh mana pun,” lanjut Bowyer.
Bowyer dulunya adalah anggota Partai Aksi Rakyat (PAP)sebelum bergabung dengan Partai Singapura Maju, partai oposisi baru yang didukung oleh saudara Perdana Menteri Lee Hsien Loong.
Seorang juru bicara kantor Undang-Undang Perlindungan dari Kebohongan dan Manipulasi Daring (Protection from Online Falsehoods and Manipulation Act atau POFMA), badan baru di Singapura yang memantau dan memeriksa unggahan pesan di media sosial, menyebutkan, koreksi atas pesan unggahan Bowyer diminta oleh menteri keuangan. Koreksi ini merupakan kasus pertama yang diterapkan sesuai dengan POFMA.
Undang-Undang (UU) Perlindungan dari Kebohongan dan Manipulasi Daring mulai berlaku efektif pada 2 Oktober 2019. Undang-undang itu memberi kewenangan pada otoritas di Singapura untuk memerintahkan perusahaan media sosial memberi tanda peringatan di samping kiriman yang dianggap berisi kebohongan oleh pemerintah.
”Model koreksi lebih baik (daripada pencopotan informasi di internet) karena membuat masyarakat teredukasi,” kata Menteri Komunikasi dan Informasi Singapura S Iswaran kepada sejumlah wartawan Indonesia yang berkunjung ke Singapura, 11 November lalu.
Dalam kasus yang ekstrem, pemerintah bisa juga memerintahkan pengelola media sosial untuk menghapus sebuah kiriman tulisan, foto, atau video.
Sejumlah perusahaan raksasa teknologi informasi, termasuk Google dan Twitter, telah mengkritik undang-undang ini. Para aktivis juga khawatir undang-undang ini akan meredam perbedaan pendapat di dunia daring.
Sejumlah kelompok penggiat hak asasi manusia khawatir pemberlakuan UU itu menjadi alat pemerintah menekan kebebasan berpendapat dan politisi oposisi. Sejak merdeka tahun 1965, Singapura selalu diperintah oleh partai penguasa, Partai Aksi Rakyat.
Namun, pemerintah bersikeras bahwa hal itu diperlukan untuk menghentikan penyebaran berita bohong yang sangat merusak. Singapura menegaskan, negaranya dalam posisi rentan terdampak berita bohong mengingat posisinya sebagai salah satu pusat keuangan global, populasinya yang beragam etnis dan agama, serta akses internet yang merata. (AFP/REUTERS)