Harga karet yang terus terpuruk membuat petani tidak lagi bergairah menyadap karet. Sebagian petani memilih membiarkan kebunnya terbengkalai dan beralih ke pekerjaan lain.
Oleh
NIKSON SINAGA / Dionisius Reynaldo Triwibowo
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS - Ekspor karet remah dari Sumatera Utara pada kurun Januari-Oktober 2019 menurun 9,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Rendahnya harga karet membuat petani enggan menyadap sehingga pabrik pengekspor karet pun kekurangan bahan baku.
Data Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumut menunjukkan, volume ekspor karet remah dari Sumut pada periode Januari-Oktober 2019 mencapai 345.808 ton. Jumlah itu menurun dibandingkan periode yang sama pada 2018 sebanyak 382.964 ton serta pada 2017 mencapai 431.900 ton.
Sekretaris Gapkindo Sumut Edy Irwansyah mengatakan, penurunan ekspor turut dipengaruhi anjloknya produksi pabrik karet remah akibat kesulitan bahan baku. Dari kapasitas terpasang pabrik-pabrik karet di Sumut yang mencapai 820.000 ton per tahun, saat ini total produksinya hanya 400.000 ton per tahun. Meski juga dipasok dari daerah lain, seperti Aceh, Riau, Jambi, dan Kalimantan, pabrik tetap kekurangan bahan baku.
”Dua dari 30 pabrik karet remah di Sumut berhenti beroperasi (dalam setahun terakhir) karena kekurangan bahan baku. Pabrik lainnya mengurangi jam produksi dan merumahkan sebagian karyawan karena bahan baku karet dari petani hanya mampu menutupi 50 persen dari kapasitas terpasang,” kata Edy di Medan, Senin (25/11/2019).
Dua dari 30 pabrik karet remah di Sumut berhenti beroperasi (dalam setahun terakhir) karena kekurangan bahan baku
Berkurangnya pasokan bahan baku ke pabrik tidak lepas dari minimnya gairah petani dalam menyadap karet. Harga getah yang bertahan berkisar Rp 4.500-Rp 6.000 per kilogram dinilai tidak sebanding. Sementara beberapa tahun sebelumnya, petani menikmati harga karet Rp 15.000 per kg.
”Petani bisa bergairah lagi menyadap karet jika harga di tingkat petani paling tidak Rp 10.000 per kg. Harga itu bisa memenuhi kebutuhan dasar petani. Jika tidak, mereka beralih ke pekerjaan lain,” ujar Edy.
Ia berharap pemerintah mengambil langkah untuk menyelamatkan industri karet nasional. Peningkatan serapan karet dalam negeri, yang saat ini baru 15 persen dari produksi nasional, bisa menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan harga karet.
Di sisi lain, langkah pemerintah yang mencanangkan pencampuran karet dengan aspal patut diapresiasi. Namun, pada 2019, pencampuran karet ke dalam aspal baru 2.500 ton, belum cukup berpengaruh terhadap produksi nasional yang mencapai 3,6 juta ton.
Terbengkalai
Mislan Purba, petani karet yang juga Kepala Desa Bah Damar, Kecamatan Dolok Merawan, Serdang Bedagai, mengatakan, harga karet di desanya kini hanya berkisar Rp 4.500-Rp 5.000 per kg. Harga itu menurun sejak awal tahun, yakni Rp 6.500 per kg.
Anjloknya harga karet, menurut Mislan, membuat petani memilih membiarkan tanaman karetnya terbengkalai. Mereka memilih tidak menyadap karet karena pendapatannya tidak sebanding dengan usaha yang dilakukan. Petani yang mempunyai kebun karet rata-rata 4.000 meter persegi kini hanya mendapat sekitar Rp 200.000 per minggu. Adapun penyadap karet hanya bisa mendapat Rp 100.000 per minggu.
Petani karet pun sebagian besar beralih ke pekerjaan lain yang penghasilannya lebih baik, seperti menjadi buruh pemanen sawit atau pekerja bangunan. Di Kabupaten Mandailing Natal, para petani karet beralih menjadi petambang emas rakyat. Pertambangan kini menjamur di sepanjang Sungai Batang Natal.
Ali Bustami Nasution (60), salah satu petani karet setempat, membiarkan 5 hektar kebun karetnya terbengkalai tidak disadap. Ia memilih jadi pekerja tambang dengan upah Rp 100.000-Rp 150.000 per hari. ”Kalau dari karet, kini saya hanya dapat Rp 50.000 sehari,” ujarnya.
Terbakar
Di tengah anjloknya harga, petani di Sebangau Mulya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, kian terpuruk karena 110 hektar kebun karet terbakar. Kebakaran lahan gambut yang melanda wilayah itu beberapa waktu lalu merambat ke kebun karet milik warga. Petani karet diselamatkan badan usaha milik desa yang masih mau membeli getah karet yang tersisa.
”Kemarin itu tetap kami sadap juga karetnya yang tersisa, hanya dapat satu kantong keresek aja getahnya, enggak sampai 3 kilogram,” kata Harmini (46), salah satu petani di Desa Sebangau Mulya. Lebih kurang 20 pohon karet yang masih bisa disadap, dari total 165 pohon miliknya.
Harga getah karet di Desa Sebangau Mulya berkisar Rp 6.500-Rp 7.000 per kg, lebih baik dibandingkan beberapa desa di Pulang Pisau, seperti di Desa Gohong. Kepala Desa Gohong Yanto L Daman mengungkapkan, harga getah karet di tingkat petani di desanya tidak lebih dari Rp 5.000 per kg.
”Banyak petani karet, termasuk saya, beralih ke sengon. Harganya (karet) tidak pernah normal, perusahaan juga protes karena kualitasnya jelek,” ungkap Yanto. Data Dinas Perkebunan Kalteng, luas kebun karet warga di Kalteng 620.684 hektar (ha). Sementara kebun milik perusahaan 16.580 ha.