Satu Sekolah di Banyuasin, 25 Siswa Seluruh Tingkatan Belajar dari Satu Guru
Di tengah segala keterbatasan fasilitas, anak-anak Desa Saluran, Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, tetap bersemangat menjalan hari-hari di sekolah demi menggapai cita-citanya.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
Dunia anak sejatinya adalah dunia yang menyenangkan, juga dalam pendidikan. Di tengah segala keterbatasan fasilitas, anak-anak Desa Saluran, Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, tetap bersemangat menjalan hari-hari di sekolah demi menggapai cita-citanya.
Selasa (12/11/2019) jelang siang, Meri Lestari (13) dan Khoirunisa Alamiah (11), siswa kelas VI SD Muhammadiyah 4 Palembang Filial, fokus mengerjakan soal matematika di mejanya yang kusam. Mereka mencoba memecahkan soal sesuai rumus di buku cetak kurikulum 2013, satu-satunya buku cetak yang dibaca empat murid kelas VI di SD yang berada di Desa Saluran, Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin, itu.
Sesekali, mereka melihat guru mereka, Siti Komariah (29), yang sibuk mengajari murid kelas IV. Melihat kesibukan gurunya, mereka lanjutkan berdiskusi demi memecahkan soal di buku cetak tersebut.
Selesai dengan murid kelas IV, Siti beranjak ke murid lain di kelas VI untuk memberi penjelasan singkat. Ia menghampiri meja per meja untuk memberi penjelasan. Siti satu-satunya guru yang mengajar di sekolah tersebut. Ada 25 murid berbagai tingkatan kelas di satu ruang sekolah sangat sederhana itu.
Sekolah hasil swadaya masyarakat desa tahun 2004 itu berdinding batu-bata tanpa dilapisi semen. Beratap seng, lantainya dari semen.
Meja-meja siswa sudah lapuk, sedangkan kursi plastik nyaris rusak. Jika hujan, para murid harus ekstra hati-hati, karena beberapa titik atap seng itu berlubang.
Mengajar sendirian
Siti bekerja sendiri setiap hari, mulai pukul 07.30 WIB sampai 11.00 WIB. Dalam satu hari, ia bisa mengajar 2-3 mata pelajaran kepada semua murid. Mereka tidak bisa berlama-lama belajar karena di sekolah tersebut belum ada lampu. Hanya sinar matahari yang menyusup di sela-sela ventilasi yang menjadi penerang utama.
Khusus pelajaran matematika, Siti meminta batuan suaminya, Dika Aryanto (39), untuk mengajari siswa kelas I-III. Namun, untuk mata pelajaran lain, Siti bisa melakukan sendiri.
Di seluruh Sumsel, ada ratusan sekolah termarjinalkan. Sekolah itu tersebar di Ogan Komering Ulu, Banyuasin, Lubuklinggau, Musi Rawas, Ogan Komering Ilir, dan sejumlah kabupaten lain.
Peran Siti ini sungguh istimewa. Ia bukanlah sarjana pendidikan, ia juga bukan sarjana. Siti lulusan SMA yang secara otodidak belajar menjadi seorang guru.
Mulai mengajar sejak tahun 2014, kini Siti mengajar sendirian. Sebelumnya, ada dua guru lain bertahan, tetapi dua tahun lalu satu per satu memilih meninggalkan profesi karena tidak digaji. Tinggal Siti sendiri berjuang mengajar anak desa itu. “Sekolah ini juga hampir tutup,” kata dia.
Sekolah itu berjarak sekitar 10 kilometer dari Kota Palembang. Namun, karena akses jalan yang sangat buruk, sulit mencapainya. Akses dari permukiman ke sekolah hanya dihubungkan jalan tanah selebar 1,5 meter.
Desa Saluran merupakan desa yang sebagian besar warganya petani sawah, sayur, dan perkebunan. Desa ini juga belum memiliki fasilitas yang memadai karena belum teraliri listrik dan air bersih.
Meri dan Khoirunisa tetap bersyukur bisa sekolah di tempat ini meskipun harus menempuh perjalanan yang tidak singkat. Setiap hari mereka harus berjalan kaki dua kilometer. Jalannya pun bukan aspal, tetapi tanah merah yang jika panas akan sangat berdebu dan jika hujan menjadi gumpalan lumpur. “Sudah biasa, kak. Lebih baik begini daripada tidak sekolah,” kata Khoirunisa.
Jika memasuki masa ujian akhir, semua murid yang adi sekolah ini harus pergi ke sekolah induk dan menginap di sana selama satu minggu. “Jarak antara sekolah dengan tempat tinggal kami cukup jauh, sekitar 20 kilometer,” kata Khoirunisa.
Satu-satunya harapan
Sekolah ini bagaikan satu-satunya harapan bagi orangtua yang tinggal di sana. Sutara (40), orangtua murid mengatakan, sekolah ini jadi satu dari dua SD yang ada di Desa Saluran. “Kami tidak punya banyak pilihan,” ungkapnya.
Ia memilih SD Muhammadiyah 4 Palembang Filial karena jarak sekolah dengan tempat tinggalnya hanya tiga kilometer, sedangkan SDN 2 Desa Saluran Filial berjarak sekitar 6 kilometer dari rumahnya.
Selain itu, ungkap Sutara, sekolah tersebut tidak dipungut biaya. Bagi Sutara, sekolah itu menjadi satu-satunya harapan bagi anaknya untuk memperoleh bekal bagi masa depannya. "Saya berharap anak saya bisa lebih baik dari bapaknya," kata dia.
Ada sekitar 350 sekolah setingkat SD dan SMP di Palembang. Dari jumlah tersebut, ada lebih dari 30 sekolah yang masih perlu diperbaiki.
Ia berencana menyekolahkan anaknya di Palembang jika sudah beranjak SMP. "Jangan sampai anak saya putus sekolah karena jarak,” kata Sutara yang merupakan petani sayur pendatang dari Indramayu, Jawa Barat.
Menurut Sepri Belliansyah, pendiri Sriwijaya Membaca, komunitas yang bergelut di bidang pendidikan dan literasi, melihat kondisi SD Muhammadiyah 4 Palembang Filial itu, sejak tahun 2018, komunitasnya melakukan pendampingan, baik dengan mengirim sejumlah bantuan tenaga pengajar ataupun menjadi mediator untuk sejumlah bantuan.
Meski tergolong kota yang cukup maju, masih ada sekolah tidak laik di Palembang. "Setelah kami data, setidaknya ada sekitar 20 sekolah yang tidak laik digunakan di Palembang," kata Sepri.
Ada sekolah dasar yang hanya memiliki satu ruang kelas dan satu guru untuk mendidik siswa di semua tingkatan. Bahkan, ada sekolah swasta di Palembang yang dibangun dari bekas pabrik dedak. “Jaraknya tidak jauh dari Stadion Jakabaring Palembang,” kata Sepri.
Di seluruh Sumsel, ada ratusan sekolah termarjinalkan. Sekolah itu tersebar di Ogan Komering Ulu, Banyuasin, Lubuklinggau, Musi Rawas, Ogan Komering Ilir, dan sejumlah kabupaten lain. "Bahkan, ada sekolah yang siswanya tidak bisa berbahasa Indonesia," ungkapnya.
Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumsel Romli menerangkan, sejak awal tahun ajaran baru, pihaknya sudah mendengar kabar mengenai sekolah di Desa Saluran tersebut. "Tim juga telah turun ke lapangan untuk melihat kondisi terakhir sekolah itu," katanya.
Selain itu, ungkap Romli, pihaknya juga telah berkoordinasi dengan pemerintah terkait kondisi sekolah. Ia mengakui sekolah tersebut ada banyak keterbatasan. "Namun, akan terus kami benahi," ucapnya.
Kepala Sub Bagian Perencanaan dan Pelaporan Dinas Pendidikan Kota Palembang Masikun mengatakan, ada sekitar 350 sekolah setingkat SD dan SMP di Palembang. Dari jumlah tersebut, ada lebih dari 30 sekolah yang masih perlu diperbaiki.
Untuk itu, pemerintah Kota Palembang sudah menyiapkan anggaran sekitar Rp 70 miliar untuk memperbaiki sekolah-sekolah itu. Perbaikan masih terbatas untuk sekolah negeri, sedangkan untuk sekolah swasta harus ada kriteria yang harus dilalui. "Syarat itu seperti eksistensi dan prestasi dari sekolah itu," kata dia.
Bagi murid seperti Khourinisa dan Meri, memperoleh akses pendidikan sudah menjadi sebuah berkah. Bagi Siti Komariah, segala keterbatasan tak membuatnya berhenti mengajar. Masih banyak anak-anak lain usia sekolah yang tidak bisa belajar di sekolah karena ketiadaan akses, baik gedung sekolah maupun guru. Selamat Hari Guru.