Pengabdian I Kadek Rodi Artawan untuk Mereka yang Terpasung
I Kadek Rodi Artawan ingin membuktikan bahwa orang dengan gangguan jiwa dan terpasung bisa sembuh dengan interaksi penuh kasih sayang lingkungan sekitarnya, di samping dukungan obat medis.
Bagi I Kadek Rodi Artawan (47) pujian untuk foto-foto orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang dipasung di Bali, hanya sebuah bonus. Proses di balik foto-foto itu yang lebih bermakna. Dia berusaha membebaskan mereka yang terpasung. Karyanya menjadi jembatan untuk mengetuk hati orang yang melihatnya.
Pria yang akrab dipanggil Rudi Waisnawa, asal Buleleng, Bali, ini berupaya menampilkan apa adanya tanpa rekayasa. Ia ingin membuktikan nak buduh atau ODGJ yang terpasung bisa sembuh dengan interaksi penuh kasih sayang lingkungan sekitarnya, di samping dukungan obat medis.
“Saya menyadari hanya memiliki kekuatan memfoto. Tetapi, saya ingin berbuat sesuatu dari yang saya miliki ini untuk membantu mereka para orang terpasung dan itu tidak cukup hanya sekadar memfoto. Dari niatan ini, saya memilih jalan harus berempati bersama mereka dalam satu ruang pasung itu,” kata Rudi, di Denpasar, Jumat (4/10/2019).
Rudi tak menyangka jika zaman sekarang ini masih ada orang terpasung di rumahnya sendiri. Hanya karena dia buduh (gila dalam bahasa Bali), hak kebebasannya dirampas.
Gara-gara ini, saya merasa tidak boleh diam saja, apalagi hanya memfoto-foto mereka.
Semua berawal dari tawaran pekerjaan dari salah satu media asing untuk mendampingi kegiatan dokumentasi mengenai ODGJ pada tahun 2011. Rudi pun kaget, tak pernah terbayangkan menemui puluhan ODGJ yang terpasung.
“Bayangkan, Bali ini pulau yang banyak orang datang untuk mencari kesenangan. Tapi, ada orang yang tinggal di pulau ini justru terantai. Gara-gara ini, saya merasa tidak boleh diam saja, apalagi hanya memfoto-foto mereka. Hati saya pun terpanggil,” tuturnya.
Setelah proyek selesai, ia menemui kembali satu per satu ODGJ yang terpasung. Lalu, Rudi mendatangi Luh Ketut Suryani, pembina Suryani Institute for Mental Health (SIMH), lembaga swadaya masyarakat yang peduli pembebasan ODGJ yang terpasung.
Rudi memperlihatkan sejumlah foto dan video kunjungannya ke orang-orang yang terpasung ke Luh Suryani. “Saya serius, Bu, mau bergabung, berjuang bersama, dan berpameran foto untuk kampanye Bali harus bebas dari orang-orang terpasung. Tanpa dibayar!” tegas Rudi.
Sejak 2013, ia aktif ikut mengunjungi orang-orang terpasung untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan mereka. Rudi melepaskan rantai, borgol, kayu pasungan. Lalu, ia memandikan orang terpasung, menggantikan baju yang lebih baik, membersihkan kasurnya, membersihkan ruangannya. Ketika semuanya bersih, ia memulai untuk berkomunikasi bagaikan kepada sahabat lamanya.
Semua hal yang dikerjakannya mulai dari menggendongnya untuk keluar dari kamar pasungan, memandikan sampai orang tersebut nyaman diajak ngobrol. Hal-hal yang justru jarang dilakukan oleh anggota tim SIMH.
Rudi tak peduli apa kata orang, termasuk keluarga terpasung. Bahkan, ia pernah berkelahi dengan anggota keluarga si terpasung. Keluarga merasa Rudi mengusik kenyamanan setelah tahunan mereka memasung saudaranya. Namun, Rudi membuktikan dengan dialog dari hati ke hati dan perlakuan manusiawi menjadi obat paling ampuh untuk menyembuhkan ODGJ.
Rudi tak peduli bajunya kotor ketika bersama para ODGJ. Baginya, kekuatan hati dan empatinya mengalahkan segalanya. Pendekatannya ini pun mempengaruhi relawan-relawan lainnya.
Lebih bermakna
Menurut dia, foto itu tidak hanya berbicara keindahan dan kecantikan. Akan tetapi, foto menjadi lebih bermakna dan dalam, tanpa narasi sekalipun. Asalkan, prosesnya melalui kedekatan serta interaksi dengan obyek.
Tidak hanya berbicara keindahan dan kecantikan. Fotografi mampu jauh lebih dalam dari itu, tanpa narasi sekalipun. Kedekatan dan interaksi dengan obyek adalah suatu syarat untuk fotografinya.
Ia menceritakan pengalamannya saat berpameran di Hamburg, Jerman, yang mendapati seorang lelaki merangkul dua anak dengan memandangi salah satu fotonya. Mereka terdiam di depan foto itu. “Saya menangis, ketika seorang lelaki merangkul dua anak dengan memandangi satu foto yang saya pamerkan di Hamburg, Jerman. Ia datang dan diam di satu foto itu. Merangkul dua anak yang datang bersamanya. Hanya diam dan wajahnya sedih. Lama dia berdiri di depan foto itu. Lalu, dia pergi,” tutur Rudi.
Seketika itu, Rudi menyadari betapa foto memang mampu menggambarkan dan mewakili segala hal. Foto mampu memberikan pesan kepada siapa yang melihatnya, meski tanpa kata-kata di dalamnya.
Bersamaan itu, Rudi benar-benar yakin foto adalah pilihan tepat dirinya menjalankan kampanye kebebasan orang-orang terpasung. “Saya berpikir apa yang bisa saya lakukan ketika beberapa kali di awal memotret orang-orang dengan gangguan jiwa ini terpasung di rumahnya sendiri. Apa yang bisa saya perbuat untuk membantu mereka. Ini gila, Bali yang katanya surga, ada yang dipasung,” katanya tegas.
Keyakinannya itu mengantarkannya berpameran Tears In Paradise : Terpasung di Pulau Surga, International Photo Exhibition, di Bentara Budaya Bali, pada bulan Agustus 2014 dan di Hotel Gallery, Singapura bulan September 2014. Karya fotonya juga mengantarkannya menjadi pembicara di acara Photo Exhibition : Biopsikospirit-Sociocultural Process : Stigma International Conference 2017, bulan September 2017, di Copenhagen, Denmark.
Pameran ini bagian dari mimpinya untuk dapat berbuat sesuatu untuk orang-orang terpasung ini. Kampanya lewat foto menjadi keputusannya untuk total membingkai empatinya demi suatu kebebasan orang terpasung.
Rudi memutuskan untuk serius dengan Suryani Institute for Mental Health (SIMH) yang dibina oleh Luh Ketut Suryani (75), tahun 2013. Sambil memperlihatkan sejumlah foto dan video kunjungannya ke orang-orang dengan ganggugan jiwa terpasung itu, Rudi mengulang perkataannya ke Ibu Luh Suryani bahwa ia hanya memiliki kemampuan foto. Ia mengatakan, “Saya serius Bu, mau bergabung dan berpameran foto untuk kampanye Bali harus bebas dari orang-orang terpasung. Tanpa dibayar”.
Katanya, ibu setuju dan sejak itu ia mengikuti kegiatan kunjungan ke orang-orang terpasung ini bersama SIMH. Dan, Rudi tak hanya sekadar mendokumentasikan bagaimana sisi gelap penderita gangguan jiwa berat yang dipasung dan bagaimana mereka berjuang untuk bisa kembali merasakan indahnya kehidupan normal. Tapi Rudi masuk ke dunia itu.
Ia bercerita pernah ditanya oleh pejabat kementerian kesehatan dari negara asing, jika dirinya hanya mengeksploitasi penderitaan orang terpasung ini melalui foto. Ia menolak. Baginya, foto-foto yang membingkai orang-orang terpasung ini membutuhkan proses panjang.
Bahagianya tak terkirakan dan tak tergantikan dengan apa pun.
“Saya bukan fotografer yang datang karena momen kemudian memfoto lalu pergi sambil berkata terimakasih kepada obyek foto. Tidak. Saya berproses dengan ini. Semua obyek yang saya foto ini legal memiliki surat pernyataan persetujuan dalam proses pengambilan gambar,” tegasnya dengan wajah serius.
Ia sendiri kadang tak menyangka dengan hasil-hasil jepretannya. Karena, menurutnya, kemampuannya foto itu bagian dari perjalanan otodidak. Belajar dan belajar dari pengalaman hingga orang-orang hebat yang ditemuinya. Begitu pula di SIMH, baginya adalah laboratorium pembelajaran yang sangat berharga.
Termasuk ia belajar memandang para keluarga serta orang-orang dengan gangguan jiwa ini dengan keadaannya terpasung. Ia menajamkan rasa empati dengan segala hal, mulai dari memandangi, mengajak berkenalan, berbincang-bincang, memandikannya, sampai membersihkan sekotor apa pun keadaan kamar atau ruangan mereka yang terpasung.
Sesekali ia memperlihatkan foto-foto mulai dari pasien yang terpasung selama mingguan maupun yang lebih dari 20 tahun oleh keluarga, orang tua, atau saudaranya sendiri. “Saya total memotret mereka dengan sepenuh hati saya. Saya berupaya berempati dan berupaya maksimal bagaimana cara mewakili mereka yang terpasung melalui foto-foto ini,” ujarnya sambil tangannya menunjukkan beberapa foto dari laptopnya, serta buku Pasung (2017).
Kebahagiaan menjalani perjalanan kemanusiaan tanpa sepeser pun uang lelah, adalah jika pasien yang pernah difotonya itu sembuh dan benar-benar memiliki kehidupan bebas sebebas-bebasnya. Salah satu pengalamannya, ketika tengah memotret suatu sesi upacara adat, di Karangasem, salah satu kabupaten yang diduga memiliki banyak orang terpasung karena stigma gila ini, ada seseorang perempuan yang memanggilnya,”Bli Rudi!”.
Spontan ia kaget dan terkejut. Seorang perempuan ini adalah salah satu orang yang pernah dikunjunginya bersama SIMH dan sekitar dua tahun tak lagi bertemu. “Perempuan ini sehat dan sadar memanggil saya. Ia bersih, berkebaya, dan naik sepeda. Dan dia tidak lupa saya. Hampir saja saya meneteskan air mata ketika itu. Bahagianya tak terkirakan dan tak tergantikan dengan apa pun,” tuturnya dengan nada pelan.
Rudi memang selalu mengajak ngobrol orang-orang terpasung ini. Ia berusaha untuk akrab dan berbagi. Banyak hal, menurutnya, yang membuatnya tak habis pikir. Misalnya, ada salah satu orang terpasung lebih dari 20 tahun dan menuliskan kata-kata di salah satu sisi tembok dengan tempat pasungannya.
Lama-lama, ia berpikir orang yang dibilang gila itu ternyata tak 24 jam mengalami gangguan jiwa. Ia membutuhkan kasih sayang dan perhatian untuk sembuh, bukan untuk dipasung. Apalagi ketika ada seorang ibu miskin yang terpaksa memasung anaknya justru sayang agar anaknya tak terluka atau dilukai saat berkeliaran di luar rumah, ia tak habis pikir.
“Kampanye belum selesai. Perjalanan masih panjang. Sampai kapan pun, saya tetap akan membingkai rasa mereka dan mewakilkannya melalui foto-foto. Tanpa kata-kata, biarlah orang-orang dalam foto ini yang berbicara kepada siapa pun mereka yang melihatnya. Saya hanya sebagai jembatannya saja menyuarakan getir mereka,” katanya penuh energi.
I Kadek Rodi Artawan (Rudi Waisnawa)
Lahir: Tista, Buleleng, 3 Desember 1972
Bapak : I Gede Tulis Waisnawa (72)
Ibu : Made Darmi (69)
Pendidikan
- SD N 2 Tista (1979-1985)
- SMP 2 Busungbiu (1986-1988)
- SMA N 1 Singaraja (1989-1991)
Pengalaman kerja
- Aerowisata Catering Service Garuda Indonesia (1992-1996)
- AC Nielsen Bali (Surveyor) (2003-2004)
- Rexinema Film Jakarta (Location Manager,Line Producer) (2004-2010)
- Playboy Indonesia Magazine (Photographer) (2010-2013)
- Whats In Bali Magazine (2013-2015)
- Suryani Institute For Mental Health (2013-sekarang)
- Work with Search for Common Ground associate with Embassy of Denmark in Indonesia with Mabesikan Project (Save Amed Salt and Pasung Photobook) 2016
Organisasi
- Founder Underdog State
- Underground Music Movement (1998-2004)
- Anggota Perguruan Kebatinan Sandi Murti (2004-2010)
- Suryani Institute For Mental Health (2013-sekarang)
- Committee Agains Sex Abuse (CASA) (2013-sekarang)
- Lingkara Photo Community (2010-sekarang)
- Yayasan Pemerhati Adat dan Budaya Bali (2017- sekarang)
- Sekehe Gambuh Sunari Wakya (dokumentasi)
Pameran
1. Out of The Botlle,Lingkara Photo Art Gallery,2012
2. Tribute to Maestro Blangsinga,Bentara Budaya Bali,Oktober 2013
3. Mahotsawa Salaksa Karya,Sidoresmo,Surabaya,Oktober 2013
4. Bali Not For Sale,Luden House, Ubud,Nopember 2013
5. CSIF,Art Veranda Denpasar Bali,2013
6. Noiseless body Conversation,Ganeca Gallery,Four Season Resort Jimbaran,Oktober 2013
7. Kuta Art Chromatic,Kuta Bali 2013
8. Showcase,Brick Restauran Ubud,2013
9. Showcase Konderatu Jimbaran 2013
10. Animus 10 R,Essay Photo Exhibition,Lingkara Photo Art Gallery,2014
11. Tears In Paradise,International Photo Exhibition,Bentara Budaya,Bali,agustus 2014
12. Tears in Paradise,International Photo Exhibition,Raffles Hotel Gallery,Singapura,September 2014
13. The Jakarta International Photo Summit#3,Gallery Nasional Jakarta,Desember 2014
14. Showcase Prayascitta,Lingkara Photo Community 2015
15. Showcase Panas,Lingkara Photo Community 2015
16. Showcase Horror,Lingkara Photo Comminity 2015
17. Showcase Hero,lingkara Photo Community 2015
18. Bali Violent,Tony Raka Gallery ,Ubud,Oktober 2015.
19. Bali Bebas Pasung,Kampus Undiksha Singaraja Nopember 2015
20. Stand Up Speak up for Autism,Rumah Sanur,Nopember 2015
21. Belanga Tulamben Showcase,colaboration with CI (conservation International) Maret 2016,Desa Tulamben.
22. Lingkara Tulamben Showcase,5 april 2016,Lingkara Photo Art Denpasar
23. Mabesikan Project Photo Exhibition,Amed Café Tulamben,Oktober 2016.
24. Mabesikan Festival Photo Exhibition,Pasung & Save Garam Amed Teater Atap Salihara Galery Oktober 2016.
25. Power Playing Photo Exhibition,Lingkara Photo Community November 2016.
26. Photo Exhibition : Biopsikospirit-Sociocultural Process : Stigma International Conference 2017,September 2017. Copenhagen,Denmark.
27. APPROACH Photo Exhibition, September-oktober 2017,Galerie Die Erste Etage,Wilhelmsburg,Hamburg,German
28.
MEDIA ITERNATIONAL :
-The Australian Weekend Magazine,Edisi February 2015
-Bali,Angekettet im paradise,The Dark side of paradise.
(Hrsg Stiftung Bredtmanns Spuren,Hans Jurgen Bredtmann.Hamburg alle 47,60486 Frankfurt}
- Vice Australia Photo Story (2018)
PHOTO BOOK : PASUNG (2017)
Video Project :
- Bali Bebas Pasung,Story of Mentally ill People in Bali (26 minutes)
- Bali Bebas Pasung,Cerita Tersembunyi dari Bali Utara (24 Minutes)
- Sustainable and Harmony (Sustainable Development Goals ) SDGs (03.07 minutes)
- Water in The Small Island,From Bali Save The Planet (Conservation International Indonesia ) (05.00 minutes)