Ketika Perempuan Kades dari Bone Membawa Aspirasi Desa ke Istana
Sejumlah perempuan kepala desa di Kabupaten Bone menyampaikan aspirasi ke Istana. Mereka berharap pemerintah mengawasi program-program layanan dasar di masyarakat, termasuk terkait pemenuhan hak-hak perempuan dan anak.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Suasana di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (21/11/2019), sekitar pukul 10.00 agak sepi. Namun, di halaman depan Istana Negara, puluhan perempuan berkumpul kemudian foto bersama di dekat tiang bendera. Sebagian besar dari mereka adalah kepala desa dari Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Sebelum berfoto di depan Istana Negara, perwakilan Asosiasi Perempuan Kepala Desa untuk Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs) Kabupaten Bone tersebut bertemu dengan Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani, di Gedung Bina Graha, di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta.
Pagi itu, didampingi Direktur Institut Kapal Perempuan (Lingkaran Pendidikan Alternatif Perempuan) Misiyah, para perempuan kepala desa (kades) Kabupaten Bone yang juga tergabung Forum Bone Sehat bersama beberapa pejabat kecamatan dan Pemerintah Kabupaten Bone, berdialog dengan Jaleswari yang membidangi Kajian Politik dan Pengelolaan Isu-isu Hukum, Pertahanan, Keamanan dan Hak Asasi Manusia di KSP.
Kepada Jaleswari, Ketua Asosiasi Perempuan Kepala Desa, Andi Wahyuli menyatakan selama ini sebagai pemimpin di desa, mereka sering menemukan adanya bantuan untuk layanan dasar, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) yang tidak tepat sasaran.
Selama ini sebagai pemimpin di desa, mereka sering menemukan adanya bantuan untuk layanan dasar yang tidak tepat sasaran.
“Kamilah yang di bawah ini khususnya kepala desa yang merasakan itu. Karena itu, kami sudah tahu siapa-siapa yang mana yang layak mendapat bantuan tersebut,” kata Wahyuli, Kepala Desa Mallari, Kecamatan Awangpone.
Karena itulah, mereka berharap pemerintah mengawasi program-program layanan dasar di masyarakat, termasuk yang terkait dengan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak. Pengawasan sangat penting agar bantuan-bantuan pemerintah terhadap masyarakat benar-benar tepat sasaran.
Selain soal bantuan untuk layanan dasar, para perempuan kepala desa juga menyampaikan bahwa mereka siap mengimplementasikan agenda SDGs dalam aksi nyata. Misalnya, saat ini para perempuan kades tengah menyiapkan program untuk mengintegrasikannya SDGs dalam perencanaan dan penganggaran agar bisa masuk dalam Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) dan Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDes).
Para perempuan kepala desa juga menyampaikan bahwa mereka siap mengimplementasikan SDGs dalam aksi nyata.
Berbagai isu tentang hak-hak perempuan yang terkait dalam pencapaian SDGs seperti sektor kesehatan, pencegahan perkawinan anak dalam rangka mengimplementasikan revisi UU Perkawinan yang menaikkan batas minimal perkawinan usia 19 tahun, dan berbagai isu lainnya.
“Kedatangan kawan-kawan perempuan kades dari Kabupaten Bone ini sebagai bagian dari kolaborasi pemerintah pusat dan daerah dalam memastikan program-program layanan sosial seperti kesehatan sebagai program prioritas presiden agar terimplementasi dengan baik,” ujar Jaleswari.
Adapun hambatan dan tantangan di lapangan yang disampaikan dalam pertemuan tersebut, menurut Jaleswari, menjadi masukan penting bagi perbaikan pelayanan publik di Tanah Air. “Perempuan-perempuan kades ini merupakan ujung tombak penggerak masyarakat di unit pemerintahan terkecil di daerah. Ia memiliki fungsi dan peran strategis dalam menyosialisasikan program dan hasil pembangunan yang ditujukan buat kesejahteraan rakyat,” kata Jaleswari.
Bahkan, perempuan pemimpin di tingkat desa juga menjadi mata dan telinga pemerintah pusat yang sangat penting dalam menyerap aspirasi masyarakat yang nantinya menjadi kebijakan pemerintah.
Posisi strategis
Hal senada juga ditegaskan Misiyah. “Perempuan kepala desa memiliki posisi strategis dalam mewujudkan kemandirian desa. Mereka melintasi berlapis-lapis tantangan yang tajam ini pastinya berbekal ketangguhan dan keberanian. Inilah modal sosial dan politik yang menjadi kekuatan dalam membela kelompok terpinggirkan,” katanya.
Perempuan kepala desa memiliki posisi strategis dalam mewujudkan kemandirian desa.
Karena, menurut Misiyah, melalui kewenangan para kades tersebut digantungkan harapan kesejahteraan rakyat kecil, kelompok miskin, terutama perempuan. Untuk itu, salah satu strategi penting adalah menggunakan kerangka dan komitmen SDGs diwujudkan secara nyata masuk dalam perencanaan dan penganggaran. Isu-isu jender direspon dengan konkret, dicarikan jalan keluar dengan menuangkannya dalam RKPDes dan APBDes.
Sebelum pertemuan perwakilan perempuan-perempuan kades Kabupaten Bone dengan Deputi V tersebut, akhir Oktober hingga awal November 2019, Institut Kapal Perempuan bersama Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) Bone, Yayasan Kajian Pemberdayaan Masyarakat (YKPM) Sulsel, dan Pemkab Bone menggelar lokakarya untuk 29 perempuan kades di Bone.
Dalam lokakarya tersebut, para perempuan kades mendapat materi bagaimana mengintegrasikan perspektif jender dan SDGs dalam perencanaan dan penganggaran desa. Di akhir pertemuan tersebut, selain membentuk Asosiasi Perempuan Kepala Desa Untuk Pencapaian TPB/SDGs di Kabupaten Bone, perempuan kades Bone menandatangani deklarasi yang menyatakan sejumlah komitmen.
Komitmen antara lain untuk mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan di mana pun, menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan di ruang publik dan pribadi, termasuk perdagangan orang dan eksploitasi seksual, serta berbagai jenis eksploitasi lainnya, serta menghapuskan semua praktik berbahaya, seperti perkawinan anak, perkawinan paksa, serta sunat perempuan.
Kehadiran perempuan dalam pemerintah desa, sangat berarti dalam mendorong perubahan yang lebih baik termasuk perlindungan dan pemberdayaan perempuan. Wahyuli mengungkapkan, sebagai kades dia dan perempuan kades lainnya gencar mensosialisasi berbagai kebijakan pemerintah yang melindungi perempuan dan anak.
“Baru-baru ini dalam peringatan Maulid Nabi pun kami gunakan kesempatan untuk mensosialisasikan revisi UU Perkawinan, soal batas umur menikah yang sudah dinaikkan menjadi 19 tahun,” kata Wahyuli.
Perempuan yang menjabat kades di Bone jumlahnya cukup banyak, yakni 59 perempuan atau hampir sekitar 20 persen dari jumlah total kades di Kabupaten Bone yang lebih dari 300 orang.
Kehadiran mereka tentu saja memberi warna dalam gerakan perlindungan perempuan di tingkat akar rumput, serta mendukung upata pemerintah dalam mencapai target SDGs 2030.