Petani Karet Kalteng Terus Merugi, Tak Hanya karena Harga
Petani karet di Kalimantan Tengah terus merugi pascakebakaran hutan dan lahan. Di Sebangau Mulya, 110 hektar kebun karet terbakar, produksi pun menurun.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PULANG PISAU, KOMPAS – Petani karet di Kalimantan Tengah terus merugi pascakebakaran hutan dan lahan. Di Sebangau Mulya, 110 hektar kebun karet terbakar, produksi pun menurun. Mereka masih tertolong, karena Badan Usaha Milik Desa masih mau membeli getah karet tersisa.
Harmini (46), warga Desa Sebangau Mulya menjelaskan, kebun karetnya terbakar setengah hektar, lebih kurang terdapat 20 pohon yang masih bisa dipanen dari total 165 pohon miliknya. Meskipun tidak semua pohon hangus terbakar, produksi getah karet menurun.
“Kemarin itu tetap kami sadap juga karetnya yang tersisa, hanya dapat satu kantong kresek aja getahnya. Tidak sampai tiga kilogram,” kata Harmini di Pulang Pisau, Senin (25/11/2019).
Kalau semua desa kompak tidak membakar, pasti tidak akan kebakaran.
Saat Kompas mengunjungi kebun Harmini pada Minggu (24/11/2019), ratusan pohon di sekitar permukiman Desa Sebangau Mulya tampak hangus terbakar. Sebagian lahan yang hangus itu sudah ditanami padi di sela-sela pohon karet.
Beberapa batang pohon karet yang hangus terbakar diletakkan di pinggir-pinggir kebun. Pohon-pohon itu sebagian besar hangus di bagian akar, menghitam.
Menurut Kepala Desa Sebangau Mulya Hariwung, sejak 2015 warganya sudah tidak lagi membakar lahan karena desa sudah menyiapkan demplot pengelolaan lahan tanpa bakar (PLTB). Namun, itu percuma karena desa-desa tetangga masih membakar lahan.
“Kalau semua desa kompak tidak membakar, pasti tidak akan kebakaran. Tetapi secara umum, kebakaran tahun ini tidak separah kebakaran 2015,” kata Hariwung.
Saat ini, melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), seberapapun karet yang dihasilkan warga tetap dibeli dan dijual lagi keluar desa, sebagian besar ke Kota Pulang Pisau. Di sana banyak tengkulak dan perusahaan karet.
Harga getah karet di desa berkisar Rp 6.500-Rp 7.000 per kilogram. Harga normalnya Rp 10.000-Rp 12.000 per kilogram.
Harga di Desa Sebangau Mulya masih jauh lebih baik di banding beberapa desa di Pulang Pisau, seperti di Desa Gohong. Kepala Desa Gohong Yanto L Daman mengungkapkan, harga getah karet tidak lebih dari Rp 5.000 per kilogram.
“Banyak petani karet, termasuk saya, beralih ke sengon. Harganya (karet) tidak pernah normal, perusahaan juga protes karena kualitasnya jelek,” ungkap Yanto.
Dari data Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng, perkebunan rakyat didominasi perkebunan karet. Lahan perkebunan karet milik masyarakat seluas 620.684 hektar, sedangkan perusahaan perkebunan karet ada 10 unit dengan luas 16.580 hektar.
Suradi (40), petani karet asal Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, mengungkapkan, harga karet di desanya masih berkisar Rp 4.000-Rp 5.000 per kilogram. Namun, mereka didampingi USAID Lestari Kalteng untuk mendapatkan getah karet berkualitas.
Bagi petani, dengan membuat karet bersih sudah bisa menyejahterahkan dengan harga pantas Rp 9.600 per kilogram.
“Biasanya getah itu kami rendam begitu lama. Bahkan, sebelum dijual itu dimasukkan kayu sampai-sampai ada yang taruh sendal di dalamnya,” ungkap Suradi.
Selain Suradi, ada Basuki (36) yang merupakan Ketua Unit Pengolahan dan Pemasaran bahan olah karet rakyat (Bokar) Kecamatan Maliku. Unit ini membawahi empat kelompok tani dengan total anggota 135 orang.
Basuki menjelaskan, UPPB hadir untuk merubah cara pengolahan karet petani. Meskipun demikian, butuh waktu lama untuk melakukan hal tersebut. “Kami juga bekerja sama dengan perusahaan. Jadi, kalau mereka beli tidak ragu lagi, karena mereka juga ikut mengawasi kualitas,” ungkapnya.
Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Kalimantan Selatan-Kalimantan Tengah Andreas Winata mengungkapkan, perubahan harga sangat dipengaruhi kondisi perekonomian global. Bagi petani, dengan membuat karet bersih sudah bisa menyejahterahkan dengan harga pantas Rp 9.600 per kilogram.
“Kalau kondisi di global melemah pastinya berpengaruh sampai ke petani, kami selalu prioritaskan petani selama memang konsisten dengan kualitasnya,” kata Andreas.