Harmonisasi peraturan KPU di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia diharapkan tidak berlarut-larut agar tidak menggangu tahapan pilkada 2020.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dewan Perwakilan Rakyat meminta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mempercepat proses harmonisasi Rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum terkait Pemilihan Kepala Daerah 2020. Proses yang berlarut-larut dikhawatirkan akan memunculkan efek domino yang akan mengganggu keseluruhan jadwal dan tahapan pemilihan kepala daerah.
Dampak dari belum rampungnya harmonisasi Rancangan PKPU untuk Pilkada 2020 itu adalah mundurnya tahapan Pilkada 2020. Jadwal pengumuman syarat minimal dukungan calon kepala daerah perseorangan yang seharusnya pada 25 November 2019 diundur menjadi Desember 2019.
Saat ini, PKPU tentang Pencalonan Pemilihan Kepala Daerah dan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2020 sedang diharmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia saat dihubungi di Jakarta, Minggu (24/11/2019) mengatakan, jika sampai pekan depan rancangan PKPU Pencalonan belum rampung diharmonisasi, DPR akan memanggil Komisi Pemilihan Umum serta berkoordinasi dengan Komisi III DPR untuk menanyakan kendala harmonisasi PKPU itu pada Kementerian Hukum dan HAM.
“Kami berharap Kementerian Hukum dan HAM bisa segera menyelesaikan harmonisasi rancangan PKPU dan mengundangkannya, agar tidak usah ada tahapan lain yang ikut mundur,” kata Doli.
Sejauh ini, ujarnya, tidak masalah jika revisi jadwal dan tahap pilkada hanya memengaruhi satu tahapan saja, yaitu pengumuman syarat minimal dukungan calon kepala daerah perseorangan. Namun, semua pihak perlu mengantisipasi jika molornya proses harmonisasi PKPU itu berkepanjangan dan akhirnya harus memengaruhi tahap-tahap pilkada berikutnya.
Berdasarkan PKPU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020, tahap berikutnya setelah pengumuman syarat minimal dukungan calon adalah penyerahan syarat dukungan pasangan calon kepala daerah kepada KPU Provinsi.
Tahap berikutnya, pada 1 Januari 2020, akan dimulai pembentukan panitia penyelenggara pilkada di tingkat kecamatan, kelurahan, dan desa.
“Kalau terlalu berlarut-larut sampai memundurkan dua tahapan, lama-lama akan menyusahkan. Apalagi, kalau sampai memengaruhi jadwal tata cara pembentukan panitia penyelenggara di daerah,” kata Doli.
Sebelumnya, anggota KPU, Evi Novida Ginting mengatakan, KPU sedang merevisi jadwal tahapan penyelenggaraan Pilkada 2020. Dalam waktu dekat, PKPU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program, Jadwal Penyelenggaraan Pilkada 2020 akan diubah. KPU di tingkat daerah sudah dikirimkan surat edaran untuk menjelaskan adanya perubahan itu.
Alasan pemunduran jadwal karena menunggu harmonisasi PKPU lainnya terkait pencalonan dan pemutakhiran daftar pemilih Pilkada 2020. Evi memastikan, pengunduran jadwal tahapan pilkada tidak akan memengaruhi kelancaran penyelenggaraan pilkada. Proses harmonisasi yang molor ini bisa memunculkan ketidakpastian di tingkat daerah dan mengganggu persiapan pilkada (Kompas, 24/11/2019).
Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa mengatakan, berdasarkan hasil pantauan Komisi II ke persiapan di sejumlah daerah, hampir semua daerah yang didatangi saat ini masih bekerja sesuai jadwal awal. Beberapa tahapan krusial, seperti pembiayaan pilkada lewat Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD), sudah selesai di sebagian besar daerah.
Ia meyakini, pengunduran tahapan pilkada yang akan direvisi KPU tidak akan signifikan menganggu tahapan pilkada lainnya.
“Yang penting, perlu ada jaminan bahwa meskipun satu atau dua tahap mundur, tidak akan mengganggu pemunduran jadwal pelaksanaan pilkada secara menyeluruh pada September 2020 nanti,” katanya.
Eks napi korupsi
Adapun salah satu poin yang ditengarai mengganjal proses harmonisasi rancangan PKPU di Kemenkumham adalah aturan larangan bekas terpidana kasus korupsi untuk mencalonkan diri dalam Pilkada 2020, sebagaimana yang tercantum dalam Rancangan PKPU tentang Pencalonan Kepala Daerah.
Atas dasar ingin menghadirkan calon kepala daerah yang berintegritas, KPU tetap memasukkan syarat larangan bagi mantan narapidana korupsi maju di pilkada dalam rancangan PKPU, meskipun Komisi II DPR meminta agar syarat itu dihapuskan. DPR berdalih, syarat tersebut tidak tercantum dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, sehingga KPU diminta tidak membuat norma baru dalam PKPU.
Aturan itu berbunyi, warga negara Indonesia dapat menjadi calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.
Sementara, Pasal 7 UU Pilkada mengatur, bekas napi tetap dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah asalkan telah secara terbuka dan jujur mengemukakan rekam jejaknya kepada publik.
Doli berharap, dalam proses harmonisasi, Kemenkumham bisa menghapus aturan tersebut yang dinilai bertentangan dengan undang-undang. “Tidak ada yang tidak punya komitmen pemberantasan korupsi, tetapi jangan sampai aturan yang kita buat itu saling bertentangan, atau membuat kendala teknis proses harmonisasi karena adanya materi PKPU yang bertentangan,” katanya.
Terkait ini, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Fadli Ramadhani mengatakan, Mahkamah Konstitusi perlu didorong untuk mempercepat putusan uji materi yang sedang diajukan oleh Perludem dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Uji materi terkait larangan eks napi korupsi menjadi calon kepala daerah itu sudah diajukan sejak September 2019 lalu, tetapi belum diputus sampai sekarang.Terakhir, sidang mencapai tahap perbaikan permohonan, sekitar dua pekan lalu.
Kondisi saat ini menunjukkan KPU tidak siap dan gagal membaca situasi dan kondisi secara utuh.
“Sudah dua minggu ini tidak ada kabar lagi dari MK terkait sidang berikutnya. Untuk memberi kepastian hukum dan mempercepat proses di KPU, DPR, dan Kemenkumham, sebaiknya MK segera memutus agar ada kepastian konstitusionalnya,” katanya.
Ia juga mengingatkan agar revisi PKPU terkait jadwal dan tahapan pilkada nanti tidak dilakukan terburu-buru dan benar-benar memperhatikan situasi dan kondisi di level kebijakan nasional maupun masing-masing daerah.
“Jadwal dan tahapannya memang perlu diperbaiki. Kondisi saat ini menunjukkan KPU tidak siap dan gagal membaca situasi dan kondisi secara utuh. Maka, ketika nanti akan ada uji publik lagi terkait tahapan pilkada, jangan sampai terburu-buru, perlu hati-hati dan dipikirkan matang agar ke depan tidak ditunda lagi,” ujar Fadli.