Kemarau Belum Lewat, Ada yang Waswas dan Buka Lahan Baru di Kalteng
Hingga memasuki musim hujan pertengahan November 2019, kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah belum juga usai. Status tanggap bencana dicabut, beberapa relawan pemadam balik pos. Namun, masih ada rasa waswas.
Hingga memasuki musim hujan pertengahan November 2019 ini, kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah belum juga usai. Status tanggap bencana dicabut, beberapa relawan pemadam balik pos. Namun, masih ada warga yang waswas menjaga lahan dan rumahnya dari ancaman api.
Senin (12/11/2019) pagi, Azwa (13) duduk di belakang rumahnya. Ia memegang selang biru yang panjangnya sekitar 4 meter. Matanya awas, menunggu api mendekati rumahnya.
Sekitar 50 meter dari tempat dia duduk, api perlahan membakar lahan yang dipenuhi semak belukar. Di lahan gambut itu, api sudah meluas dan terus terbakar, setidaknya tiga hari belakangan.
Setiap sekolah di Kota Palangkaraya saat itu diliburkan karena asap juga memenuhi ruang belajar murid.
Azwa merupakan siswa SMP Negeri 7 Palangka Raya di Kereng Bangkirai, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Ia terpaksa tidak pergi sekolah karena harus menjaga rumahnya agar tidak terbakar. ”Iya, mama bilang enggak usah ke sekolah dulu, bantu mama jaga api karena di rumah hanya saya, mama, dan adik yang masih kecil. Bapak harus kerja, sudah berangkat tadi pagi,” kata Azwa.
Bermodalkan selang yang biasa untuk menyiram tanaman, Azwa mewaspadai api, yang sebenarnya bukan tandingannya. Kebakaran di sekitar rumahnya di Kelurahan Sabaru, Kota Palangkaraya, itu sudah berlangsung sejak Juli 2019. Meskipun beberapa kali dipadamkan tim pemadam dan dihajar hujan, api terus muncul kembali.
Banyak mata pelajaran tertinggal sejak kebakaran meraja di sekitar rumah Azwa. Pada Agustus sampai September, ia hampir tak pernah ke sekolah. Setiap sekolah di Kota Palangkaraya saat itu diliburkan karena asap tak hanya memenuhi ruang belajar murid, tetapi juga masuk ke kamar-kamar tidur anak-anak.
Udara di Kota Palangkaraya periode Agustus-September kian memburuk. Kualitas udara terburuk hingga masuk kategori berbahaya dengan nilai partikulat (PM10) mencapai 495-978 mikrogram per meter kubik. Data Dinas Lingkungan Hidup, batas normal PM10 adalah 100 mikrogram per meter kubik atau kategori sedang.
Bahaya yang dihadapi Azwa tak hanya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), tetapi juga risiko kanker paru yang baru bisa dideteksi beberapa tahun kemudian.
Tak hanya Azwa, di Kabupaten Pulang Pisau, tepatnya di Desa Talio Hulu, Kecamatan Pandih Batu, sekelompok petani berjibaku dengan api. Mereka menggunakan peralatan seadanya.
Sebagian besar memadamkan api menggunakan dahan-dahan yang masih basah, sebagian lagi menggunakan alat semprot sederhana. Untuk mengambil air pun mereka harus berjalan sekitar 20 menit menuju parit terdekat. ”Kalau enggak dihadang dan dipadamkan, apinya nanti sampai ke kebun karet dan sawah saya ini,” kata Sumarjono saat melepas lelah di pinggiran sawah.
https://youtu.be/Y3AFtU7grlw
Di desa yang berjarak tempuh 3 jam lebih dari Kota Palangkaraya itu memang sudah terjadi kebakaran sejak Agustus. Sempat padam karena hujan, kebakaran muncul kembali karena lahan gambut bagian bawah masih membara.
Sumarjono hampir pasrah karena api tak kunjung padam. Ia berharap helikopter bom air bisa datang menyelamatkan kebunnya dan 235 keluarga lain di desa itu, yang semuanya berkumpul di satu hamparan yang terbakar itu.
Namun, jangankan helikopter, petugas pemadam tak ada satupun yang lewat. ”Sudah beberapa kali dilaporkan, tetapi ini tidak ada yang respons. Mungkin karena ini musim hujan, ya,” kata Sumarjono.
Ia masih bertahan menghadang api agar tidak memasuki kebunnya. Beda dengan Salahuddin (46), yang kebun sawit dan sengonnya yang sudah dipelihara selama 8 tahun lalu ludes terbakar api yang merembet dari gambut.
”Saya sudah pasrah saja, itu (kebun) terbakar pada Agustus lalu, tidak ada satu pun yang tersisa dari 2 hektar itu,” ungkap Salahuddin, lirih.
Belum usai
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pulang Pisau Salahuddin mengungkapkan, sampai saat ini wilayah kebakaran lahan memang berkurang. Namun, kebakaran masih belum usai. Masih terdapat beberapa titik api yang belum bisa dipadamkan.
”Kalau hujan hanya sebentar dampaknya asap akan semakin pekat,” ujarnya.
Dari data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kota Palangkaraya, sedikitnya pada Minggu (10/11) sampai Senin (11/11) titik api berjumlah 468 titik di seluruh Kalteng. Lalu pada Minggu (17/11) titik panas berkurang drastis hingga 54 titik di 14 kabupaten/kota. Titik panas meningkat kembali.
Di musim hujan November, pembukaan lahan justru semakin masif. Bahkan, mereka terang-terangan membakar.
Kabupaten Pulang Pisau menjadi wilayah dengan titik panas terbanyak mencapai 31 titik dengan tingkat kepercayaan di atas 70 persen. Sebagian besar titik panas tersebar di tiga kecamatan, yakni Kecamatan Pandih Batu, Sebangau Kuala, dan Kahayan Hilir.
Baik Azwa maupun Sumarjono bisa sedikit bernapas lega. Selang beberapa jam, hujan turun di wilayah mereka meski tak begitu deras. Namun, setidaknya mereka bisa beristirahat.
Sumarjono duduk di pinggir kebunnya di sebuah pondok yang setengah atap jeraminya jebol. Ia membakar rokok sambil melihat api padam. Adapun Azwa, masuk ke rumah. Sesekali, ia melongok keluar mengawasi api yang mulai padam karena hujan deras.
Keduanya sepakat, hujan yang tidak berlangsung lama hanya membuat tidur mereka tidak nyenyak. Mereka khawatir, saat mereka tidur, api kembali muncul dan menghanguskan kebun-kebun mereka.
Di musim hujan November, pembukaan lahan justru semakin masif. Bahkan, mereka terang-terangan membakar. Namun, tidak ada lagi pemadaman semasif beberapa bulan sebelumnya, tak ada lagi helikopter yang hilir mudik, tak ada lagi penangkapan pembakar-pembakar lahan.
Kanal baru
Kanal-kanal baru muncul kembali seusai kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Hal itu dinilai akan membuat lahan jauh lebih kering dan bertentangan dengan program pemulihan gambut di mana kanal disekat.
Kanal atau parit baru muncul, dari pantauan Kompas, dalam waktu lebih kurang satu bulan belakangan. Salah satunya ada di Kelurahan Kalampangan, Kota Palangkaraya, persis di tikungan sekitar 15 kilometer dari pusat Kota Palangkaraya.
Salah satu alat berat masih bekerja di lokasi dengan membuat kanal yang ukurannya lebih kurang 1 meter. Terdapat dua kanal baru di lokasi lahan yang sebelumnya terbakar.
Selain di lokasi itu, kanal-kanal baru juga muncul di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, tepatnya di wilayah Desa Tanjung Taruna. Di lokasi tersebut, alat berat juga masih digunakan membuat setidaknya ada lima kanal baru. Gundukan tanah berada di bagian tengah yang biasa dilakukan petani sebelum menanam.
Masih di lokasi yang sama, kanal-kanal baru juga dibuat di Jalan Listrik di wilayah perbatasan Desa Tanjung Taruna dengan Desa Paduran Sebangau, Kabupaten Pulang Pisau. Alat berat pun masih ada di lokasi.
Selain membuka kanal, para pekerja juga membakar lahannya. Namun, setelah dibakar tak ada satu pun yang mau mengakuinya.
Pada Senin (18/11/2019) pagi, asap mebubung dari arah dalam hutan dan perkebunan. Jalan masuk ke kawasan itu hanya berlapis tanah dan pasir, warga sekitar menyebutnya Jalan Listrik karena memang sepanjang jalan terdapat tiang-tiang listrik meski hanya terdapat tiga sampai lima rumah dan pondok di dalam kawasan itu.
Musim hujan ini justru orang buka ladang makin banyak, makin banyak juga yang bakar.
Titik api berada sekitar 11 kilometer memasuki Jalan Listrik itu. setelah ditelusuri Kompas, di dalam terdapat aktivitas pembukaan lahan menggunakan satu ekskavator. Sedikitnya 80 hektar sudah dibuka, api berada di tengah dan merambat ke pinggir dari bekas potongan atau garukan alat berat ke tanam-tanaman yang sudah mengering.
Asap pun membubung tinggi saat itu. Lalu, pada Selasa (19/11/2019), Kompas kembali ke tempat itu di saat hujan turun. Lokasi terbakar hanya tersisa asap-asap kecil di tengah kayu-kayu yang hangus.
Salah satu pekerja di lokasi yang mengaku bernama Silalahi mengungkapkan kalau api berasal dari arah utara lokasi kebakaran. Ia menyebut menggunakan ekskavator untuk membuat batas agar api tidak meluas.
Ia juga mengaku kalau baru bekerja selama dua bulan di lokasi dan tidak mengetahui siapa pemilik lahan yang sedang ia kerjakan. ”Rencananya memang mau ditanam sengon semua ini, tetapi memang belum karena masih harus kerja (pembukaan),” ujar Silalahi.
Di saat orang-orang seperti Azwa dan Sumarjono menjaga kebunnya agar tidak terbakar, masih ada yang memanfaatkan musim hujan untuk terus membakar dan menggali kanal-kanal yang membuat gambut menjadi lebih kering. Kegiatan seperti ini berulang dari tahun ke tahun, tak heran kebakaran terus terjadi.
”Musim hujan ini justru orang buka ladang makin banyak, makin banyak juga yang bakar. Tidak seperti dulu, orang bakar ladang dijaga sampai padam. Saat ini, setelah membakar, mereka kabur,” kata Sumarjono.