Pengusaha tahu di sentra industri Desa Tropodo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, masih kesulitan mendapatkan bahan bakar pengganti yang ramah lingkungan dan sesuai dengan alat produksi mereka saat ini.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Pengusaha tahu di sentra industri Desa Tropodo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, berkomitmen menghentikan penggunaan sampah plastik impor sebagai bahan bakar produksi karena tidak ramah lingkungan. Namun, mereka masih kesulitan mendapatkan bahan bakar pengganti yang sesuai dengan alat produksi.
”Tantangan mengonversi bahan bakar tidak hanya masalah harga. Persoalan besarnya adalah mencari bahan bakar yang sesuai dengan alat produksi saat ini,” ujar Sodiq, salah seorang pengusaha tahu, Sabtu (23/11/2019).
Sodiq mengatakan, 50 unit usaha tahu di desanya menggunakan uap untuk memasak kedelai. Uap dihasilkan oleh mesin pendidih atau boiler yang dipanaskan dengan api hasil pembakaran sampah. Sampah itu dibakar di dalam tungku besar untuk menjaga api menyala secara konstan.
Penyesuaian alat ini memerlukan biaya yang tidak sedikit, bahkan bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Tungku ini dibuat khusus untuk bahan bakar yang bentuknya padat dan kecil, seperti sampah plastik yang tercacah, sekam, atau kulit padi. Limbah kayu dengan potongan kecil juga bisa, tetapi tidak untuk potongan kayu ukuran besar atau balok. Guna mengganti bahan bakar, butuh penyesuaian bentuk tungku pembakaran dan alat memasak.
Penyesuaian alat ini memerlukan biaya yang tidak sedikit, bahkan bisa mencapai ratusan juta rupiah. Kekhawatiran lain, saat alat sudah disesuaikan, pasokan bahan bakar pengganti tidak terjamin atau harganya tidak stabil sehingga berpengaruh besar pada kelangsungan usaha tahu yang digeluti warga.
Lebih besar
Sodiq bercerita, pada 1980-an, pelaku usaha menggunakan sekam karena barangnya mudah diperoleh. Konversi bahan bakar menjadi sampah plastik dilakukan sejak pabrik kertas daur ulang di Mojokerto, PT Pakerin, membuang limbahnya yang berupa sampah plastik. Saat itu, sampah diperoleh secara gratis.
Seiring waktu, usaha tahu di Desa Tropodo berkembang pesat. Permintaan pasar yang terus meningkat mendorong pengusaha memperbesar kapasitas produksinya. Apabila dulu mereka memasak 100 kilogram kedelai per hari, saat ini satu unit usaha mampu memasak hingga 1 ton per hari.
Peningkatan kapasitas produksi memerlukan pasokan bahan bakar yang besar. Hal itulah yang membuat pengusaha ragu mengganti bahan bakarnya. Penggantian bahan bakar bukan tak pernah dilakukan. Dulu sempat dilakukan simulasi menggunakan gas terkompresi (CNG) dan briket batubara.
”Hasilnya tidak efisien. Harga gas lebih mahal tiga kali lipat daripada harga kayu. Padahal, harga kayu lebih mahal tiga kali lipat dibandingkan dengan harga sampah plastik,” ujar Ismail, pengusaha lainnya.
Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar mengatakan, pemerintah pusat memberikan perhatian besar pada masalah sampah. Hal itu diwujudkan melalui sejumlah kebijakan konkret, di antaranya rapat terbatas yang membahas perubahan regulasi impor bahan daur ulang.
”Upaya lain, menindak tegas impor scrab yang tercampur sampah serta bahan berbahaya dan beracun (B3) dengan cara mereekspor. Masyarakat Desa Tropodo mengakui, mereka menggunakan sampah plastik yang merupakan barang ikutan impor scrab,” kata Novrizal.
Menjawab kesulitan pengusaha terkait proses konversi bahan bakar, KLHK akan berkoordinasi dengan Kementerian ESDM dan kementerian terkait lain. Novrizal mengatakan, pihaknya berkomitmen memfasilitasi pelaku usaha yang berkomitmen meninggalkan sampah sebagai bahan bakar produksi.
Sementara itu, menyikapi penelitian tentang kontaminasi racun hasil pembakaran sampah plastik pada telur ayam kampung yang dilepasliarkan di Tropodo, Novrizal mengaku akan melakukan penelitian independen. Pihaknya sudah berdiskusi dengan ITS, Unair, serta BPPT dan hasilnya akan dilakukan penelitian independen dengan sampling yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.