Pembangunan Manusia dan Insentif Elektoral
Dalam debat Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 1980, Ronald Reagan bersaing ketat dengan calon presiden petahana Jimmy Carter.
“Are you better off than you were four years ago?”
(Ronald Reagan, Oktober 1980)
Dalam debat Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 1980, Ronald Reagan bersaing ketat dengan calon presiden petahana Jimmy Carter. Di pernyataan penutup dalam debat yang disiarkan televisi, Reagan menanamkan keraguan dalam benak pemilih dengan menyampaikan pertanyaan sederhana untuk mengevaluasi kinerja pemerintahan; “Apakah kehidupan Anda lebih baik dibandingkan empat tahun lalu?”
Reagan yang sempat tertinggal di jajak pendapat, akhirnya memenangi kontestasi elektoral itu, lalu dilantik menjadi Presiden Ke-40 AS. Kutipan Reagan itu saat ini diabadikan di salah satu ruang di Ronald Reagan Presidential Library and Museum di Simi Valley, California, AS.
Pada Kamis (21/11/2019) waktu setempat, atau Jumat WIB, pengunjung lalu lalang melewati kutipan Reagan yang terpampang di tembok. Sebagian pengunjung berhenti sejenak untuk membaca kutipan tersebut. Jauh setelah Reagan tak lagi menjabat, kemudian meninggal dunia tahun 2004, kutipan itu dianggap tetap relevan.
Dalam sebuah pemilihan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, pertanyaan soal apa yang sudah dilakukan pejabat publik akan muncul dalam benak pemilih. Maka itu, tak jarang pejabat publik mengeluarkan kebijakan populis untuk merebut suara pemilih dalam pemilihan untuk menduduki jabatan di periode kedua. Sebagian dari kebijakan didesain memberi dampak cepat, sehingga bisa dilihat masyarakat lalu bisa dikapitalisasi sebagai insentif elektoral.
Eric C.C. Chang dalam Electoral Incentives and Budgetary Spending: Rethinking the Role of Political Institutions (2008) menuturkan ada kecenderungan kebijakan anggaran dipengaruhi keinginan petahana untuk mendapat insentif elektoral. Dalam konteks pemilihan legislatif, hasil kajiannya menunjukkan saat menjelang pemilihan umum, petahana di sistem pemilu perwakilan proporsional, memfokuskan anggaran pada program kesejahteraan sosial, sedangkan pada sistem pemilihan berwakil tunggal, petahana cenderung menggelontor anggaran ke daerah pemilihannya.
Stuart Strother, Guru Besar Ekonomi Azusa University, California, AS, menuturkan ada tiga model kebijakan jika dilihat dari perspektif dana yang dikeluarkan dan dampak pengembaliannya, yakni alokasi, redistribusi, dan developmental. Model kebijakan alokasi menghasilkan pengembalian dana yang sama dengan dana yang disalurkan, sedangkan redistribusi pengembaliannya lebih sedikit dari dana yang disalurkan. Sementara itu, kebijakan developmental memberi pengembalian lebih besar dari alokasi dana, tetapi dampaknya baru bisa dirasakan dalam jangka panjang.
“Tantangannya ada pada perspektif waktu. Dampaknya bisa perlu waktu 10 tahun, tetapi kemudian hanya ada empat tahun masa jabatan (pejabat publik di AS),” kata Stuart dalam salah satu sesi program Regional and Urban Development Strategy (RUDS) yang diselenggarakan Kementerian Dalam Negeri, Inadata Consulting, dan University of California, Irvine, 16-24 November 2019.
Pernyataan itu memantik senyum dari peserta program tersebut yang sebagian di antaranya ialah kepala daerah di Indonesia yang akan kembali menghadapi pemilihan untuk menduduki jabatan di periode kedua. Saat seorang peserta menanyakan mana dari tiga model kebijakan itu yang paling ideal, Stuart memancing peserta kembali berpikir lewat pertanyaan; “Anda mau kehidupan nyaman saat ini, atau kehidupan nyaman untuk cucu Anda?”
Anda mau kehidupan nyaman saat ini, atau kehidupan nyaman untuk cucu Anda?
Membangun manusia
Revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan otomatisasi sistem produksi melalui teknologi informasi dan data besar, akan mengubah banyak hal, termasuk tenaga kerja. Revolusi 4.0 membuat pekerjaan tradisional hilang, lalu memunculkan lapangan kerja baru yang memerlukan kemampuan baru pula. Untuk menghadapi hal itu, dibutuhkan intervensi dari pemerintah, termasuk pemerintah daerah, dimulai dari langkah terkecil, seperti membangun minat membaca.
Data survei penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) 2015 menunjukkan Indonesia ada diurutan 64 dari 72 negara yang disurvei dalam hal kompetensi literasi. Selain itu, data Badan Pusat Statistik tahun 2015 menunjukkan 91,47 persen anak usia sekolah lebih suka menonton, sedangkan 13,11 persen suka membaca (Kompas, 07/05/2018).
Terkait tantangan itu, Presiden Inadata Consulting Elwin Tobing mendorong pemerintah daerah membangun pusat pengetahuan dan inovasi. Elwin mengingatkan, industri 4.0 bukan semata soal ekonomi, tetapi juga soal masyarakat dan peradaban 4.0. Masyarakat Indonesia menghadapi tantangan yang tidak mudah karena budaya literasi yang masih sangat rendah.
“Membaca, mengetahui berbeda dengan memahami. Memahami berbeda dengan bisa memproses menjadi pengetahuan. Setelah memproduksi pengetahuan baru bisa inovasi. Tapi masyarakat (Indonesia) tidak bisa disalahkan karena memang tidak ada fasilitas,” tutur Elwin.
Kajian Inadata menunjukkan perbandingan jumlah perpustakaan umum di Indonesia yang layak dan memenuhi standar akreditasi per 1 juta penduduk tidak sampai 1 unit. Sementara itu, di negara maju seperti Jerman, per 1 juta penduduk jumlah perpustakaan umum mencapai 100 unit.
Oleh karena itu, Elwin mendorong pemerintah daerah membangun perpustakaan representatif yang menjalankan tiga fungsi sekaligus, yakni pusat pembelajaran yang menyediakan buku-buku bacaan maupun ruang aktivitas belajar, pusat aktivitas komunitas baik untuk olahraga, kegiatan sosial. Selain itu juga pusat inovasi di mana pengunjung bisa mendapat pelatihan, sekaligus bisa menggunakan ruang kerja bersama.
Pemerintah daerah mampu
Untuk memancing daerah menerapkan konsep pusat inovasi, para peserta RUDS, termasuk sejumlah bupati dan wali kota, diajak mengunjungi Cerritos Library di Kota Cerritos, California. Perpustakaan seluas sekitar 7.000 meter persegi itu didesain menarik untuk memancing minat membaca. Selain itu, perpustakaan ini dilengkapi ruang multimedia dan ruang konferensi.
Bupati Bangka Barat, Bangka Belitung, Markus menuturkan, tahun 2020, di daerahnya bakal dibangun perpustakaan modern dengan pendanaan dari pemerintah pusat Rp 10 miliar. Pemkab Bangka Barat sudah menyiapkan lahan sekitar satu hektar. Dia mengaku akan mencoba menerapkan sebagian konsep dari perpustakaan Cerritos.
“Koleksi buku pasti akan coba selalu update. Jadi orang makin rajin melihat koleksi yang ada. Dengan membaca, mendapat pengetahuan, lalu bisa muncul inovasi,” katanya.
Elwin menilai pemerintah kabupaten dan kota bisa membangun pusat pengetahuan dan inovasi sepanjang ada komitmen. Pusat inovasi yang berskala kecil dengan asumsi tanah sudah tersedia, kata dia, membutuhkan anggaran Rp 8 miliar hingga Rp 10 miliar, untuk bangunan, komputer, dan kebutuhan lain. Pemerintah daerah bisa menganggarkan pembangunan itu dalam dua tahun anggaran. Selain itu, pemda bisa saja memotong 10-15 persen dana perjalanan dinas DPRD maupun eksekutif yang jumlahnya bisa mencapai puluhan miliar.
Terkait insentif elektoral yang sulit di dapat dari program berjangka panjang seperti itu, Elwin menuturkan hal itu tergantung pada komunikasi. Menurut dia, kepala daerah bisa mengomunikasikan ke publik bahwa program itu merupakan fondasi agar masyarakat bisa maju. Selain itu, pusat inovasi ini juga bisa menjadi “warisan” kepala daerah setelah ia tidak lagi menjabat. Dengan begitu, program ini membuat kepala daerah berpikir di luar insentif elektoral.
“Ingat, mengubah masyarakat itu (juga) membutuhkan venue, butuh tempat,” kata Elwin.
Nah, maukah kepala daerah memulainya? (Antony Lee)