Usulan mengubah masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi lebih panjang melalui amendemen Undang-Undang Dasar 1945 dilihat sebagai wacana terbuka.
Oleh
Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Usulan mengubah masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi lebih panjang melalui amendemen Undang-Undang Dasar 1945 dilihat sebagai wacana terbuka. Majelis Permusyawaratan Rakyat pun membuka ruang sosialisasi dan kajian serta menunggu reaksi dan masukan dari publik terkait wacana tersebut.
Ketua MPR dari Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (22/11/2019) mengatakan, jika ada keinginan dari masyarakat untuk mengubah pengaturan masa jabatan presiden dan wakil presiden, MPR akan mengikuti. Namun, untuk saat ini, ujarnya, belum ada usulan resmi dalam pembicaraan di MPR untuk mengubah masa jabat presiden dan wakil presiden.
"Kecuali ada desakan, mayoritas masyarakat menghendaki lain. Kami hanya menyiapkan wadah bagi seluruh aspirasi masyarakat. Bahwa ada wacana Presiden (bisa menjabat sampai) tiga kali ya biasa saja, itu tidak boleh dibunuh. Biarkan saja itu berkembang, kami melihat respon masyarakat bagaimana," kata Bambang.
Meski demikian, ia menegaskan, sampai sekarang belum ada wacana resmi untuk mengubah masa jabatan presiden dan wakim presiden. Rencana amendemen UUD 1945 sejauh ini tetap terbatas pada usulan menghidupkan kembali haluan negara dan mengembalikan kewenangan MPR untuk menetapkan haluan negara itu.
"Menurut saya pribadi apa yang ada sekarang (aturan masa jabatan) itu sebenarnya sudah pas," kata Bambang.
Pasal 7 UUD 1945 mengatur, presiden dan wapres memegang jabatan selama lima tahun untuk satu periode dan maksimal menjabat sepuluh tahun atau dua periode. Dengan demikian, Presiden Jokowi, misalnya, tidak akan bisa mencalonkan diri di Pemilu 2024 mendatang karena sudah dua kali menjabat, pada periode 2014-2019 dan 2019-2024.
Wacana ini awalnya diungkapkan Wakil Ketua MPR dari Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid usai bertemu dengan perwakilan Pengurus Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), Rabu (20/11/2019). Saat itu, Hidayat mengatakan, ada wacana mengubah masa jabatan presiden dan wapres yang diusulkan sejumlah anggota fraksi di MPR. Hidayat tidak menyebut fraksi yang dimaksud.
Wacana yang berkembang terdiri dari tiga opsi. Pertama, masa jabat tetap seperti yang berlaku sekarang. Kedua, presiden dan wapres menjabat sampai tiga periode berturut-turut atau maksimal 15 tahun. Ketiga, masa jabat presiden dan wapres dalam satu periode jabatan diperpanjang menjadi tujuh hingga delapan tahun.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrat Syariefuddin Hasan, yang menangani bidang pengkajian ketatanegaraan mengatakan, saat ini MPR masih dalam tahap menyelesaikan pembentukan lembaga pengkajian. Sehingga, berbagai wacana yang berkembang masih terlalu jauh untuk ditanggapi serius. Selain itu, pimpinan MPR juga masih intens melakukan safari politik untuk bertemu berbagai tokoh pimpinan partai dan tokoh masyarakat untuk menampung berbagai masukan terkait amendemen UUD 1945.
Ia juga menegaskan, sejauh ini amendemen hanya akan dilakukan secara terbatas untuk poin haluan negara. "Ini mungkin masih selentingan, tetapi yang jelas mengubah masa jabat tidak jadi salah satu agenda. Belum ada kalau sampai sekarang," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo menerangkan, garis-garis Besar Haluan Negara tak diberlakukan lagi setelah reformasi 1998. Sebagai gantinya, panduan rencana pembangunan pemerintah mengacu Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang diatur UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dinilai tak efektif karena tak menjamin kemenjamin keterpaduan dan kesinambungan pembangunan. Untuk itu, Indonesia membutuhkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara.
”Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tidak diberlakukan lagi setelah reformasi 1998. Sebagai gantinya, panduan rencana pembangunan pemerintah mengacu pada Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2004 tentang SPPN. Namun, SPPN ini kurang efektif,” kata Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo dalam diskusi ”Mengukuhkan Kebangsaan yang Berperadaban: Menuju Cita-cita Nasional dengan Paradigma Pancasila”, kemarin di Jakarta.