Kolaborasi Empat Tarian Tradisional Gayo Tutup Festival Saman 2019
Tarian tradisional Gayo tak sekadar menampilkan gerak tari, tetapi di dalamnya juga terkandung pesan-pesan kehidupan. Selain itu, tarian menjadi alat untuk mempererat persaudaraan.
Oleh
A Ponco Anggoro
·3 menit baca
BLANGKEJEREN, KOMPAS — Tiga ratus penari akan memeriahkan acara penutupan Festival Saman 2019 di Blangkejeren, Kabupaten Gayo Lues, Aceh, Sabtu (23/11/2019) malam. Tari saman, sebagai ikon festival, untuk pertama kalinya akan dikolaborasikan dengan tiga tarian tradisional Gayo lain, yaitu didong, didong tepuk, dan bines.
Festival Saman tahun ini merupakan yang kedua setelah digelar pada 2018. Festival ini bertujuan melestarikan saman serta tarian tradisional Gayo lain, dan juga mempererat persaudaraan di antara etnik Gayo di Aceh.
Festival ini merupakan buah kerja sama Pemerintah Kabupaten Gayo Lues dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), khususnya Indonesiana, platform pendukung pemajuan kebudayaan Indonesia yang diinisiasi Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud.
”Acara penutupan festival selalu digelar mendekati atau bertepatan dengan 24 November karena tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Saman Internasional,” kata Dede Pramayoza, salah satu tim ahli kurasi dan produksi Indonesiana, di Blangkejeren, Sabtu.
Penetapan Hari Saman Internasional itu menyusul masuknya saman dalam daftar warisan budaya tak benda oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 24 November 2011.
Sama seperti festival tahun lalu, festival kali ini berlangsung selama tiga bulan. Festival digelar di 11 kampung di semua kecamatan di Gayo Lues yang berjumlah 11 kecamatan secara bergantian.
Menurut Dede, festival sengaja digelar sebagai bagian dari upaya memajukan kebudayaan Gayo, dalam hal ini saman dan tarian-tarian tradisional Gayo lainnya.
Festival juga penting untuk mempromosikan tarian saman yang asli, warisan dari leluhur. Sebab, selama ini, saman yang kerap ditampilkan kepada publik sudah dimodifikasi untuk kepentingan pertunjukan. Tak hanya itu, saman kerap disamakan dengan tari ratoh jaroe, tarian tradisional lain dari Aceh, yang memang mirip dengan saman.
”Salah satu perbedaan yang mencolok, tari saman itu penarinya laki-laki semua, berbeda dengan tari ratoh jaroe yang perempuan semuanya. Tepukan pada dada penari laki-laki saman pun lebih keras dari tepukan pada dada perempuan di tari ratoh jaroe,” ujarnya.
Selain itu, saman oleh leluhur orang Gayo dijadikan sebagai alat perekat persaudaraan. Hal ini memungkinkan terjadi karena saat salah satu kampung hendak mempertunjukkan tari saman, warga kampung tersebut selalu mengundang kampung suku Gayo lain. Orang dari kampung Gayo lain kemudian ikut mempertunjukkan saman.
Tak sebatas itu, mereka juga mempererat persaudaraan atau dalam bahasa Gayo disebut serinen. ”Tamu dari kampung lain diperlakukan seperti saudara. Mereka menginap, makan, dan minum di rumah-rumah tuan rumah. Di situ persaudaraan direkatkan,” ujar Dede.
Saman sebagai alat perekat suku Gayo bertahan hingga kini. Bahkan, pernah satu kali, sekitar tahun 2000, menurut Dede, tari saman digunakan untuk mendamaikan dua kampung yang konflik di Gayo Lues.
Saat penutupan Festival Saman 2019, tari saman akan ditampilkan oleh grup saman pemda. Menurut Alimuddin, salah satu penari di grup tersebut, grup terdiri atas penari-penari saman andal yang sengaja dikumpulkan Pemerintah Kabupaten Gayo Lues. Grup ini sering pentas ke berbagai wilayah Indonesia, bahkan ke luar negeri, untuk mempromosikan saman.
Terkait dengan tiga tarian lain yang akan ditampilkan saat acara penutupan, yaitu didong Gayo, didong tepuk, dan bines, Sekretaris Dinas Pariwisata Kabupaten Gayo Lues Khalidin mengatakan, masing-masing memiliki filosofi tersendiri.
Tari didong, misalnya, selalu diiringi lirik-lirik yang mengandung pesan-pesan kehidupan warisan dari leluhur. Adapun bines biasa ditarikan penari-penari perempuan untuk menyemangati para penari saman.
Blangkejeren berada di selatan Provinsi Aceh atau berjarak sekitar 477 kilometer dari Banda Aceh. Jaraknya lebih dekat dengan Medan, ibu kota Sumatera Utara, atau sekitar 308 kilometer.
Di Blangkejeren terdapat Bandar Udara Patiambang Negeri, tetapi frekuensi pesawat masih terbatas, hanya dua kali seminggu, dari Banda Aceh dan Medan, yang dilayani pesawat dari maskapai Susi Air.