Masa uji coba pemanfaatan jalur sepeda yang kini berlangsung di DKI Jakarta diharapkan bisa membuat sepeda menjadi sarana transportasi yang aman dan nyaman. Masa uji coba itu sekaligus mengintegrasikan transportasi massal dengan pengguna sepeda.
Bagaimanapun, mewujudkan jalur ideal bagi pengguna sepeda masih memerlukan proses panjang. Pengguna sepeda masih kerap berebut ruang dengan pengguna jalan lainnya, seperti kendaraan pribadi.
Data menunjukkan, sepeda motor merupakan kendaraan terbanyak yang melintas di jalanan Ibu Kota dengan jumlahnya mencapai 13,3 juta unit. Mobil pribadi juga mengisi banyak ruas jalan Ibu Kota. Jumlahnya mencapai 3,5 juta unit. Jumlah sepeda motor rata-rata bertambah 415.000 unit per tahun dalam lima tahun belakangan. Dalam kurun waktu yang sama, jumlah mobil pribadi rata-rata bertambah 183.000 unit setiap tahun.
Proses merintis jalur sepeda saja terbilang tak mudah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memerlukan waktu setidaknya enam tahun. Berawal dari munculnya peraturan Pemprov DKI tentang Pengendalian Pencemaran Udara sekitar awal Oktober 2005, jalur sepeda pertama dibangun tahun 2011 dengan rute kawasan Taman Ayodya-Kantor Wali Kota Jakarta Selatan.
Desain yang terintegrasi sejak awal menjadi hal yang paling mendasar. Inilah yang diingatkan oleh Toto Sugito, co-founder pekerja bersepeda atau Bike to Work (B2W) saat berbincang dengan Kompas, Selasa (19/11/2019). Desain itu bisa mengacu ke Bogota, ibu kota Kolombia. Kebetulan komunitas B2W mengikuti studi banding ke Bogota bersama Pemprov DKI Jakarta pada 2009 dan 2014. Misi utama tim adalah studi tentang busway yang terintegrasi dengan jalur pedestrian dan sepeda.
Sistem transportasi di Bogota diubah sedemikian rupa sehingga menjadi (kota) ramah manusia. Poin utama dari sistem itu adalah ”memanusiakan manusia” dan betul-betul menekan pemakaian kendaraan pribadi dengan tegas. Fasilitas pedestrian dan sepeda menjadi nomor satu.
”Desainnya terintegrasi antara non motorized dan angkutan busway (bus dengan jalur khusus, Transjakarta) sehingga infrastruktur yang ada betul-betul berguna,” ujar Toto. Di Bogota, jalur khusus bus dibuat dua lajur. Adapun jalur untuk kendaraan pribadi hanya terdiri satu lajur.
Toto mendeskripsikan, sehari-hari warga Bogota menempuh sekitar 2 kilometer dengan berjalan kaki. Kemudian 2-10 kilometer berikutnya mereka menggunakan sepeda. Selebihnya, warga dapat memakai angkutan umum.
Fasilitas pendukung keamanan dan kenyamanan bersepeda tak perlu diragukan. Di setiap stasiun bus berjalur khusus, tersedia bike share (persewaan ataupun parkir sepeda). Warga Bogota tak perlu repot jika harus bergerak dari satu lokasi ke lokasi lain menggunakan sepeda. ”Sarana bus di sana nyaman sekali, mirip seperti MRT (transportasi massal cepat) yang ada saat ini,” ujar Toto.
Memanusiakan manusia
Meski demikian, ada beberapa catatan penting yang membedakan Bogota dengan Jakarta. Pertama, cuaca sejuk Bogota mendukung pengguna sepeda. ”Sementara Jakarta panas,” ujar Toto. Menurut dia, kalau memang serius, pemprov harus betul-betul mempertimbangkan faktor cuaca. Solusi untuk hal ini ialah membangun kanopi dan menanam pohon di sepanjang jalur sepeda.
Kedua, konsep integrasi moda transportasi menempatkan aktivitas jalan pejalan kaki dan sepeda sebagai bagian dari pengumpan (feeder) angkutan massal. Kemungkinan kendaraan pribadi melanggar jalur-jalur khusus bus di Bogota bisa dibilang hampir tidak ada.
Salah satu contoh jalur sepeda ideal di Jakarta saat ini adalah jalur di kawasan Sudirman-Thamrin. Semuanya sudah tersedia: MRT, jalur bus, dan jalur pejalan kaki. Namun, selebihnya, jalur sepeda di Jakarta berbeda jauh dengan kondisi di Bogota. Demikian juga soal budaya.
Jajak pendapat Kompas pada 17-18 Maret 2019 terhadap 500-an responden di Jabodetabek memperlihatkan, hampir enam dari 10 warga memandang sepeda hanya sebagai sarana olahraga dan bukan alat transportasi harian. Faktor keselamatan dan polusi udara menjadi penghambat penggunaan sepeda sebagai moda mobilitas harian.
Tak sedikit warga yang khawatir tertabrak kendaraan lain saat mengendarai sepeda di jalan raya, seperti kasus pesepeda Sandy Syafiek yang meninggal ditabrak mobil pada Februari 2018.
Alasan lain dari 56 persen responden jajak pendapat tersebut, bersepeda di Jakarta tak aman dari tindak kriminal. Pada Juni 2018, ponsel milik Syarief Burhanudin, Ditjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR, yang ditaruh di kantong belakang, dijambret saat ia bersepeda. Ia pun terseret sepeda motor yang dikendarai penjambret.
Memulai integrasi
Jakarta tak mungkin meniru jalur sepeda di Bogota. Harus diakui, kondisi jalan di Jakarta sejak awal memang tidak didesain untuk jalur sepeda. Karena itulah, melalui program ”Jakarta Ramah Bersepeda”, September 2019, Pemprov DKI Jakarta meluncurkan jalur sepeda, dengan tujuan agar warganya lebih banyak beraktivitas dengan sepeda, khususnya untuk jarak cukup dekat. Pemprov DKI Jakarta juga akan menyediakan tempat parkir sepeda.
Regulasi yang ada pun semakin mendukung keberadaan jalur sepeda. Peraturan untuk jalur sepeda diamanatkan oleh Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 dan Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi. Soal jalur yang lama, Dinas Perhubungan DKI Jakarta menyatakan sudah tak efektif karena tidak saling terintegrasi.
Kini Pemprov DKI Jakarta memulai penyediaan jalur sepeda baru dalam satu jaringan transportasi massal, yang terbagi dalam tiga fase sepanjang 63 kilometer. Sampai tahun 2022, jalur ini ditargetkan mencapai sekitar 500 km. Agar steril, sepanjang jalur ini akan dipasang pembatas permanen juga sanksi kepada kendaraan lain yang melanggar.
Jalur bersepeda akan disebar di beberapa wilayah administrasi sekaligus supaya selanjutnya bisa berkembang di wilayah masing-masing secara terintegrasi. Jalur sepeda juga didesain menjadi bagian dari segmen 17 ruas jalan kawasan ganjil genap.
Ruas jalan yang dipakai di antaranya Jalan Pemuda, Pramuka, Tugu Proklamasi, Diponegoro, Imam Bonjol, MH Thamrin, Merdeka Selatan, RS Fatmawati, Panglima Polim, Sisingamangaraja, Tomang Raya, Cideng, Kebon Sirih, Matraman, dan Jatinegara Barat (lihat Grafis).
Desain awal jalur ini disiapkan oleh Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) yang dibahas bersama dengan komunitas sepeda dan pemerintah. ”Harapannya, titik asal dan tujuan pesepeda bisa lebih terhubung dengan moda transportasi massal,” ungkap Fani Rachmita, Communications and Partnership Manager ITDP.
Saat ini, pembatasan yang ada baru berlaku untuk mobil. Tak lepas dari desain tersebut adalah 10 konsensus tentang Jakarta Ramah Bersepeda. Ke depan, pembatasan kendaraan pribadi dan konsensus yang ada diharapkan bisa menegaskan sikap untuk mendorong penggunaan sepeda. (Litbang Kompas)