Dwi Koen meneruskan semangat Punakawan dalam membuat karakter-karakter dalam kartun Panji Koming. Kartun ini pun menjadi simbol bagaimana wong cilik memiliki kekuatan luar biasa sebagaimana Punakawan.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Dwi Koen meneruskan semangat Punakawan dalam membuat karakter-karakter dalam kartun Panji Koming. Kartun ini pun menjadi simbol bagaimana wong cilik memiliki kekuatan luar biasa sebagaimana Punakawan.
JAKARTA, KOMPAS — Kehadiran kartun strip Panji Koming di edisi Kompas Minggu selama 40 tahun terakhir mewakili harapan akar rumput bahwa kekuasaan semestinya di tangan rakyat. Panji Koming menjadi simbol bagaimana masyarakat bawah yang kadang dianggap bukan siapa-siapa, ternyata memiliki kekuatan luar biasa yang bisa mengalahkan apapun, termasuk penguasa.
Sejak pertama kali terbit pada 14 Oktober 1979, almarhum kartunis Dwi Koendoro Brotoatmojo menggunakan cara-cara yang cerdik dalam menampilkan karakter-karakter Panji Koming. Ia meneruskan semangat Punakawan, tokoh pewayangan personifikasi “wong cilik”atau rakyat jelata khas Indonesia yang tidak ada pada kisah-kisah Ramayana maupun Mahabharata dari India.
“Punakawan (Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong) hadir untuk mengamati tingkah laku dan mengkritik para petinggi. Ada cara-cara tertentu dari pujangga dulu untuk mengkritik penguasa. Punakawan yang bukan siapa-siapa dan tidak mempunyai apapun selain kesanggupan untuk mengabdi ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa melebihi para penguasa di dunia. Semar bahkan dianggap bagian dari dewa-dewa, kentutnya bahkan diyakini bisa mengalahkan ksatria yang paling hebat,” kata kurator Bentara Budaya, Efik Mulyadi, Jumat (22/11/2019), dalam diskusi bertajuk "Bincang-Bincang Menyoal Panji "Dwi Koen" Koming di Bentara Budaya Jakarta.
Selain Efix, hadir pula sebagai pembicara kartunis sekaligus dosen Desain Komunikasi Visual Institut Kesenian Jakarta Beng Rahadian. Diskusi dimoderatori wartawan harian Kompas, Putu Fajar Arcana.
Kisah seperti itulah yang diturunkan Dwi Koen dalam kartun Panji Koming dengan karakter-karakternya yang khas, seperti Panji Koming, Pailul, Ni Woro Ciblon, Dyah Gembili, Bujel, dan tokoh-tokoh antagonis, salah satunya Den Mas Aryo Kendor. Senada dengan cerita pewayangan, Panji Koming berulang kali menampilkan kisah di mana petinggi akan kualat jika berani melawan rakyat.
Senada dengan cerita pewayangan, Panji Koming berulang kali menampilkan kisah di mana petinggi akan kualat jika berani melawan rakyat.
Den Mas Aryo Kendor diposisikan sebagai sosok priyayi yang sok tahu, arogan, otoriter tetapi nasibnya selalu berakhir dengan kejatuhan kelapa, digigit kirik (anjing), dan tertimpa kecelakaan. “Setiap kolom (kartun) habis, selalu ada penilaian moral. Ada kekuasaan yang tidak bisa dikontrol sama sekali. Kalau dibutuhkan, rakyat menjadi lebih kuat dari penguasa,” paparnya.
Efix juga melihat sosok Dwi Koen sebagai kartunis yang sangat berani. Ketika pemerintah Orde Baru sangat otoriter, dia bahkan berani membuat kartun yang keras mengkritik pemerintah. Ia berani ”menertawakan” situasi politik, di mana orang yang mengikuti ”raja” harus rela berkorban untuk kepentingan ”raja”, sekalipun mereka harus menderita.
“Nafas” panjang
Kartun Panji Koming tergolong sebagai kartun yang memiliki “nafas” panjang dengan kemampuan terbit secara konsisten selama 40 tahun. Prestasi ini mengungguli masa tayang kartun Put On di mingguan Sin Po yang mencapai 37 tahun dan kartun Doyok di Pos Kota yang bertahan 34 tahun.
“Panji Koming mampu bertahan di surat kabar Kompas dengan topik yang selalu berbeda setiap minggu,” kata Beng.
Pasca reformasi, Panji Koming mengalami perubahan alur cerita dengan masuknya karakter-karakter baru, seperti tokoh-tokoh politik. Ketika zaman berubah dari rezim Orde Baru menuju rezim pemerintahan baru yang lebih bebas, fungsi Den Mas Aryo Kendor sebagai penguasa menjadi sulit karena muncul tokoh-tokoh politik. Rupanya, Dwi Koen ingin mengikuti dan berada di alur perkembangan zaman.
Pasca reformasi, Panji Koming mengalami perubahan alur cerita dengan masuknya karakter-karakter baru.
“Bagi generasi muda yang membaca Panji Koming, ada hal yang sedikit mengecewakan karena Panji Koming menjadi sama seperti kartun-kartun lain meski penyampaiannya tetap dalam gaya Panji Koming,” kata Beng.
Namun demikian, tak bisa dipungkiri, Panji Koming menjadi satu-satunya kartun yang bisa mewakili kenusantaraan. Dwi Koen dengan Panji Koming memberikan citra nusantara yang tetap, yang tidak bisa dibandingkan dengan kartun-kartun dari negara lain.
“Setting Panji Koming betul-betul dipertahankan dan sulit mencari bandingannya. Pencapaian Dwi Koen adalah pencapaian personal. Gayanya sangat khas dan ini bisa ditiru kartuni-kartunis muda,” paparnya.
Pencapaian Dwi Koen adalah pencapaian personal. Gayanya sangat khas dan ini bisa ditiru kartuni-kartunis muda.
Saat ini, kebanyakan kartunis mulai kehilangan cara dalam penyampaian kritik, terutama bagaimana menyampaikan kritik secara santun. Masyarakat kita berada di era media sosial di mana kesantunan bukan lagi menjadi persoalan. Apapun dilakukan, yang penting viral. Dalam hal ini, para kartunis mesti belajar banyak dari apa yang dikerjakan Dwi Koen.
Di dunia kartun, Dwi Koen menjadi semacam role model bagaimana menyampaikan cara bertutur yang baik melalui gambar. Pada akhirnya, kartun bukan sekedar cara menggambar, tetapi bagaimana seorang seniman bisa menceritakannya gagasannya dengan jelas dan menggambarnya dengan baik.