Sebagai Lembaga Penyiaran Publik, RRI dan TVRI harus tetap independen, netral, dan fokus pada pelayanan untuk kepentingan umum, bukan humas pemerintah.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
Sebagai Lembaga Penyiaran Publik, RRI dan TVRI harus tetap independen, netral, dan fokus pada pelayanan untuk kepentingan umum, bukan humas pemerintah.
JAKARTA, KOMPAS — Hasil Rapat Dengar Pendapat antara Komisi 1 DPR dengan Dewan Pengawas dan Direksi Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia, Rabu (20/11/2019), cukup mencengangkan. Komisi 1 DPR justru mendorong RRI menjadi corong pemerintah, bukan Lembaga Penyiaran Publik yang semestinya mengabdi kepada kepentingan masyarakat.
Poin kedua kesimpulan hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang ditandatangani Pimpinan Rapat Bambang Kristiono dari Komisi I DPR menyebutkan hal tersebut. Demikian isi poin itu: Komisi 1 DPR mendorong Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI untuk terus meningkatkan peran sebagai Government Public Relation dengan menyampaikan informasi terkait kebijakan, program, dan pencapaian kinerja pemerintah kepada masyarakat Indonesia, termasuk di wilayah perbatasan NKRI.
Menanggapi hal ini, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia sekaligus pegiat Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) Nina Mutmainah Armando mengatakan, bagaimanapun perspektif LPP RRI (dan juga TVRI) semestinya bukan sebagai PR atau humas pemerintah, tetapi sebagai lembaga penyiaran yang mengabdi pada kepentingan publik.
“Seharusnya perspektif publik yang utama. Kalau RRI (maupun TVRI) menjadi humas pemerintah, maka tidak akan ada daya kritis di sana. Lembaga ini akhirnya hanya akan menyampaikan citra-citra positif pemerintah saja, daya kritisnya tumpul,” ucap Nina, Kamis (21/11/2019) di Jakarta.
Kalau RRI (maupun TVRI) menjadi humas pemerintah, maka tidak akan ada daya kritis di sana.
Tetap independen
Pada hari yang sama, Badan Legislasi DPR juga menggelar RDP dengan KNRP. Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua Baleg DPR Rieke Diah Pitaloka tersebut, KNRP secara tegas menyebutkan tentang pentingnya menjaga LPP RRI dan TVRI agar tetap independen, netral, dan fokus pada pelayanan untuk kepentingan umum. Oleh karena itu, KNRP merekomendasikan agar LPP harus diatur tersendiri dalam undang-undang yang tidak menjadi bagian dari UU Penyiaran karena di dalamnya banyak detail yang harus diatur.
Selain tentang independensi LPP, KNRP juga mengusulkan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran dan RUU tentang Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) untuk masuk dalam Program Legilasi Nasinal RUU Tahun 2020-2024 serta masuk dalam RUU Prioritas Tahun 2020. Baleg menerima kedua usulan RUU dari KNRP terkait dengan RUU tentang Penyiaran dan RUU tentang RTRI sebagai bahan masukan dalam penyusunan Prolegnas RUU Tahun 2020-2024 dan Proglegnas RUU Prioritas Tahun 2020.
Hal serupa disampaikan anggota Dewan Pengawas LPP RRI, Hasto Kuncoro. Menurut Hasto, sebaiknya RRI tetap seperti saat ini yaitu sebagai lembaga negara yang netral dan independen.
“Pemerintah tidak usah khawatir RRI akan melenceng menjadi oposan atau berpihak kepada kekuatan politik tertentu. RRI tetap akan mengedepankan kepentingan seluruh bangsa dan negara. Agar fungsi dan tugas RRI berjalan, maka kelembagaan RRI harus independen, terbebas dari kepentingan pemerintah, politik praktis, dan terbebas dari kepentingan pemodal. Harapan kami, RUU tentang Penyiaran yang baru nanti akan memperkuat independensi RRI secara kelembagaan dan konten,” kata dia.
Agar fungsi dan tugas RRI berjalan, maka kelembagaan RRI harus independen, terbebas dari kepentingan pemerintah, politik praktis, dan terbebas dari kepentingan pemodal.
Prinsip independensi, netralitas, dan kewajiban memberikan layanan untuk kepentingan publik merupakan keniscayaan yang melekat pada LPP baik RRI maupun TVRI. Prinsip-prinsip ini harus benar-benar dijaga. Untuk menjamin tiga prinsip mendasar itu, LPP mesti diatur dengan UU khusus.
Sebelumnya, Dosen Program Studi Komunikasi Universitas Islam Indonesia sekaligus anggota Tim Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik, Masduki mengatakan, di sejumlah negara maju, keberadaan LPP diatur melalui UU tersendiri. ”Di Australia, misalnya, penyiaran publik diatur melalui ABC Act. Adapun BBC di Inggris diatur dengan Royal Charter,” ucapnya.