Barang Milik Negara Diasuransikan Bertahap hingga 2023
Pemerintah mulai mengasuransikan barang milik negara untuk mengantisipasi dampak bencana. Asuransi kebencanaan itu diterapkan secara bertahap hingga 2023.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mulai mengasuransikan barang milik negara untuk mengantisipasi dampak bencana. Asuransi kebencanaan itu diterapkan secara bertahap hingga 2023.
Pengasuransian barang milik negara (BMN) diharapkan dapat mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selama ini, pendanaan bencana hanya mengandalkan APBN sehingga kerugian bencana yang harus ditanggung pemerintah melebihi alokasi yang ditetapkan.
Direktur Barang Milik Negara Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Encep Sudarwan mengatakan, pengasuransian BMN berlaku untuk bangunan-bangunan bernilai ekonomi tinggi serta berfungsi sebagai layanan publik. Adapun aset BMN setelah revaluasi diperkirakan mencapai Rp 6.000 triliun.
”Asuransi diperlukan untuk melindungi barang milik negara dan mempercepat rehabilitasi apabila terjadi bencana,” ujar Encep yang ditemui di Jakarta, Jumat (22/11/2019).
Pengasuransian BMN akan dilakukan secara bertahap pada semua kementerian dan lembaga. Untuk tahap awal, pada 2019, pemerintah mengasuransikan 1.360 gedung Kemenkeu senilai Rp 10,84 triliun. Premi asuransi yang harus dibayar Kemenkeu sekitar Rp 21,26 miliar per tahun.
Selanjutnya, asuransi akan menjamin BMN di 10 kementerian/lembaga pada 2020, 20 kementerian/lembaga tahun 2021, 40 kementerian/lembaga pada 2022, dan seluruh kementerian/lembaga tahun 2023. Implementasi asuransi tak bisa dilakukan secara serentak karena bergantung dari kesiapan kementerian/lembaga dan konsorsium asuransi. Sosialisasi dan edukasi juga harus intens dilakukan.
Tahapan pelaksanaan pengasuransian BMN ini diatur dalam Peraturan Kementerian Keuangan Nomor 253 Tahun 2019. BMN yang diasuransikan untuk tahun 2019 mencakup gedung bangunan kantor, bangunan pendidikan, dan bangunan kesehatan.
Encep menyebutkan, penetapan obyek asuransi BMN mengutamakan aset yang berdampak besar bagi pelayanan umum apabila rusak atau hilang. Ke depan, asuransi akan memperluas cakupan ke proyek-proyek infrastruktur pemerintah, seperti bandara dan kawasan ekonomi khusus. Namun, skema pertanggungan masih dirumuskan.
”Setelah gedung bangunan, langkah selanjutnya mengasuransikan proyek-proyek infrastruktur. Teknis penghitungan asuransi sesuai tingkat risiko dan nilai asetnya,” ujar Encep.
Pelaksana jasa asuransi BMN adalah konsorsium asuransi yang terdiri dari 50 perusahaan asuransi dan 6 perusahaan reasuransi. Konsorsium dibentuk karena nilai aset pemerintah yang akan diasuransikan sangat besar. Perusahaan yang terlibat dalam konsorsium asuransi juga harus memiliki nilai modal lebih dari Rp 1,5 triliun.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Dody Dalimunthe mengatakan, setidaknya ada sejumlah risiko yang ditanggung asuransi, antara lain kerusakan gedung bangunan akibat banjir, gempa bumi, kebakaran, dan serangan terorisme. Lingkup penjaminan adalah gedung beserta barang-barang di dalamnya.
Menurut Dody, pengasuransian BMN akan berdampak positif bagi APBN. Besaran premi asuransi yang harus dibayarkan setiap tahun sudah fix. Jika tidak diasuransikan, pemerintah harus mengeluarkan dana kebencanaan yang sifatnya fluktuatif. Skema asuransi berlandaskan prinsip gotong royong dan bagi risiko.
”Asuransi ini ibarat penyangga kerugian apabila terjadi bencana alam yang tidak bisa diprediksi,” ucap Dody.
Beban fiskal
Berdasarkan peta risiko fiskal tahun 2020, yang dihitung Kemenkeu, bencana alam menjadi sumber risiko fiskal bagi APBN. Rata-rata kerugian ekonomi langsung akibat bencana alam tahun 2000-2016 mencapai Rp 22,85 triliun per tahun. Sementara rata-rata realisasi dana cadangan penanggulangan bencana pada APBN periode 2005-2018 hanya sekitar Rp 2,5 triliun per tahun.
Sebagai perbandingan, bencana besar seperti gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004 membutuhkan dana Rp 51,4 triliun, sementara APBN hanya mampu Rp 3,3 triliun atau 7,9 persen dari total kerugian. Hal serupa terjadi saat bencana gempa di DI Yogyakarta yang mengakibatkan kerugian Rp 26,1 triliun, sementara APBN sebesar Rp 2,9 triliun atau 11,1 persen dari total kerugian.
Encep mengatakan, alternatif pembiayaan di luar APBN sangat diperlukan karena alokasi dana bencana terbatas. Peristiwa bencana yang sulit diprediksi kerap membuat APBN tidak stabil. Pemerintah harus menanggung rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana yang cukup besar selama bertahun-tahun.
”Sebelum ada asuransi, pemerintah menggunakan anggaran bencana sesuai pagu. Bisa ditambah, tetapi kalau tidak cukup, dilanjutkan tahun depan,” kata Encep.
Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani menambahkan, tahun ini pemerintah merealokasi sejumlah belanja, antara lain untuk cadangan kurang bayar subsidi, kurang bayar transfer ke daerah dan dana desa, penanggulangan bencana, serta keperluan mendesak lainnya. Pemerintah menaruh perhatian serius pada penanggulangan bencana.
Pada 2019, alokasi dana cadangan bencana alam dua kali lipat menjadi Rp 15 triliun. Hal itu di luar anggaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebesar Rp 610 miliar dan tahap pertama realisasi asuransi bencana berupa dana gabungan (poolingfund) sebesar Rp 1 triliun.