Nasib Juragan Karet di ”Tanah Emas” Mandailing Natal
Selasa (12/11/2019) pagi, raungan mesin pengayak menandai perburuan emas di lubang-lubang tambang rakyat di Sungai Batang Natal, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Ali Bustami Nasution (60), salah satunya.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
Mereka tahu risiko menambang liar bertaruh nyawa. Namun, mereka lebih takut pada hari-hari tanpa pendapatan. Dan penambangan emas liar di sekujur Sungai Batang Natal pun berkelanjutan.
Selasa (12/11/2019) pagi, raungan mesin pengayak menandai perburuan emas di lubang-lubang tambang rakyat di Sungai Batang Natal, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Ali Bustami Nasution (60), salah satunya.
Perlahan ia turun ke lubang tambang sedalam 15 meter dengan diameter 20 meter di bibir Sungai Batang Natal di Desa Muara Soma. Tak ada alat pengamanan apa pun, tidak alas kaki ataupun pelindung kepala. Celana pendek, kaus oblong koyak.
Kami berendam dari pagi hingga jelang malam. Keluar sebentar, makan siang.
Di lubang itu saja ada 10 petambang. Setelah alat berat mengangkat batu-batu besar, pekerja beraksi. Ada operator pompa penyedot dan penyemprot air ke dinding lubang. Ada penyedot air bercampur material lalu mengalirkan ke tangga pengayak penampung butiran emas, sedangkan air langsung ke sungai.
Pekerja lain, termasuk Bustami, mengangkat batu secara estafet dari lubang. ”Kami berendam di lubang mulai dari pagi hingga jelang malam. Keluar sebentar saja untuk makan siang,” ujarnya.
Aktivitas penambangan rakyat berjejer hampir di sepanjang aliran Sungai Batang Natal, mulai dari Kecamatan Batang Natal, Lingga Bayu, hingga Natal. Suara mesin pengayak menderu-deru terdengar ketika melintasi jalan di tepi sungai itu. Mayoritas warga di sepanjang aliran sungai itu kini menggantungkan hidup pada pertambangan tersebut.
Mereka rata-rata mendapat 7 gram emas sehari yang dijual Rp 3,92 juta. Dibagi 40 persen untuk pemilik mesin dan bahan bakar, 30 persen pemilik tanah, dan 30 persen pekerja. Para pekerja biasanya mendapat Rp 100.000-Rp 150.000 per hari. Kadang hanya 25 persen, dipotong setoran keamanan.
Menambang juga dilakoni perempuan. Mereka menggali tanah dengan cangkul, kayu, ataupun tempurung. ”Sehari, saya biasa dapat 100-150 miligram emas. Lumayan bisa jual Rp 50.000 sampai Rp 80.000 sehari,” kata Anna Nasution (60).
Ada pula penampung material sisa dari tangga pengayak. Mereka mendulang emas dari sana. ”Bisa dapat 100-150 miligram setiap hari,” kata Miah Lubis (42).
Setiap Rabu, para petambang yang hanya bermodal dulang diizinkan turun ke lubang tambang besar untuk mengambil sekarung tanah. Jika beruntung, mereka bisa mendapat 0,5 gram emas yang dijual Rp 280.000. Kenapa Rabu? ”Agar kami bisa berbelanja di pekan pada Kamis,” kata Miah.
Tanah emas
Tanah Mandailing Natal memang ”tanah emas”. Anna, misalnya, hampir setiap kali mendulang ada butiran kecil.
Secara historis, penambangan emas di Sungai Batang Natal sudah ada selama berabad-abad. William Marsden dalam bukunya The History of Sumatra, terbit pertama pada 1783 di London, memuji mutu emas dari Natal.
Meski pertambangan rakyat di Natal telah berlangsung berabad-abad, menambang bukanlah pekerjaan utama. Jumlah petambang bertambah pesat delapan tahun terakhir, sejak harga getah karet anjlok dari Rp 20.000 menjadi Rp 5.000 per kilogram. ”Hampir seluruh pekerja tambang ini petani karet,” kata Bustami. Kebun karet miliknya seluas 5 hektar kini terbengkalai.
Ketika harga karet masih bagus, minimal ia dapat Rp 1 juta per minggu. Harga anjlok, hanya Rp 50.000 per hari.
Dengan menambang emas, ia bisa terus membiayai kuliah anaknya di Medan. ”Saya kuliahkan agar tidak menjadi petambang emas seperti saya,” katanya.
Seiring munculnya dampak lingkungan dan kesehatan, termasuk enam bayi yang lahir dengan kelainan tiga tahun terakhir diduga terkait cemaran logam berat, desakan penertiban tambang muncul. ”Saya akan menutup semua tambang ilegal di Mandailing Natal,” kata Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi.
Akan tetapi, Bupati Mandailing Natal Dahlan Hasan Nasution belum bisa memastikan. Tambang emas rakyat itu sumber penghidupan utama ribuan keluarga. Jika dilarang begitu saja tanpa solusi, dikhawatirkan dampak sosialnya lebih besar.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Mandailing Natal Syarifuddin Lubis, penambangan emas di Sungai Batang Natal tidak menggunakan merkuri ataupun bahan kimia berbahaya lain karena kadar emas di sana di atas 90 persen. ”Kami telah mengambil sampel di sumber air di sekitar tambang untuk melihat apakah ada kandungan merkuri di sana,” katanya.
Penambangan emas di Mandailing Natal paling mengancam adalah penambangan rakyat di Kecamatan Huta Bargot. Mereka menggali material tambang di perbukitan. Untuk memisahkan emas dari bebatuan, penambangan itu diduga menggunakan merkuri.
Polemik ini sebenarnya tak perlu terjadi jika harga komoditas karet terjaga.
Ketua DPRD Mandailing Natal Erwin Efendi Lubis menilai, pertambangan emas rakyat di Mandailing Natal tidak bisa ditutup langsung. Namun, penertiban mutlak dilakukan. Petambang yang menggunakan bahan kimia berbahaya harus ditindak dan ditutup. Selain tambang rakyat, di Mandailing Natal juga beroperasi beberapa perusahaan tambang emas.
Polemik ini sebenarnya tak perlu terjadi jika harga komoditas karet terjaga. Saatnya pemerintah bekerja lebih keras sehingga juragan karet seperti Bustami dan yang lain tetap bangga menyadap karet. Jauh dari risiko tertimpa bongkahan batu besar di ”tanah emas”.