Bob Tutupoly, Pelantun ”Widuri” yang Terus Bernyanyi
Bob Tutupoly, penyanyi empat zaman, mulai dari Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, hingga pasca-Reformasi, genap berusia 80 tahun pada 13 November 2019.
Bob Tutupoly, penyanyi empat zaman, mulai dari Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, hingga pasca-Reformasi, genap berusia 80 tahun pada 13 November 2019. Tubuhnya relatif masih sehat. Namun, seiring bertambahnya usia, ia mulai sering lupa. Meski begitu, di usianya yang begitu matang, ia masih terus menyanyi di berbagai acara. Dan, lagu yang biasanya pasti diminta tetap saja ”Widuri”.
Harian Kompas mendapat kesempatan menemui Bob di rumahnya yang asri di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Jumat (15/11/2019). Siang itu, Bob yang sudah berkeliling ke banyak negara di dunia untuk menyanyi bersemangat menyambut kami. Ia tampak ceria dengan kemeja warna-warni putih, biru, merah, hijau dipadu celana panjang warna biru. Senyumnya lebar dan sikapnya ramah seperti biasa.
Ia bercerita banyak, ngalor-ngidul, mulai keluarganya, perjalanannya kariernya yang panjang di dunia musik Indonesia, keinginannya melihat cucunya punya pacar, dan tentu saja bercerita tentang ”Widuri”. Lagu yang diciptakan Adriadi pada 1970-an itu membuat nama Bob Tutupoly melambung tidak hanya di Indonesia, tetapi juga ASEAN. Hingga kini, lagu itu masih jadi andalan Bob ketika menyanyi di berbagai panggung di dalam dan luar negeri. Lagu itu juga menjadi andalan banyak orang yang bernyanyi di tempat karaoke, mungkin termasuk Anda. Berikut petikan wawancara dengan Bob yang kami sapa Om Bob.
Om Bob sekarang genap berusia 80 tahun dan sudah 60 tahun menjadi penyanyi. Apa makna usia 80 tahun dengan jejak yang begitu panjang sebagai penyanyi?
(Saya) bersyukur, apalagi sebagai penyanyi. Apalagi, sekarang setelah melewati 60-an tahun (menyanyi). Semula (saya) akan mengadakan perayaan gede-gedean, 70 tahun sudah mengadakan (perayaan) gede, usia 80 tahun mau adakan lebih besar lagi.
Banyak penyanyi, seperti Vina Panduwinata, Trio Lestari, Iwa K, dan lainnya, dua bulan lalu mau menyelenggarakan pesta, tetapi saya malah kepikiran dengan kondisi saya kadang-kadang blank. Dokter bilang mungkin karena dulu saya sering pakai bantal terlalu tinggi. Belum tahu nanti rencana tanggal 29 November.
Setelah 60 tahun lebih di atas panggung, mau rayakan usia 80 tahun, tak ada yang lebih senang dari saya. Bersyukur kepada Tuhan, saya masih ada. Tahun ini, saya diundang menyanyi ke beberapa tempat di Indonesia.
April 2020 sudah ada yang minta saya nyanyi di Singapura. Ya, saya bersyukur, tetapi merasa kehilangan karena teman sebaya hampir tak ada lagi. Saya juga bersyukur karena tidak senasib teman sebaya yang mulai terkenal tahun 1960-1970, yang kini keadaannya sangat susah.
Saya bersyukur, apalagi punya keluarga yang menopang. Istri telaten, anak satu, dua cucu. Mereka selalu memberi semangat walau sekarang kalau nyanyi suka blank. Itu membuat kehilangan percaya diri, akhir-ini ini saya pakai catatan di panggung. Saya hafal, tetapi apa yang tak hafal ada di situ. Adanya catatan itu menambah kepercayaan saya.
Om Bob lahir dan besar di Surabaya, di awal berkarier, orangtua sempat melarang menyanyi? Apa betul seperti itu?
Bukan dilarang nyanyi, saya sering nyanyi sehingga waktu kuliah di Universitas Airlangga (dulu bernama Perguruan Tinggi Ekonomi Surabaya) lebih banyak bolos karena nyanyi. Papa lihat, waduh ini, kok, jalannya lain, ya. Akhirnya saya dipindah ke Bandung (Universitas Padjadjaran), kakak saya di situ.
Saya ikuti jejaknya, tambah gila nyanyi. Dibentuk agak lain, banyak jazz. Di Surabaya saya sudah nyanyi sama Bubi Chen, legenda jazz, dan dua kakaknya serta Didi Pattirane yang pindah ke Amerika Serikat.
Di Surabaya, saya Ambon Suroboyo, bondone nekad thok. Saya bangga asal Surabaya, kota buaya, kota pahlawan. Keterikatanku (pada Surabaya) keras karena mereka, kan, terbuka. Kowe kok elek (kamu kok jelek) tho, kowe ganteng. Tenan, orang enggak pernah ngarang. Mereka sombongkan, Bob itu arek Surabaya. Bagi saya itu kebanggaan, apalagi sekarang ada Risma (Wali Kota Surabaya). Saya bangga banget Surabaya begitu hebat. Kalinya bisa begitu…. Oh, saya sering ada acara di Surabaya, sepupu masih di sana.
Meski fasih berbahasa Inggris dan Belanda, lelaki berdarah Maluku yang lahir dan besar di Surabaya ini tidak pernah bisa meninggalkan logat Surabaya. Ketika mengatakan manis, misalnya, ia melafalkan dengan muaniss. Bagus jadi buaguss.
Sebenarnya mulai kapan Om Bob menyanyi?
Sejak SMP di SMP Petra Surabaya ada beberapa orang yang bisa main gitar, terompet, drum, lalu kita bikin band sekolah. Pertama untuk menunjukkan ada aktivitas nyanyi di sekolah. Kami nyanyi di HUT sekolah. Lumayan, nyanyi dapat duit, buat opa, kasih ke oma. Guru di SMP, apalagi SMA guru-guru bangga sama aku. Kadang-kadang masuk koran. Dulu ada pekan ekonomi internasional di Surabaya selama sebulan, ya setiap malam, tapi dapat duit.
Tiap kali Dudi Pattirane kasih uang, selalu bilang, Bob jangan bilang yang lain, kamu paling banyak. Sialan.. cuma segitu, jangan-jangan dia bilang yang sama kepada yang lain... ha-ha-ha.
Waktu saya di Bandung, sudah ada acara Jazz Goes to Kampus. Ketemu teman lama kayak Bubi Chen. Setelah itu, mulai kenal musisi lain, Bill Saragih. Lalu ketemu Enteng Tanamal yang mengajak rekaman pertama lagu Natal bersama Tanti Josepha.
Oh iya, waktu masih di Surabaya, band kami Bhineka Ria memenangkan festival band se-Surabaya, lalu menang lagi di Jawa Timur, lalu menang lagi festival se-Jawa yang diadakan di Lapangan Ikada (sekarang Monas).
Kami menang, mendapat hadiah dari panglima (ABRI), tiket pesawat ke Ambon, dan rekaman di perusahaan rekaman Mirama, perusahaan rekaman yang lebih tua dari Remaco. Waktu itu semua penyanyi lama rekaman di Remaco.
Setelah itu (nama Bob) mulai naik, nyanyi di Hong Kong, di Singapura setahun. Kemudian mulai lepas (dari band), karena nyanyi untuk rekaman. Tahun 1966 sampai 1968, (saya) mulai top lewat lagu berjudul ”Lidah Tak bertulang” dan ”Mengapa Tiada Maaf”.
Akhirnya menjadi penyanyi kesayangan siaran ABRI (sekarang TNI). Saya tiga kali mendapat penghargaan dari ABRI, tetapi pada tahun 1968 saya tak ambil hadiahnya karena saya sudah pindah ke Amerika Serikat.
Diam-diam papa yang tadinya keras sama saya berubah bangga, ahaii... (seru Bob dengan gaya khasnya). Aku Cuma lihat, iih ok deh papa. Papa saya, kan, anggota TNI AL zaman Belanda yang sangat disiplin. Kalau jam 6, ya, harus jam 6. Telat semenit, papa main gebuk saja.
Salah satu sikap kehidupan, ini buahnya. Dia katakan, kalau hidup kamu sebagai seorang entertainment, jangan hasil dari hidup kamu hamburkan. Dia bilang beli tanah. Orangtua bersikap keras ada baiknya. Zaman sekarang mana boleh pukul. Saya sama anak saya enggak pernah pukul, tetapi saya kena pukul tiga kali.
Ayah Bob, Adolf Laurens Tutupoly, memperlakukan anak-anaknya dengan keras. Lucunya, ia kena pukul bukan karena menyanyi, melainkan karena berkelahi dengan abangnya. Perkelahian Bob dengan abangnya mengakibatkan kaca di rumah pecah. Tanpa bertanya, ayahnya mengambil rotan lalu langsung memukul Bob yang sedang tidur, dengan rotan itu.
Dalam kondisi hanya memakai celana dalam, ia lari ke pasar, lalu tidur di pasar, dekat rumah opa-omanya. Pagi harinya, sang opa mengajaknya pulang untuk menemui ayah Bob. Di rumah orangtua Bob, si opa mengamuk ke ayah Bob.
Pengalaman kena pukul ayahnya ia ceritakan di sela wawancara. Namun, meski ayahnya sangat keras, Bob menyatakan sangat berterima kasih bisa belajar dari sikap dan nasihat ayahnya.
Bob, anak kedua dari lima bersaudara keluarga Adolf Tutupoly-Elisabeth Wilhemmina Henket-Sahusilawan, ternyata sejak kanak-kanak sudah menampakkan bakat menyanyinya. Suatu ketika, neneknya yang tinggal di Surabaya (Bob waktu TK bersama ibu dan kakaknya pernah tinggal di Yogyakarta untuk mengikuti tugas ayahnya yang menjadi salah satu pengawal Bung Karno) mendengar Bob menyanyi dari sebuah radio. Omanya berkata kepada Bob, ”Kamu dilahirkan membawa berita baik. Teruslah menyanyi.”
Jadi menyanyi buat Om Bob sudah seperti takdir?
Iya, saya merasa membawa kesenangan. Itulah yang membuat kita semangat sehingga kalau penerimaannya (penonton) lesu, waduh tak ada kegembiraan. Kadang ada, tetapi ini di Medan, wah paling bangga.
Saya dan Dara Puspita tahun 1967 ke Medan. Orang Medan kalau enggak senang, teriaak turuuun, kalau seneng tambohh. Saya belum begitu dikenal waktu itu. Saya baru mulai nyanyi, mereka bilang turuun, tapi sembari nyanyi saya bilang st st.... Selesai menyanyi saya bilang, Tuhan terima kasih, tapi kemudian penonton berteriak, tamboahh.
Apakah itu momen yang paling berkesan dalam perjalanan karier Om Bob sebagai penyanyi?
Ya, sangat berkesan. Jangan ditanya lagunya apa.. lupa. Itu kemenangan nyata, tak dibayar pun saya mau. Rasanya saya dihargai sampai saya semangat saya minta ampun. Kalau perlu saya suruh bayar pun mau ha-ha.
Peristiwa yang menyulut semangat Bob itu terjadi jauh sebelum namanya melambung lewat lagu ”Widuri” yang ia nyanyikan setelah pulang dari AS. Pada awal tahun 1969, Bob berangkat ke AS. Ia tinggal di Los Angeles dua tahun lalu di New York hampir lima tahun.
Di negeri Paman Sam, Bob mendapat tugas dari Ibnu Sutowo (dulu Direktur Utama PT Pertamina) untuk memegang restoran Ramayana New York. Pada jam kerja, ia menjadi humas (purel) restoran itu, malamnya ia menyanyi. Ia bekerja sejak pagi, siang, hingga malam hari. Pada akhir tahun 1976, ia pulang ke Indonesia karena akan menikah dengan Rosmayasuti Nasution yang akrab dengan panggilan Yosie.
Rencana pernikahan itu ternyata tidak mulus. Pasangan berbeda keyakinan itu mendapat tentangan dari keluarga Yosie. Akhirnya Bob menikah dengan Yosie, si Nona Jakarta tahun 1972, pada 1977. Dari pernikahan itu, Bob dan Yosie mendapat satu puteri, Sasha Karina Tutupoly.
Pernikahan selama 42 tahun itu lama sekali dan tetap rukun walau dalam perbedaan. Bagaimana cara menjaga relasi itu?
Itu karena saya mencintai dia seadanya dia. Kami tak pernah cekcok. Saya tak akan mencoba memengaruhi dia, kecuali baik buruknya saya kasih tahu. Ma, jangan begitu. Saya tak pernah coba mengkristenkan dia. Dia juga begitu, walau dia shalat lima kali sehari…. She’ s all mine, setia. Kami kayak berteman. Kami juga sepakat tak memengaruhi anak, biar dia pilih sendiri agamanya saat ia dewasa (usia 17 tahun). Dia juga pernah bekerja selama 30 tahun di PT Badak.
Keluarga yang semula tak setuju berubah sikap setelah melihat rumah kami menjadi tempat pertemuan saudara-saudara Muslim dan juga ada koor dari keluarga yang Kristiani. Dia sangat care. Sekarang rambutnya putih, dia cepet (punya rambut putih), ya, biarin. Cantik banget… dulu rambutnya enggak menonjol, sekarang tampak lebih cantik, mukanya kayak emaknya 100 persen. Mereka keluarga dari Banten (Saat Bob mengucapkan kata itu, tiba-tiba Yosie berteriak, papa panggil saya? Bob menjawab, tidak Ma. Hati-hati sayang).
We’re happy family. Anak saya juga sepakat sama ibunya punya kewajiban Islami yang dia ikuti. Kadang-kadang dia bilang ke ibunya, Ma sudah jam segini Ma. Istri saya sekarang shalat sambil duduk karena sudah sulit melakukan gerakan sambil duduk di bawah. Jadi, begitulah, tak ada persoalan dan karena saya bertanggung jawab. Kami berdua akhirnya jadi contoh di keluarga besar masing-masing.
Tak dimungkiri, meski nama Bob Tutupoly sudah dikenal masyarakat secara luas sejak tahun 1970-an, karier menyanyinya melesat setelah ia menyanyikan lagu berjudul ”Widuri” karya Adriadi. Tentang lagu yang ia sebut punya keajaiban itu, Bob punya cerita unik.
Lagu ”Widuri” membuat nama Om Bob amat terkenal. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Bicara tentang ”Widuri” itu keajaiban. Tahun 1977-an, saya mau rekaman. (Musisi) Is Haryanto, (musisi) A Riyanto sudah mengisi album itu kecuali satu. Ya sudah 11 lagu saja (zaman itu sebuah album berisi 12 lagu).
Eh, ada orang datang dari Jawa Tengah, lugu. Di bilang ke kami, Om bisa nyanyikan lagu saya. Saya jawab, wah sudah banyak nih, Dik. Dari belakang, dua orang itu berbisik (lagunya) jelek. Saya enggak suka mereka ngomong begitu. Langsung saya ambil lagunya dan berkata, jangan begitu, beri kesempatan.
Dia lalu nyanyi pakai gitar, jelek banget. Benar juga (kata dua musisi tadi). Akhirnya lagu itu diolah menjadi seperti sekarang. Saya sebenarnya lebih harapkan lagu (nomor satu di album) itu yang berjudul ”Kerinduan”. Yang lagunya seperti ini.... (Bob lalu menyanyikan penggalan lirik lagu itu: di dalam hatiku menangis…). Tapi bos (perusahaan rekaman) maunya ”Widuri” di lagu nomor satu, ya sudah ditaruh di lagu pertama.
Itu belum pernah terjadi, bisa di cek, dalam satu tangga lagu-lagu, ”Widuri” nomor satu, ”Kerinduan” nomor dua, karena dua lagu dibuat dalam tahun yang sama, keluaran tahun yang sama. Saya seperti ditaruh pada waktu dan tempat yang pas.
”Widuri” lalu terkenal di negara-negara di ASEAN dan menjadi andalan saya. Orang Filipina, Thailand, Korea semua tahu lagu itu. Pencipta lagunya namanya Adriadi sekarang (hidupnya) juga lumayan. Dia mengakui kalau enggak ada Om Bob, saya enggak jadi…. Saya pun demikian. Kalau enggak ada ”Widuri” enggak afdol. Setelah rekaman ”Widuri”, nama saya meledak. Unbelieveable, itu sudah diatur. Sampai sekarang di mana pun berada, di dalam maupun di dalam negeri, orang selalu minta saya menyanyikan lagu itu.
Ketenaran masih di tangan, punya keluarga bahagia dengan kehidupan amat cukup, bahkan bisa membantu sesama penyanyi yang berkesusahan. Apalagi yang Om inginkan?
Kalau Tuhan izinkan saya boleh tambah usia lagi, saya pengin lihat cucu saya punya pacar. Yang besar usianya 10 tahun sekarang. Yaah ketika dia usia 15 tahunlah... (Bob memang sangat sayang kepada dua cucunya yang juga bangga kepada kakeknya).