Masalah keterbatasan air perlu diatasi dengan penggunaan sesuai kebutuhan. Namun, hal itu semakin sulit dilakukan. Akses dan distribusi air yang merata sekarang telah terikat dalam sistem ekonomi, politik, dan budaya.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
Perubahan iklim dan pertumbuhan populasi menambah tekanan pada persediaan air yang terbatas di Bumi. Berbagai laporan kekurangan air yang semakin memburuk bermunculan, mulai dari Timur Tengah, Asia, hingga Amerika Latin. Sejumlah negara mengimbau penghematan air.
Di Afrika Selatan, pemerintah mendesak warga membatasi penggunaan air karena persediaan waduk turun dan curah hujan tidak memadai hingga Desember 2019. Lebih dari 60 persen suplai air di negara ini habis digunakan untuk agrikultur. Perubahan iklim juga menyebabkan musim kemarau menjadi lebih panas dan kering.
Di Chile, pemerintah mengumumkan kekurangan air di lebih dari 50 komunitas pada September 2019. Kekurangan air dan kekeringan semakin intens. Volume air sungai dan waduk menurun, volume salju di pegunungan berkurang, serta curah hujan sedikit.
Sementara itu, ketegangan di tingkat regional tentang ketersediaan air juga terjadi. Pemerintah Mesir menyuarakan keberatan atas pembangunan bendungan oleh Etiopia di Sungai Nil pada Oktober 2019. Bendungan itu dikhawatirkan akan mengurangi pasokan air mengingat 90 persen air bersih Mesir berasal dari Sungai Nil.
”Semua krisis lokal di seluruh dunia sedang membentuk krisis global,” kata Direktur Eksekutif Institut Air Internasional Stockholm Torgny Holmgren dalam konferensi yang digelar Chatham House, London, Senin (18/11/2019).
Sebuah penelitian dalam jurnal Global Environmental Change menemukan, kekeringan parah telah memperburuk konflik di negara-negara Arab pada awal dekade ini. Kondisi ini memaksa orang untuk melarikan diri. Masalah yang sama juga terjadi di Suriah sehingga memperburuk ketegangan sosial dan politik di negara ini.
World Resources Institute menyebutkan, negara-negara paling kering di dunia semuanya berada di Timur Tengah dan Afrika Utara. Qatar menjadi negara yang paling kekurangan air, diikuti Israel dan Lebanon.
Menurut Economist Intelligence Unit, permintaan dunia akan air terus tumbuh, yakni sekitar 1 persen per tahun. Berdasarkan proyeksi saat ini, permintaan dunia terhadap air akan terus meningkat pada tingkat yang sama hingga tahun 2050.
Jika terwujud, hasilnya dapat sangat mencemaskan. Sebanyak 52 persen populasi dunia kemungkinan akan tinggal di daerah yang kekurangan air, 45 persen produk domestik bruto (PDB) dunia akan terancam, dan 40 persen produk bahan baku pangan bisa gagal panen.
Keterbatasan pasokan air global akan mengancam agrikultur, industri, energi, konsumsi, dan sanitasi di seluruh dunia. Tidak ketinggalan, ketegangan ini juga akan memicu konflik di dalam negeri dan lintas negara.
Menurut Economist Intelligence Unit, lebih dari setengah populasi dunia kemungkinan akan tinggal di daerah yang kekurangan air pada 2050.
Terikat ekonomi-politik
Masalah keterbatasan air perlu diatasi dengan penggunaan yang hemat dan sesuai kebutuhan. Sayangnya, hal itu pun sulit untuk dilakukan. Akses dan distribusi air yang merata sekarang telah terikat dalam sistem ekonomi, politik, dan budaya yang rumit.
Craig Davies, Kepala Investasi Ketahanan Iklim Bank Eropa untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (EBRD), mengatakan, di Uzbekistan, pemerintah membangun ekspor untuk komoditas kapas. Sesuatu yang tidak masuk akal karena air langka. Namun, sulit bagi pemerintah mengoordinasikan masalah tersebut tanpa membuat petani dan pengusaha marah ataupun ekonomi terganggu.
Di banyak negara Islam, lanjutnya, air dipandang sebagai hak asasi manusia dan anugerah dari Tuhan. Dengan demikian, pemerintah kesulitan untuk membebankan biaya layanan air lebih kepada masyarakat.
”Di beberapa tempat kami beroperasi, biaya yang dibayar pelanggan jauh di bawah biaya operasional sehingga terlalu sedikit dana untuk berinvestasi dalam mengolah, menyalurkan, dan memperluas jaringan air. Jika Anda tidak membayar harga yang rasional untuk air, orang menggunakan air secara tidak rasional,” ujar Davies.
Di tengah peliknya masalah stok dan pembagian air yang berkelanjutan, tantangan baru muncul. Permintaan air mulai melonjak di kota-kota yang baru tumbuh, dengan lebih dari setengah penduduk dunia tinggal saat ini.
”Tiga dari empat pekerjaan secara global bergantung pada air, termasuk petani yang menghasilkan 80 persen makanan dunia. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memperkirakan permintaan pangan secara global akan naik 50 persen pada 2050, tetapi kita tidak memiliki 50 persen air lebih banyak untuk dialokasikan ke agrikultur,” tutur Wakil Ketua UN-Water Olcay Unver.
Masalah kelangkaan air yang terus meningkat memicu satu pertanyaan besar. Apakah hal ini dapat memicu terjadinya perang memperebutkan air?
”Situasi itu kemungkinan tidak akan mendorong perang. Tetapi, malah akan mengarah pada kerja sama yang tidak adil,” kata Profesor Geografi di King’s College London Daanish Mustafa.
Mustafa melanjutkan, hal itu artinya perjanjian berbagi air lintas batasan akan menjadi tidak adil. Pihak yang lebih kuat akan memperoleh kesepakatan yang lebih baik.
Saat ini saja, akses terhadap air sudah tidak berkeadilan. Penduduk di Amerika Serikat menggunakan air sebanyak 700-900 liter per hari dan Eropa sebanyak 200 liter per hari. Sementara di pelosok dunia lain yang tidak mampu hanya mampu menggunakan 10-15 liter air per hari.
Upaya untuk mendapatkan air yang cukup untuk semua orang sangat sulit. Perubahan iklim membuat hujan tidak menentu. Ada wilayah yang terkena banjir, ada juga yang kering kerontang. Namun, beberapa negara memiliki cara-cara inovatif untuk melindungi atau memperluas pasokan air.
Beberapa negara memiliki cara-cara inovatif untuk melindungi atau memperluas pasokan air.
Peneliti senior Chatham House, Gareth Price, menyampaikan, di Gujarat, India, sebagian besar hujan tahun ini datang pada musimnya meskipun cepat menguap. Namun, beberapa petani mengumpulkan sisa jerami setelah panen dan menumpuknya di ladang untuk menyerap kelebihan air ke tanah.
”Inovasi tersebut juga membantu mengurangi pembakaran lahan yang menjadi sumber utama polusi. Strategi ini telah memenangkan pendanaan Bank Dunia untuk diperluas,” tutur Price.
Direktur Badan Pengatur Air Brasil Paulo Salles menambahkan, di Brasil, petani dan peternak menanam lebih banyak pohon di sepanjang sungai untuk melindungi pasokan air. Mereka dibayar oleh pengguna air yang berada di hilir.
Sudah saatnya warga dunia diingatkan, penggunaan air dengan bijaksana adalah sebuah kewajiban. Pemangku kepentingan pun perlu berkolaborasi untuk membuat tata kelola air global yang berkelanjutan. Bukankah kita sudah tidak perlu diingatkan bahwa air adalah sumber kehidupan? (REUTERS/AP/AFP)