Menteri Agama: PNS Jangan Menjadi Musuh Dalam Selimut
Menteri Agama Fachrul Razi menekankan agar PNS tidak tertular sifat-sifat radikal negatif dan menjadi musuh dalam selimut bagi negara yang membayarnya.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Menteri Agama Fachrul Razi berharap pegawai negeri sipil menjadi garda terdepan untuk meningkatkan wawasan kebangsaan dan melakukan deradikalisasi. Ia kembali menekankan agar PNS tidak tertular sifat-sifat radikal negatif dan menjadi musuh dalam selimut bagi negara yang membayarnya.
Hal itu dikatakan oleh Menteri Agama Fachrul Razi saat memberikan kuliah tamu bertema ”Meneguhkan Nilai-nilai Agama dan Kebangsaan dalam Menangkal Radikalisme Menuju Indonesia Maju”, Kamis (21/11/2019), di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, Jawa Timur. Hadir dalam kuliah umum tersebut para mahasiswa dalam dan luar negeri, ulama, serta dosen.
Dalam kesempatan itu, di hadapan para peserta kuliah umum, Fachrul Razi menyoroti mengenai peran PNS dan kritiknya terhadap PNS. PNS seharusnya menjadi garda terdepan untuk meningkatkan wawasan kebangsaan dan melakukan deradikalisasi. PNS tidak diperbolehkan memiliki sikap radikal negatif. ”Buat apa jadi PNS kalau merusak negara. Buat apa menggaji PNS kalau dia menjadi musuh dalam selimut negara itu,” katanya disambut tepuk tangan hadirin.
Buat apa menggaji PNS kalau dia menjadi musuh dalam selimut negara itu.
Saat ini, menurut Fachrul Razi, di setiap kementerian sedang membentuk satgas seiring terbitnya surat keputusan bersama (SKB) 11 menteri tentang penanganan radikalisme. Satgas itu akan menampung laporan-laporan tentang tindak radikalisme. PNS yang terpapar akan dinasihati. Jika membandel, akan diberi sanksi. Satgas pun akan mewawancara calon PNS.
Bertindak tegas pada orang radikal negatif, menurut Fachrul Razi, adalah keadilan. ”Orang mungkin melihatnya seolah-olah jahat. Namun, itu bukan jahat. Itu adil. Adil adalah yang salah dihukum dan yang baik dikasih reward,” katanya.
Ancaman nyata
Dalam kesempatan itu, Fachrul Razi mengingatkan bahwa ancaman radikalisme itu nyata. Menurut dia, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sedang menghadapi ujian dari pihak-pihak yang ingin menggantinya dengan bentuk lain.
Fachrul Razi mengingatkan, unsur radikalisme itu antara lain intoleran dengan orang lain yang berbeda, memiliki konsep takfiri atau mengafirkan orang lain di luar kelompoknya, memaksakan kehendak dengan dalil, dan menggunakan cara-cara kekerasan, baik verbal maupun fisik, untuk mencapai keinginan.
Menurut Menag, ada tiga cara menangkal radikalisme dan ekstremisme. Pertama, meningkatkan pemahaman masyarakat dengan pendidikan dan penguatan pendidikan Islam. Semakin luas wawasan, orang semakin bijak. Sehubungan dengan ini, kurikulum pendidikan harus bersih dari pelajaran yang mendorong ekstremisme. ”Di kementerian masih terus dilakukan seleksi ketat hal itu dan ditemukan bahan-bahan seperti itu. Ini berbahaya dan bisa membuat orang jadi radikal,” katanya.
Cara kedua, mengarusutamakan moderasi beragama. Cara beragama, menurut dia, perlu dimoderasi karena dinamika keagamaan yang terus berubah. Meski seseorang harus kokoh dalam beragama, di sisi lain, tetap harus memberi ruang pada keyakinan orang lain.
Adapun cara ketiga dengan menginternalisasi nilai empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. ”Umat Islam harus berperan penting dalam membangun kebersamaan ini karena jumlahnya besar,” katanya.
Adapun kriteria radikal, menurut Fachrul Razi, adalah orang yang merasa paling benar dan intoleran; menggunakan berbagai cara, bahkan memanipulasi agama, termasuk menjustifikasi perilaku kriminalnya dengan menggunakan ayat suci; menggunakan cara-cara kekerasan, baik verbal maupun tindakan; serta tidak segan berujar benci kepada orang lain. ”Menghadapi orang seperti itu, kita harus tegas. Tegas tidak selalu berarti keras,” katanya.
Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur Marzuki Musmatar mengatakan bahwa apa yang disampaikan Menag itu sesuai dengan kehendak kiai. ”Kiai menjalankan dua amanah, yaitu menjaga negara dan jaga agama. Menjaga agama, tetapi negaranya kacau, maka tidak bisa beragama. Menjaga negara sampai makmur aman saja, tetapi tidak ada agama, maka tidak barokah,” katanya.
Siapa pun pejabat yang komitmen pada dua hal itu, tambah Marzuki, otomatis satu visi misi dengan NU. NU, tambahnya, mendukung dan mendoakan semua kebijakan yang mengamankan negara karena jika negara aman, semua bisa bekerja dengan baik.
Marzuki pun setuju bahwa materi pendidikan keagamaan di sekolah harus ilmiah. Agar ilmiah, ia berharap hal itu diserahkan kepada ahlinya. ”Kiai-kiai pondok atau doktor profesor yang pernah di pondok atau punya latar belakang pondok bisa dilibatkan. Banyak doktor yang punya latar belakang akademis dan pondok. Untuk menyusun buku ajar butuh peran mereka yang punya latar belakang akademisi dan pesantren,” katanya.