Tol Trans-Sumatera dibangun untuk memacu pertumbuhan ekonomi karena ruang pertumbuhan masih sangat besar. Tol tersebut diharapkan jadi tulang punggung koridor ekonomi sekaligus membuka potensi ekonomi baru di Sumatera.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
Ruas Tol Terbanggi Besar-Pematang Panggang-Kayu Agung sepanjang 189 kilometer diresmikan pengoperasiannya pada Jumat (15/11/2019). Tol tersebut merupakan kelanjutan dari Tol Bakauheni-Terbanggi Besar sepanjang 141 kilometer yang telah beroperasi pada Maret. Kini, Lampung dengan Sumatera Selatan telah tersambung jalan tol.
Empat tahun lalu wujud tol ini belum ada. Berbeda dengan sebagian besar ruas Tol Trans-Jawa, Tol Trans-Sumatera pada dasarnya tidak layak secara finansial.
Oleh karena itu, alih-alih dibangun dengan skema investasi, pembangunan Tol Trans-Sumatera dilakukan skema penugasan kepada BUMN, yang sahamnya 100 persen dimiliki pemerintah, yakni PT Hutama Karya (Persero).
Bahkan, pembangunan sebagian ruas Tol Terbanggi Besar-Pematang Panggang-Kayu Agung dilakukan dengan skema subsidi silang oleh BUMN yang mendapat konsesi pembangunan ruas Tol Trans-Jawa. Sebab, tingkat pengembalian investasi ruas tol di Pulau Jawa cukup tinggi.
Jika dicermati lebih lanjut, proyeksi jumlah kendaraan yang lewat paling tinggi 18.864 unit per hari. Jumlah itu bukan lalu lintas harian di keseluruhan ruas tol mulai Bakauheni sampai Kayu Agung, melainkan hanya di antara ruas Bakauheni dan Terbanggi Besar, terutama di dekat Kota Lampung. Sementara di Terbanggi Besar-Pematang Panggang-Kayu Agung, proyeksi kendaraan yang lewat adalah 6.149 unit per hari pada 2019.
Meskipun lalu lintas harian yang rendah berbanding lurus dengan tingkat pengembalian investasi, Tol Trans-Sumatera tetap dibangun. Tol dibangun untuk memicu pertumbuhan ekonomi baru di sepanjang koridornya. Hal itu sedikit berbeda dengan pembangunan Tol Trans-Jawa.
Tol dibangun untuk memicu pertumbuhan ekonomi baru di sepanjang koridornya.
Sebab, sekitar 150,4 juta jiwa atau 56 persen dari total 266,91 juta jiwa penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa. Sementara dari 63 kawasan industri yang beroperasi di Indonesia, sebanyak 44 kawasan industri di antaranya ada di Pulau Jawa. Adapun 19 kawasan lainnya di luar Jawa.
Oleh karena itu, jalan tol di Jawa diperlukan karena kebutuhan infrastruktur untuk mendukung mobilitas orang maupun logistik sangat tinggi. Jika tidak dibangun, pertumbuhan ekonomi akan terhambat. Keberadaan Tol Trans-Jawa mengefisienkan perekonomian yang sudah berjalan. Bahkan, bisa menumbuhkan pusat-pusat ekonomi baru.
Sementara Tol Trans-Sumatera dibangun untuk memacu pertumbuhan ekonomi karena ruang pertumbuhan masih sangat besar. Sebagian besar ekonomi di Sumatera berbasis sumber daya alam, perkebunan, dan pertanian. Oleh karena itu, pengembangan industri hilir berbasis produk perkebunan atau pertanian setempat menjadi terbuka karena akses untuk pengangkutan semakin mudah dan cepat.
Menurut pemerintah, Tol Trans-Sumatera antara Bakauheni dan Kayu Agung tersebut secara khusus akan mendukung pengembangan Kawasan Indralaya Midtown, Waterfront City Bakauheni, dan Pelabuhan Panjang di Lampung. Selain itu, tol tersebut juga akan mendukung pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Api Api di Kabupaten Banyu Asin.
Tol Trans-Sumatera belum seluruhnya terbangun. Pemerintah telah menargetkan tol antara Bakauheni dan Aceh akan tersambung pada 2024 dengan panjang keseluruhan 2.000 km. Tol tersebut diharapkan menjadi tulang punggung koridor ekonomi sekaligus membuka potensi ekonomi baru di Sumatera.
Untuk itu, diperlukan perencanaan yang matang dan berkesinambungan agar infrastruktur yang tersedia berdampak maksimal.