Kejaksaan Agung Tangkap Buronan Terpidana Korupsi, Perampasan Aset Kian Diutamakan
Kejaksaan Agung menangkap seorang terpidana korupsi, Atto Sakmiwata Sampetoding, yang kabur sejak lima tahun lalu. Managing Director PT Kolaka Mining International itu diminta mengembalikan uang pengganti Rp 24,1 miliar.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
KOMPAS/INSAN ALFAJRI
Terpidana korupsi Atto Sakmiwata Sampetoding, yang sebelumnya buron, memasuki Kompleks Kejaksaan Agung, Kamis (21/11/2019), di Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung menangkap seorang terpidana korupsi, Atto Sakmiwata Sampetoding, yang kabur sejak lima tahun lalu. Kejaksaan Agung juga akan meminta Atto mengganti uang kerugian negara itu.
Atto merupakan Managing Director PT Kolaka Mining International. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 199/K/Pid.Sus/2014, Atto terbukti melakukan tindakan korupsi dalam jual beli nikel kadar rendah antara Pemerintah Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, dan PT Kolaka Mining International.
Tindakan Atto itu merugikan negara Rp 24 miliar. Selain menjatuhkan pidana penjara selama 5 tahun, majelis hakim yang diketuai M Zaharuddin Utama juga menghukum Atto dengan membayar uang pengganti sebesar Rp 24,1 miliar. Sebelumnya, Atto divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Kendari.
Sekretaris Jaksa Agung Muda Intelijen Sunarta, Kamis (21/11/2019), mengatakan, Atto ditangkap sehari sebelumnya di Kuala Lumpur, Malaysia. Keberadaan Atto diketahui setelah otoritas Malaysia menolak kedatangan Atto ke wilayah itu.
”Berkoordinasi dengan Atase Imigrasi, Atase KBRI Kuala Lumpur, dan otoritas yang berwenang di Malaysia, Atto bisa diserahkan ke tim Kejaksaan Agung untuk dipulangkan ke Indonesia,Kolaka Mining Internasional katanya.
Menurut Sunarta, Kejaksaan Agung juga akan meminta Atto mengembalikan kerugian negara. Proses perampasan barang bukti untuk mengeksekusi uang pengganti terpidana memang belum.
”Ini akan menjadi urusan teknis dari tim tindak pidana khusus. Hari ini, ia akan dijemput oleh Pengadilan Kendari,” ujarnya.
Kejaksaan Agung mencatat, Atto merupakan buronan ke-153 yang ditangkap selama tahun 2019. Sejak program Tangkap Buronan 32.1 dibentuk tahun 2018, Kejaksaan Agung sudah menangkap 360 terpidana buron.
Melalui program Tangkap Buronan 32.1, lanjut Sunarta, tiap kejaksaan tinggi ditargetkan menangkap satu buronan setiap bulan. Kasus terpidana buron tersebut terdiri dari kasus korupsi dan pidana umum.
Melalui program Tangkap Buronan 32.1, tiap kejaksaan tinggi ditargetkan menangkap satu buronan setiap bulan. Kasus terpidana buron tersebut terdiri dari kasus korupsi dan pidana umum.
KOMPAS/INSAN ALFAJRI
Sekretaris Jaksa Agung Muda Intelijen Sunarta (tengah) menerangkan tentang penangkapan terpidana korupsi yang buron lima tahun, Kamis (21/11/2019), di Jakarta.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Mukri menyatakan, sebulan setelah seseorang dijatuhi hukuman uang pengganti, aset-aset miliknya sebenarnya sudah harus disita. Kendati demikian, ia belum mengetahui informasi lebih lanjut mengapa eksekusi uang pengganti Atto belum terlaksana. Sebab, hal itu menjadi kewenangan jaksa eksekutor.
”Dalam konteks pemberantasan korupsi, selain memenjarakan pelaku, kejaksaan juga fokus mengutamakan pengembalian uang negara,” katanya.
Pada Jumat (15/11/2019), Kejaksaan Agung mengeksekusi uang pengganti Rp 477,359 miliar dari terpidana perkara korupsi pengadaan batubara, Kokos Leo Lim. Dari data Kejaksaan Agung, capaian uang pengganti yang diterima pada tahun ini hingga Juni 2019 sebesar Rp 82,34 miliar.
Dengan tambahan eksekusi Rp 477,359 miliar, capaian kinerja Kejaksaan Agung terkait eksekusi uang pengganti tercatat paling tinggi sejak 2017. Pada 2018, total uang pengganti yang dieksekusi Rp 56,35 miliar, sedangkan pada 2017 mencapai Rp 173 miliar (Kompas, 16/11/2019).
Dihubungi terpisah, pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, menyatakan, uang pengganti semestinya menjadi orientasi pemidanaan semua kasus yang berkaitan dengan ekonomi, seperti korupsi dan pencucian uang.
Gugatan perdata juga dapat diajukan jika terdakwa tidak mau membayar secara sukarela. Hal ini sesuai dengan Pasal 274 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
”Jadi, Jaksa Agung dapat menggunakan seluruh upaya yuridis maupun sosiologis sekalipun (lobi, musyawarah) untuk mengejar uang pengganti. Asalkan, aparat penegak hukum juga dibersihkan dari sifat koruptifnya,” kata Abdul Fickar.