Wagub Sultra Klaim Tanda Tangannya Dipalsukan untuk Perda Bodong
Dalam salinan dokumennya, Perda Kabupaten Konawe Nomor 7/2011 ditandatangani oleh Lukman Abunawas sebagai Bupati Konawe dan Irawan Laliasa sebagai Sekretaris Daerah. Perda ditetapkan pada 21 November 2011.
Oleh
Harry Susilo, Kelvin Hianusa, Benediktus Krisna Yogatama, Saiful Rijal Yunus
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara Lukman Abunawas mengklaim tanda tangannya dipalsukan dalam Peraturan Daerah Nomor 7 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Perda Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pembentukan dan Pendefinitifan Desa-desa dalam Wilayah Kabupaten Konawe. Perda yang dinyatakan cacat hukum oleh Kemendagri itu menjadi dasar pembentukan 56 desa di Kabupaten Konawe yang kemudian bermasalah administrasinya dalam penyaluran dana desa.
Dalam salinan dokumennya, Perda Kabupaten Konawe Nomor 7/2011 ditandatangani Lukman Abunawas sebagai Bupati Konawe dan Irawan Laliasa sebagai Sekretaris Daerah. Perda ditetapkan pada 21 November 2011 dan diundangkan di Unaaha pada 23 November 2011.
Lukman mengaku tidak pernah menandatangani Perda Nomor 7/2011. ”Tidak pernah (tanda tangan). Nanti teliti saja,” ujarnya saat ditemui dalam sebuah acara peresmian kantor cabang bank di Kendari, Rabu (20/11/2019).
Menurut dia, tanda tangannya bisa saja dipalsukan. Ia pun merasa dirugikan karena perda bodong itu dijadikan dasar hukum pembentukan 56 desa bermasalah di Kabupaten Konawe, yang kini diselidiki Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara karena penyaluran dana desanya dinilai bermasalah.
”Cek dulu. Tanda tangan itu bisa ditiru atau tidak. Setiap orang bisa menandatanginya,” ujar Lukman.
Bupati Konawe periode 2008-2013 ini menduga perda bodong itu dibuat pada 2015. Padahal, saat itu dia sudah menjabat sebagai Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara. Oknum pelaku memalsukan tanda tangannya sehingga seakan-akan perda itu dibuat pada 2011 saat dirinya masih menjabat sebagai Bupati Konawe.
”Saya, kan, pada 2011 masih bupati. Tetapi, mereka bikin itu 2015. Oknum itu nakal,” ujar Lukman.
Ia juga meminta aparat penegak hukum dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melakukan investigasi siapa otak di balik pembuatan perda cacat hukum itu. ”Silakan aparat dan Kemendagri menelusuri siapa yang salah. Yang salah siapa? Siapa yang menggunakan dana itu setelah saya tidak bupati lagi?” Ujar Lukman.
Bermasalah
Sebelumnya, pada Senin (18/11/2019), Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kemendagri Nata Irawan mengatakan, Perda Nomor 7/2011 tidak sah. ”Kami sepakat bahwa perda yang ditetapkan oleh bupati itu cacat hukum. Berdasarkan keterangan yang kami terima, (perda) itu memang tidak melalui mekanisme DPRD,” ujar Nata.
Melalui perda itu, sebanyak 56 desa yang tercatat di dalam perda pun memperoleh dana desa. Menurut Nata, sejak 2017 sampai 2019, total 56 desa di Konawe menerima dana desa total senilai Rp 113,3 miliar.
Sebelumnya, Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Febri Diansyah mengatakan, perda itu diduga dibuat dengan tanggal mundur. Sebab, pada 2012, Kemendagri memutuskan untuk moratorium pembentukan desa baru ataupun pemekaran desa.
Adapun motif pembuatan perda bodong agar muncul 56 desa baru untuk memperoleh kucuran dana desa.
”SK pembentukannya dibuat dengan tanggal mundur, sementara pada saat desa tersebut dibentuk sudah ada moratorium dari Kemendagri sehingga untuk mendapatkan dana desa haru dibuat tanggal pembentukan backdate,” ujar Febri.