Nyala obor di sisi jalan menuntun langkah kaki ratusan orang menuju Kampung Tuni, Pulau Ambon, Maluku. Malam itu, Minggu (10/11/2019). Dari sana, Indonesia dibawa mendunia.
Oleh
Frans Pati Herin
·4 menit baca
Nyala obor yang ditancapkan di sisi jalan menuntun langkah kaki menuju Tuni, sebuah perkampungan di bawah puncak Gunung Sirimau, Pulau Ambon, Maluku. Malam itu, Minggu (10/11/2019), ratusan orang dari berbagai penjuru Kota Ambon datang menyaksikan kolaborasi musik dan teater digelar di sana.
Sembari ditiup angin pegunungan, satu per satu penonton mengisi bangku bambu Panjang. Bangku itu ditanam bersusun pada sebuah tebing menyerupai tribune. Penonton duduk menghadap ke bawah, fokus ke tempat pementasan. Tata letak itu lebih kurang menyerupai desain dalam ruang pertunjukan lazimnya. Bedanya, desain ini dibuat di alam terbuka.
Ruang pertunjukan dengan lantai tanah dan beratap langit itu bernama Ihuroang Amphiteater, dibangun di pekarangan rumah Maynard Raynolds Nathanael Alfons. Rence, sapaan akrabnya, merupakan legenda hidup yang kini menjaga roh musik suling bambu di Maluku. Ia pendiri, pemimpin, sekaligus konduktor grup Molucca Bamboo Wind Orchestra yang akan tampil dalam pertunjukan malam itu.
Ratusan penonton yang mengisi tribune itu seperti tak sabar menanti hingga sorot lampu ke arah mereka dimatikan. Hening pun tiba. Seorang pria berambut gondrong keriting muncul dari balik deretan pemain suling bambu. Diiringi tiupan suling, pria itu mengucapkan sinopsis kelaborasi dengan nada puitis. Dialah sastrawan Maluku, Josep Matheus Rudolf Fofid, yang biasa disapa Opa Rudi.
Kolaborasi itu berupa puisi yang dibawakan Opa Rudi, suling bambu oleh Molucca Bamboo Wind Orchestra, musik jazz dan lagu oleh grup Boi Akih, serta teater dari Delta Dua. Kolaborasi itu dibuat dalam empat komposisi cerita, yakni tentang laut, tanah yang kering, kehidupan kota, dan kegembiraan hidup. Semuanya dibingkai dalam sebuah pesan filosofis, ”Dari dan untuk Selamanya”.
Boi Akih dan Delta Dua merupakan grup yang berasal dari Belanda. Nel Lekatompessy dari Delta Dua mementaskan empat cerita itu. Perempuan itu menggugah perasaan penonton dalam sebuah pesan besar, yakni alam yang terdegradasi akibat ulah manusia. ”Laut penuh dengan plastik,” ucapnya. Nel membawakan itu dalam bahasa Indonesia berdialek Melayu Ambon. Meski lahir dan besar di Belanda, ucapannya terdengar sangat jelas.
Pada gilirannya, Monica Akihary, penyanyi Boi Akih menyanyikan lagu dalam bahasa Aboru, sebuah kampung di Pulau Haruku, Maluku. Monica merupakan keturunan Aboru meski lahir dan besar di Amsterdam, Belanda. Hampir semua penonton tidak mengerti lirik yang dinyanyikan Monica sebab jumlah penutur bahasa Aboru semakin berkurang. Penonton baru bisa ikut menyanyi saat Monica melantunkan lagu dalam bahasa Melayu Ambon berjudul ”Waktu Hujan Sore-sore”.
Kolaborasi dengan komposer Niels Brouwer itu juga menampilkan pemain selo, Ernst. Niels dan Ernst sama-sama berdarah Belanda. Juga ada tiga pemuda Muslim dari Kota Ambon ikut memberikan harmoni lewat tepukan rebanan. Dua jam lamanya sajian kolaborasi itu terasa masih kurang. Saat Monica selesai bernyanyi, penonton berteriak minta tambah.
”Lagi... Lagi... Lagi...,” kata penonton.
Kampung musik
Kolaborasi bertaraf internasional yang memadukan musik etnik suling bambu dengan musik modern itu semakin menegaskan jati diri Ambon sebagai kota musik dunia. Akhir Oktober 2019 lalu, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan Ambon sebagai kota kreatif berbasis musik.
Dihargai dunia, musik di Ambon dibangun dari kampung-kampung. Pemain suling bambu, misalnya, kebanyakan warga pegunungan yang dalam keseharian bekerja sebagai petani, tukang ojek, dan buruh serabutan.
Akan tetapi, kebanyakan dari mereka dapat membaca notasi balok. Bakat serta latihan teratur membuat mereka menjadi musisi. Mereka bahkan sudah sering tampil di sejumlah kota besar di Indonesia, bahkan mancanegara.
Rence mengatakan, regenerasi pemain suling bambu di Tuni terus didorong. Anak-anak sejak sekolah dasar sudah dilatih agar nanti bisa bergabung dalam tim Molucca Bamboo Wind Orchestra. ”Orangtua dan masyarakat sangat mendukung. Kami ingin, keinginan bermain musik itu lahir dari masyarakat secara alamiah,” katanya.
Kini, saatnya pemerintah harus mendorong berkembangnya kampung-kampung musik di Ambon. Selain di Tuni, kampung musik yang bisa dikembangkan adalah Hutumuri. Kampung yang berdiri di pesisir itu dikenal dengan alat musik tahuri atau rumah siput raksasa. Sementara di permukiman, seperti Batumerah dan Waehaong, bisa didorong musik kasidah.
Sekretaris Daerah Kota Ambon AG Latuheru mengatakan, pemerintah sudah memetakan kampung-kampung musik di Kota Ambon. Target besar yang ingin dicapai adalah menjadikan kampung musik sebagai destinasi wisata. Secara rutin, akan digelar pementasan musik etnik yang akan dimasukan ke dalam kelender wisata.
Kota musik sejatinya mengedepankan identitas lokal lewat pengembangan musik etnik. Tuni sudah menunjukkan bahwa musik etnik menjadi kekuatan. Kampung di pegunungan yang masih minim pembangunan infrastruktur itu telah menarik banyak musisi dan seniman dunia datang ke sana. Lewat musik, cinta itu tumbuh dan disemai.