Mahathir Mohamad Mengajak Produsen Sawit Melawan Kampanye Hitam
Kampanye hitam bahwa minyak sawit dihasilkan dari praktik deforestasi yang rakus lahan dan ancaman pada keanekaragaman hayati bisa diatasi dengan kampanye dan sosialisasi akan fakta yang berdasarkan kajian ilmiah.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
KUALA LUMPUR, KOMPAS — Negara produsen minyak kelapa sawit utama dunia, yaitu Indonesia dan Malaysia, masih terbelenggu pada isu kampanye hitam bahwa minyak sawit dihasilkan dari praktik deforestasi yang rakus lahan serta ancaman pada keanekaragaman hayati dan konflik sosial. Selain diatasi dengan kampanye dan sosialisasi akan fakta yang berdasarkan kajian ilmiah, hal-hal tersebut juga bisa diatasi dengan keseriusan diri menjaga dan membuktikan bahwa minyak sawit yang diproduksi dihasilkan dari proses berkelanjutan.
Saat membuka International Palm Oil Congress and Exhibition (PIPOC 2019) di Kuala Lumpur, Malaysia, Selasa (19/11/2019), Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad menyatakan tekadnya untuk memastikan setiap tetes minyak sawit yang dihasilkan negara yang dipimpinnya terjamin keberlanjutannya. Ia mengatakan, hal ini bisa terjadi jika setiap industri sawit membangun pilar keberlanjutan dalam praktik bisnisnya.
Pemimpin negeri jiran berusia 94 tahun tersebut menjelaskan pilar yang dimaksud, yaitu people, planet, and profit (masyarakat, bumi, dan keuntungan). Hal ini, kata dia, sejalan dengan arah target dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) seperti penanggulangan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, kehidupan, aksi iklim, dan tujuan-tujuan lainnya.
Mahathir pun memamerkan keberhasilannya dalam menjaga komitmen Malaysia saat Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil pada 1992. Saat itu, Mahathir menyatakan akan menjaga tutupan hutan Malaysia sebesar 50 persen. ”Saat ini bisa kita lihat tutupan hutan di Malaysia 55 persen atau 33 juta hektar,” ujarnya yang disambut tepuk tangan peserta kegiatan tersebut.
Karena itu, ia meminta Malaysia dan negara lain penghasil sawit untuk tidak diam ataupun sungkan melawan isu kampanye hitam dan diskriminasi sawit. ”Apabila ada bukti yang menunjukkan (evidence) terjadi praktik diskriminasi perdagangan yang melanggar hukum internasional, Malaysia dan negara penghasil sawit dalam Dewan Negara-negara Penghasil Minyak Sawit (CPOPC) harus mencari intervensi dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO),” ujarnya.
Mahathir meminta Malaysia dan negara lain penghasil sawit untuk tidak diam ataupun sungkan melawan isu kampanye hitam dan diskriminasi sawit.
Seusai memberi sambutan dan membuka kegiatan PIPOC 2019 yang diselenggarakan Malaysian Palm Oil Board, Mahathir didampingi Menteri Industri Utama (Minister of Primery Industries) Teresa Kok akan menggelar konferensi pers. Namun, pertemuan dengan media tersebut dihentikan karena saat Mahathir mengusap hidungnya yang terdapat noda merah diduga darah. Ini membuat konferensi pers dihentikan.
Mengumpulkan bukti
Dalam sambutannya, ia mengatakan Malaysia dan negara-negara lain penghasil minyak sawit terus berupaya mengumpulkan bukti dan fakta yang berbasis kajian ilmiah untuk melawan kampanye hitam dan diskriminasi. Selain itu, Mahathir mendorong pula agar informasi-informasi tersebut disebarluaskan kepada masyarakat dan dunia internasional.
Isu kampanye hitam yang berbasis pada misinformasi bisa berujung serius. Mahathir menunjukkan paparan yang berisi gambaran pencantuman ”Palm Oil Free” atau kampanye Say No To Palm Oil pada produk selai. Tudingan produk tersebut adalah sawit dihasilkan dari perusakan hutan tropis yang mengorbankan habitat orangutan dan satwa lain.
Ia mengatakan, sampai saat ini minyak sawit terbukti paling produktif dan efisien dibandingkan dengan minyak nabati lain, seperti rapesheed, bunga matahari, dan kedelai, dari sisi kebutuhan lahan. Ia mengatakan, pada luasan yang sama tanaman sawit bisa menghasilkan kuantitas minyak nabati empat kali lipat dibandingkan dengan rapesheed, 5,4 kali lipat dibandingkan bunga matahari, dan delapan kali lipat dibandingkan dengan kacang kedelai.
Sampai saat ini minyak sawit terbukti paling produktif dan efisien dibandingkan dengan minyak nabati lain, seperti rapesheed, bunga matahari, dan kedelai, dari sisi kebutuhan lahan.
Karena itu, kebutuhan lahan pada kebun sawit jauh lebih kecil ketimbang minyak-minyak nabati jenis lain. Produktivitas di kebun ini juga masih bisa ditingkatkan dengan modernisasi dan pemanfaatan teknologi pengolahan sawit menjadi minyak sawit. Mahathir mengingatkan agar industri sawit menjalankan perubahan pada revolusi industri 4.0 agar lebih produktif, efisien, dan memberikan nilai tambah.
Dalam kesempatan itu, Mahathir juga menyatakan komitmen Malaysia untuk menjalankan bauran minyak sawit dalam minyak bahan bakar sebesar 20 persen (B20) pada tahun 2020. Ia mengatakan, hal ini dilakukan untuk menciptakan transportasi yang bersih dan sehat.
Selain itu, ia juga menekankan, pada Januari 2020 atau kurang dari dua bulan mendatang, Malaysia mewajibkan sertifikasi Malaysia Sustainable Palm Oil (MSPO) pada semua pelaku usaha sawit yang beroperasi di negara tersebut. Kendala pada smallholder atau pekebun kecil, kata Menteri Industri Primer Teresa Kok, diatasi pemerintah dengan memberikan dukungan keuangan dan infrastruktur yang dibutuhkan untuk mengikuti sertifikasi wajib tersebut. Pemerintah pun memberikan kredit ringan 2 persen per tahun pada petani yang menjalankan peremajaan kebun sawitnya.
Dalam kegiatan sehari sebelumnya yang juga digelar di Kuala Lumpur, pada Pertemuan Kedua Tingkat Menteri Negara-negara Penghasil Minyak Sawit (MMPOPC), Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia Airlangga Hartarto mengakui peremajaan tanaman sawit pada pekebun kecil masih menjadi pekerjaan rumah di Indonesia. Realisasi peremajaan sawit masih jauh dari target (Kompas, 19 November 2019).
Terkait isu kampanye hitam dan diskriminasi sawit, Airlangga menyatakan butuh kerja sama antarnegara penghasil minyak sawit untuk bersama-sama melawan hal-hal tersebut. Ia menyatakan Indonesia akan memberikan ruang dan dana yang lebih besar pada kampanye-kampanye dan sosialisasi untuk memperbaiki citra sawit.