Kekaguman antropolog senior Etty Indriati pada ragam wastra Nusantara membuat dirinya menulis buku berjudul ”Tenun Sumba: Membentang Benang Kehidupan”. Sebelumnya, ia menulis tiga buku tentang batik.
Oleh
Soelastri Soekirno
·2 menit baca
Kekaguman antropolog senior Etty Indriati pada ragam wastra Nusantara membuat dirinya menulis buku berjudul Tenun Sumba: Membentang Benang Kehidupan. Etty yang juga guru besar di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu, Jumat (8/11/2019), di Bin House Jakarta merilis buku tenun Sumba tersebut. Sebelumnya, ia menulis tiga buku tentang batik dan sebuah buku berjudul Beri Daku Tenun Sumba pada 2016.
Buku terbitan PT Gramedia Pustaka Utama tersebut berisi penjelasan tentang tenun Sumba dan makna motif-motif tertentu, misalnya aneka hewan dan tumbuhan dalam tenun ikat karya petenun di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Penjelasan tentang kain tenun di sejumlah wilayah di Sumba Timur, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya dilengkapi foto kain tenun yang indah serta foto pembuatan.
Etty yang memiliki koleksi selusin kain tenun Sumba mengumpulkan bahan dari para perajin dan tetua adat di pulau tersebut sejak 2016 hingga 2019. Ia juga menambahkan, hasil studi pustaka dan penelitiannya sudah dilakukan di museum San Francisco, Chichago, Loyola, Washington DC, hingga New York (Amerika Serikat). Museum itu memiliki koleksi kain tenun Sumba sejak abad ke-18.
Di tempat itu, Etty melihat dan membandingkan motif tenun yang ada di museum dengan koleksinya untuk melihat evolusi kain dari 200 tahun lalu hingga sekarang. ”Saya tulis buku ini karena koleksi kain tenun Sumba sangat banyak. Sayang kalau tak ditulis,” tuturnya seusai acara.
Soal ketertarikannya ke tenun Sumba, ia menyatakan, wastra Indonesia luar biasa (banyak) dan punya teknik pembuatan sangat beragam serta punya nilai ekonomi tinggi. ”Orang tak putus asa saat gagal panen karena bisa menenun dan menjual hasilnya. Kita di Jakarta harus menyokong karena Jakarta sebagai kota tak memproduksi kain, tapi menjadi konsumen,” ujar Etty.
Ia mengajak masyarakat di perkotaan menyokong daerah yang produktif membuat karya. Selain itu, Etty berpandangan, kain dan budaya memperlihatkan identitas. ”Orang Indonesia harus ingat akar budayanya. Kalau akar kita tak kuat akan terombang-ambing angin sehingga ada budaya lain masuk kita ambil. Tanpa akar yang kuat mudah terseret ke sana-sini,” katanya.
Etty melihat, sejak 2016, petenun di Sumba bersemangat menenun karena ada orang membeli dan menghargai karya mereka. Ia optimistis, orang Indonesia punya perhatian tinggi pada wastra nasionalnya.