”Kami menolak membawanya (Kapal Belanda) berlayar. Belanda mengancam dengan senjata, tetapi kami menolak. Perjuangan mereka (Indonesia) adalah perjuangan kami. Kemenangan mereka adalah kemenangan kami.”
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
”Kami menolak membawanya (Kapal Belanda) berlayar. Belanda mengancam dengan senjata, tetapi kami menolak. Perjuangan mereka (Indonesia) adalah perjuangan kami. Kemenangan mereka adalah kemenangan kami,” kata pelaut India, menurut cuplikan film berjudul Indonesia Calling.
Film tersebut merupakan reka ulang pemberontakan oleh pelaut India di atas Patras, kapal penuh muatan senjata dan amunisi yang berlayar ke Indonesia dari Sydney.
Para pelaut India memutuskan tidak berlayar ke Indonesia setelah pelaut Indonesia dan Australia menyadari ada satu armada yang terlepas. Armada tersebut termasuk salah satu kapal Belanda yang dilarang berlayar.
”Perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan adalah perjuangan Anda, bergabunglah dengan pekerja Australia. Berhenti bekerja, matikan mesin,” ujar pelaut Australia kepada awak India saat mencoba menghentikan kapal Belanda.
Pemutaran film ini dilakukan di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Rabu (20/11/2019), dalam rangkaian acara Australia Connect, Two Nations: A Friendship is Born. Hadir antara lain Duta Besar Australia untuk Indonesia Gary Quinlan dan Direktur Monash Herb-Feith Indonesia Engagement Centre, Australia, Ariel Heryanto.
Adegan film berdurasi 22 menit memperlihatkan pelaut-pelaut Indonesia mendengarkan berita dari radio gelombang pendek tentang deklarasi kemerdekaan Indonesia. Film ini tayang perdana di depan warga Indonesia di Kings Cross, Sydney, 9 Agustus 1946 dan ditayangkan di Indonesia.
Joris Ivens, pembuat film dari Belanda yang membuat film ini, mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Komisaris Film untuk Pemerintah Hindia Belanda. Keputusannya dibuat sebagai protes atas kebijakan Belanda.
Akibat pembuatan film ini, Ivens diasingkan secara politis oleh Belanda. Namun, pada 1989, Ivens diberikan gelar kebangsawanan dan karyanya diakui Pemerintah Belanda yang sudah menjadi jauh lebih simpatik kepada Indonesia.
Wajar saja jika Ivens diasingkan secara politis dari tanah airnya. Sebab, film ini jelas menggambarkan bagaimana Belanda berusaha kembali ke Indonesia dengan memuat persenjataan dan amunisi di atas kapal-kapalnya yang berlabuh di pelabuhan Australia, yakni di Brisbane, Melbourne, Sydney.
Embargo kapal Belanda
Pada akhir Perang Dunia II, kabar proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 berdampak kecil dalam berita dunia. Siaran radio pun menjadi sangat penting.
Tukliwon, pelaut Indonesia berusia 24 tahun di salah satu kapal Belanda, memberi tahu serikat buruh pelaut Australia yang menjanjikan dukungan. Ia diberi tahu bahwa Belanda menginginkan para awak kapal Indonesia membawa kapal-kapal kembali ke Jawa, tetapi ditolak.
Sejak September 1945, ratusan kapal Belanda menjadi sasaran boikot oleh para pekerja maritim Australia. Mereka pun mencegah dan menghalangi kapal-kapal Belanda kembali ke Indonesia.
Boikot yang dinamakan ”larangan hitam” itu digambarkan dengan kapal-kapal Belanda yang dicat hitam dan dilarang untuk berlayar ke Indonesia. Peristiwa ini menjadi rangkaian penting bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.
”Mengisi muatan kapal adalah mata pencarian, kami akan mengisi muatan kapal untuk Indonesia kapan saja jika mendapat jaminan, itu bukan senjata atau pasokan yang dipakai untuk melawan Indonesia. Namun, kami tidak pernah mendapat jaminan itu,” ujar pelaut Australia yang menolak bekerja untuk Belanda.
”Larangan hitam” itu menyebar kepada para pelaut dan pekerja yang tergabung dalam perserikatan buruh. Gerakan ini diikuti juga oleh awak kapal Inggris, Moreton Bay, yang lebih senang meninggalkan kapal mereka daripada mengangkut tentara ke Jawa, adapun dukungan dari Amerika, China, India, Malaya, Selandia Baru, dan Kanada.
Gerakan dari pelaut dan pekerja Australia terus berkembang. Akhirnya, Pemerintah Australia pun berada di barisan terdepan dalam pengakuan internasional atas kemerdekaan Indonesia.
Perdana Menteri Australia saat itu, Chifley, menyatakan kepada Belanda bahwa perang telah usai. ”Pulanglah, Australia mendukung Indonesia merdeka, biarkan Indonesia mendapat kemerdekaannya,” ujarnya.
Gary Quinlan menyampaikan, saat itu, menyusul deklarasi kemerdekaan Indonesia, Australia mewakili Indonesia melobi di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang baru dibentuk.
Kemudian dipilih oleh Indonesia untuk mewakili dalam negosiasi PBB yang akhirnya mengarah pada kemerdekaan.
”Melalui film ini, saya berharap kita bisa diingatkan akan permulaan yang penuh inspirasi tentang hubungan Indonesia dan Australia. Sebab, masa depan kita sebagai negara tetangga sangat terkait satu sama lain,” ujar Quinlan.
Melalui film Indonesia Calling, Ariel Heryanto menilai, ruang sempit dari gagasan nasionalisme mengenai arti berbangsa dapat kembali diperlebar. Bahwa, Indonesia harus tetap menjaga kemajemukan dan hubungan baik dengan negara lain.