Pemerintah tengah menyiapkan program B100 atau biodiesel sebagai bahan bakar minyak pengganti solar. Jika sukses, biodiesel bisa menggantikan kebutuhan solar yang diperkirakan mencapai 47 juta kiloliter pada 2025.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah menyiapkan program B100 atau biodiesel sebagai bahan bakar minyak pengganti solar. Jika program ini sukses, biodiesel bisa menggantikan kebutuhan solar yang diperkirakan mencapai 47 juta kiloliter pada 2025.
”Saat ini sedang berjalan program B20. Selanjutnya, B30, B40, sampai B100. Akan tiba saatnya timbul keseimbangan baru berapa kebutuhan biodiesel dan kemampuan produksi di dalam negeri untuk menggantikan solar,” kata Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada peluncuran laporan ”Brown to Green 2019” yang diselenggarakan Institute for Essential Services Reform (IESR) di Jakarta, Selasa (19/11/2019).
Ia menyebut program ini akan dijalankan dengan konsisten. Program B20 yang sedang berjalan sekarang ini adalah program pemerintah yang mewajibkan pencampuran biodiesel ke dalam solar.
B20 menunjukkan angka dalam 1 liter pencampuran mengandung 20 persen biodiesel dan 80 persen solar. Nama produk bahan bakar tersebut di pasar adalah biosolar.
Pemanfaatan biodiesel sebagai bahan bakar nabati diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 Tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Dalam aturan itu, kebijakan pencampuran biodiesel dimulai sejak 2015 dengan kadar 15 persen (B15). Mulai 2016, kadar pencampuran dinaikkan menjadi B20 dan akan menjadi B30 pada 1 Januari 2020.
”Kami akan konsisten dengan program ini. Kalau ada keluhan mesin kendaraan yang tidak cocok, ya mereka (produsen kendaraan) yang harus menyesuaikan, dong,” ucap Luhut.
Sementara itu, selain pemanfaatan biodiesel sebagai sumber bahan bakar kendaraan, Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies Yoze Rizal Damuri menambahkan, kendaraan listrik dapat menjadi solusi untuk mengurangi emisi dan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Hanya saja, pengembangan kendaraan listrik di Indonesia belum cukup optimal.
”Seharusnya perlu diberikan insentif bagi pemilik kendaraan listrik, misalnya berupa keringanan pajak. Bukan malah pembebanan pajak yang lebih tinggi,” ujar Yoze.
Presiden Joko Widodo mengamanatkan pengoptimalan biodiesel dan sumber energi terbarukan lainnya untuk mengurangi defisit pada neraca perdagangan migas Indonesia.
Defisit terjadi lantaran kebutuhan bahan bakar minyak nasional mencapai 1,5 juta barel per hari, sedangkan kemampuan produksi minyak mentah dalam negeri kurang dari 800.000 barel per hari. Pemanfaatan biodiesel ditujukan untuk mengurangi impor minyak.
Dalam laporan ”Brown to Green 2019”, emisi gas karbon di negara anggota G-20 melonjak 1,8 persen pada 2018 seiring meningkatnya permintaan pasokan energi. Sayangnya, bauran energi di negara-negara G-20 masih didominasi energi fosil (minyak, gas bumi, dan batubara) sampai rata-rata 82 persen. Dari sisi subsidi untuk bahan bakar fosil, negara anggota G-20 menganggarkan dana 127 miliar dollar AS pada 2017.
”Energi yang tak ramah lingkungan telah berkontribusi terhadap pemanasan global dan cuaca ekstrem sehingga menyebabkan 16.000 jiwa meninggal dan kerugian ekonomi senilai 142 miliar dollar AS setiap tahun di negara-negara G-20,” kata Manajer Program Green Economy IESR Erina Mursanti.